KENDATI bukan ekonom, ’’sekadar’’ Staf
Ahli Gubernur Jateng, saya selalu mencermati perkembangan BI rate karena
pergerakannya cukup mewakili gambaran ekonomi ke depan. Sejak Juni hingga
12 November 2013, BI rate telah lima kali berubah, naik tinggi dari 5,75%
menjadi 7,5%. Ada apa dengan perekonomian kita?
Bahkan ’’Tajuk Rencana’’ harian ini edisi
27 November lalu mengingatkan beratnya tantangan ekonomi 2014 terkait
rencana Bank Sentral AS menarik stimulus ekonominya yang dapat memengaruhi
perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia. Bank Indonesia pun mengajak
kita mengetatkan ikat pinggang, dengan menaikkan BI rate.
Kenaikan BI rate bertujuan mengendalikan
peredaran uang sehingga tingkat inflasi dapat ditekan namun menjadi
penghambat bisnis yang bergerak dengan modal pinjaman. Angsuran kreditnya
otomatis naik konstan sebanding kenaikan BI rate, padahal risiko suku bunga
belum tentu dimitigasi langsung ke harga jual, daya beli konsumennya harus
diperhitungkan.
Saya mafhum tujuan utama menaikkan BI
rate supaya nilai tukar rupiah stabil, tidak terus turun karena
membahayakan perekonomian yang menganut ekonomi terbuka. Gengsi kita
sebagai bangsa juga naik bila rupiah terlihat gagah di depan dolar AS.
Rasanya malu saat kita ke luar negeri melihat rupiah dihargai hanya 4
desimal di belakang koma, Rp 12.000 per dolar AS atau Rp 18.700 per pound
Inggris.
Namun gengsi itu harus disimpan dulu
karena kenaikan BI rate tidak mampu mengangkat nilai tukar, yang terus
menurun, terakhir (26/11) nilai tukar rupiah menyentuh angka Rp 12.000 per
dolar AS (SM, 29/11/13). Jelas sekali kebijakan tersebut mandul sehingga
rasa waswas bertambah, cenderung jadi jantungan untuk memasuki 2014.
Membesarnya defisit transaksi berjalan,
tergerusnya cadangan devisa, dan fluktuasi harga komoditas primer yang jadi
andalan ekspor, menjadi faktor penyebab kemelemahan nilai tukar rupiah.
Hingga 31 Oktober 2013, cadangan devisa tercatat sekitar 97 miliar dolar
AS, masih jauh dibanding Oktober 2012 sebesar 112 miliar dolar AS. Defisit
transaksi berjalan meningkat dari -2,4% dari PDB (triwulan III/2012)
menjadi -3,8% (triwulanIII/2013). Tahun 2013 bisa disebut sebagai tahun
jumbo impor pangan karena impor jadi short cut policy untuk menjaga
stabilitas harga pangan. Selain itu, ekspor nonmigas juga mengalami
penurunan cukup berarti.
Depresiasi nilai tukar akan membahayakan
dunia usaha yang bergantung pada bahan baku impor, sekitar 60% industri
nasional bergantung pada bahan baku impor dan yang modalnya berasal dari
pinjaman luar negeri. Mereka harus mengeluarkan biaya lebih tinggi lagi
akibat kenaikan suku bunga dan selisih kurs yang tidak sempat mereka
hedging untuk pengamanannya.
Langkah-langkah pengamanan seperti ini
tentunya mengonversi langsung risiko ini kepada konsumen yang akan
menurunkan volume penjualannya dan melakukan konsolidasi untuk
mengefisienkan biaya agar mereka tetap bertahan.
Risiko
Memburuk
Saat ini, ekonomi dunia sedang
menanti-nanti apakah The Fed benar-benar menghentikan kebijakan stimulus
ekonominya atau tetap meneruskan. Kebiasaan menanti akan melahirkan
spekulasi, dolar AS menjadi investasi yang sangat bernilai untuk saat itu,
sehingga makin banyak orang memburu dan menahannya. Ekonomi berada dalam
situasi ragu-ragu, keputusan investasi pun terpaksa ditunda dan lapangan
kerja otomatis menyusut. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dipastikan
terpangkas dan kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya menurun.
Tentu kita berharap skenario ini tidak
terjadi, sehingga tahun 2014 kita harus kerja lebih keras lagi dengan
perencanaan lebih baik. Yang menjadi perhatian saya, bagaimana caranya
memitigasi agar kebijakan negara-negara besar seperti AS tidak membuat
ekonomi kita kelimpungan.
China adalah contoh negara yang sangat
kuat tiap menghadapi tekanan ekonomi dunia, karena cadangan devisanya
sangat besar, sekitar 3 ribu miliar dolar AS. Upaya China untuk fokus
sebagai negara manufaktur telah terbukti. Ekspornya luar biasa dashyat,
daya saing produknya nomor 1 dan secara perlahan kualitasnya pun makin
baik.
Bila ekonomi kita ingin tetap terjaga
dari tekanan ekonomi dunia, kata kuncinya cuma satu, yakni perbesar
cadangan devisa dengan ekspor yang selalu lebih besar dari impor. Maka,
nilai tukar pun tetap terjaga dan BI tidak perlu lagi repot-repot menaikkan
suku bunga acuannya. Pasalnya upaya itu lebih banyak efek negatifnya
ketimbang positifnya meskipun hal itu pilihan pahit yang harus
dilakukan untuk menghindari dampak yang lebih buruk.
Saya teringat ucapan Isaac Newton yang
mengatakan,’’ Apa pun yang naik pasti akan turun, kamu harus mengatur bukan
mengikutinya’’. Artinya, meskipun ekonomi tahun 2014 diperkirakan lebih
buruk, kita tidak boleh pesimistis.
Ramalan ekonomi boleh genting, tetapi itu
hanya referensi untuk merencanakan bisnis yang lebih baik, asumsi yang
lebih tepat, dan strategis bisnis yang lebih efektif. Kita harus yakin
tantangan selalu ada dan bisa jadi kondisi makin memburuk, tetapi kita
percaya dengan bekerja lebih baik dan lebih baik lagi, kesuksesan ada di
depan kita. Optimisme adalah jiwa yang harus membalut kita untuk memasuki
2014. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar