Selasa, 03 Desember 2013

Ramalan Genting 2014

Ramalan Genting 2014
Ihwan Sudrajat  ;   Staf Ahli Gu­bernur Jawa Tengah
SUARA MERDEKA,  02 Desember 2013
  


KENDATI bukan ekonom, ’’sekadar’’ Staf Ahli Gubernur Jateng, saya selalu mencermati perkembangan BI rate karena pergerakannya cukup mewakili gambaran ekonomi ke depan. Sejak Juni hingga 12 November 2013, BI rate telah lima kali berubah, naik tinggi dari 5,75% menjadi 7,5%. Ada apa dengan perekonomian kita?

Bahkan ’’Tajuk Rencana’’ harian ini edisi 27 November lalu mengingatkan beratnya tantangan ekonomi 2014 terkait rencana Bank Sentral AS menarik stimulus ekonominya yang dapat memengaruhi perekonomian banyak negara, termasuk Indonesia. Bank Indonesia pun mengajak kita mengetatkan ikat pinggang, dengan menaikkan BI rate.

Kenaikan BI rate bertujuan mengen­dalikan peredaran uang sehingga tingkat inflasi dapat ditekan namun menjadi penghambat bisnis yang bergerak dengan modal pinjaman. Angsuran kreditnya otomatis naik konstan sebanding kenaikan BI rate, padahal risiko suku bunga belum tentu dimitigasi langsung ke harga jual, daya beli konsumennya harus diperhitungkan.

Saya mafhum tujuan utama menaikkan BI rate supaya nilai tukar rupiah stabil, tidak terus turun karena membahayakan perekonomian yang menganut ekonomi terbuka. Gengsi kita sebagai bangsa juga naik bila rupiah terlihat gagah di depan dolar AS. Rasanya malu saat kita ke luar negeri melihat rupiah dihargai hanya 4 desimal di belakang koma, Rp 12.000 per dolar AS atau Rp 18.700 per pound Inggris.

Namun gengsi itu harus disimpan dulu karena kenaikan BI rate tidak mampu mengangkat nilai tukar, yang terus menurun, terakhir (26/11) nilai tukar rupiah menyentuh angka Rp 12.000 per dolar AS (SM, 29/11/13). Jelas sekali kebijakan tersebut mandul sehingga rasa waswas bertambah, cenderung jadi jantungan untuk memasuki 2014.

Membesarnya defisit transaksi berjalan, tergerusnya cadangan devisa, dan fluktuasi harga komoditas primer yang jadi andalan ekspor, menjadi faktor penyebab kemelemahan nilai tukar rupiah. Hingga 31 Oktober 2013, cadangan devisa tercatat sekitar 97 miliar dolar AS, masih jauh dibanding Oktober 2012 sebesar 112 miliar dolar AS. Defisit transaksi berjalan meningkat dari -2,4% dari PDB (triwulan III/2012) menjadi -3,8% (triwulanIII/2013). Tahun 2013 bisa disebut sebagai tahun jumbo impor pangan karena impor jadi short cut policy untuk menjaga stabilitas harga pangan. Selain itu, ekspor nonmigas juga mengalami penurunan  cukup berarti.

Depresiasi nilai tukar akan membahayakan dunia usaha yang bergantung pada bahan baku impor, sekitar 60% industri nasional bergantung pada bahan baku impor dan yang modalnya berasal dari pinjaman luar negeri. Mereka harus mengeluarkan biaya lebih tinggi lagi akibat kenaikan suku bunga dan selisih kurs yang tidak sempat mereka hedging untuk pengamanannya.

Langkah-langkah pengamanan seperti ini tentunya mengonversi langsung risiko ini kepada konsumen yang akan menurunkan volume penjualannya dan melakukan konsolidasi untuk mengefisienkan biaya agar mereka tetap bertahan.

Risiko Memburuk

Saat ini, ekonomi dunia sedang menanti-nanti apakah The Fed benar-benar menghentikan kebijakan stimulus ekonominya atau tetap meneruskan. Kebiasaan menanti akan melahirkan spekulasi, dolar AS menjadi investasi yang sangat bernilai untuk saat itu, sehingga makin banyak orang memburu dan menahannya. Ekonomi berada dalam situasi ragu-ragu, keputusan investasi pun terpaksa ditunda dan lapangan kerja otomatis menyusut. Akibatnya, pertumbuhan ekonomi dipastikan terpangkas dan kesejahteraan masyarakat dengan sendirinya menurun.

Tentu kita berharap skenario ini tidak terjadi, sehingga tahun 2014 kita harus kerja lebih keras lagi dengan perencanaan lebih baik. Yang menjadi perhatian saya, bagaimana caranya memitigasi agar kebijakan negara-negara besar seperti AS tidak membuat ekonomi kita kelimpungan.

China adalah contoh negara yang sangat kuat tiap menghadapi tekanan ekonomi dunia, karena cadangan devisanya sangat besar, sekitar 3 ribu miliar dolar AS. Upaya China untuk fokus sebagai negara manufaktur telah terbukti. Ekspornya luar biasa dashyat, daya saing produknya nomor 1 dan secara perlahan kualitasnya pun makin baik.

Bila ekonomi kita ingin tetap terjaga dari tekanan ekonomi dunia, kata kuncinya cuma satu, yakni perbesar cadangan devisa dengan ekspor yang selalu lebih besar dari impor. Maka, nilai tukar pun tetap terjaga dan BI tidak perlu lagi repot-repot menaikkan suku bunga acuannya. Pasalnya upaya itu lebih banyak efek negatifnya ketimbang positifnya meskipun hal itu pilihan  pahit yang harus dilakukan untuk menghindari dampak yang lebih buruk.

Saya teringat ucapan Isaac Newton yang mengatakan,’’ Apa pun yang naik pasti akan turun, kamu harus mengatur bukan mengikutinya’’. Artinya, meskipun ekonomi tahun 2014 diperkirakan lebih buruk, kita tidak boleh pesimistis.

Ramalan ekonomi boleh genting, tetapi itu hanya referensi untuk merencanakan bisnis yang lebih baik, asumsi yang lebih tepat, dan strategis bisnis yang lebih efektif. Kita harus yakin tantangan selalu ada dan bisa jadi kondisi makin memburuk, tetapi kita percaya dengan bekerja lebih baik dan lebih baik lagi, kesuksesan ada di depan kita. Optimisme adalah jiwa yang harus membalut kita untuk memasuki 2014. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar