DALAM kuasa politik, dikenal dua penanda jabatan di
pemerintahan: political appointee
dan political elect. Istilah political appointee dikenakan
kepada seseorang yang berhasil meraih kuasa politik di pemerintahan
semata-mata atas hasil penunjukan dan atau penempatan oleh otoritas yang
lebih tinggi. Mungkin ada kelebihan personal yang dimiliki yang
bersangkutan. Namun, penentu tunggalnya adalah pemegang otoritas yang
lebih tinggi.
Berbeda
dengan itu, istilah political elect diberikan kepada seseorang untuk
memegang kuasa politik atas prestasi yang diraih dalam memenangi
kontestasi politik. Proses akhir yang dilalui menuju kuasa politik itu
mutlak karena prestasi dalam memenangi pertarungan politik diraih melalui
pemilihan oleh publik daripada penunjukan oleh atasan.
Nah, Ratu
Atut Chosiyah meraih kuasa politik di bidang pemerintahan sebagai
gubernur Banten atas proses pemilihan oleh publik, bukan penunjukan oleh
atasan. Dia adalah political elect,
bukan political appointee.
Siapa pun harus mengakui prestasi Atut itu. Dua kali pemilihan gubernur,
dua kali itu pula dia berhasil memenangi hati publik Banten.
Sejarah
Indonesia mencatat, Atut memang bukan perempuan pertama yang menjadi
penguasa tinggi pemerintahan di Indonesia modern. Sejak awal kemerdekaan
hingga jatuhnya rezim Soeharto, telah tercatat 12 perempuan yang pernah
menjadi menteri.
Adalah Maria Ulfah
Santoso perempuan
pertama yang menjadi menteri sosial dalam pemerintahan Sjahrir, meskipun
hanya untuk periode 15 bulan (12 Maret 1946 hingga 26 Juni 1947). Menteri
perempuan terakhir era Orde Baru adalah Yustika Sjarifuddin Baharsjah selaku
menteri pertanian yang berlanjut menjadi menteri sosial pada era Habibie
(1998-1999). Setelah era itu, beberapa menteri perempuan juga ditunjuk
dalam pemerintahan.
Namun, Atut
adalah gubernur perempuan pertama di negeri ini. Dia masuk kategori
political elect. Di luar Atut, publik juga mulai bisa menyaksikan naiknya
politisi perempuan menjadi pemegang kuasa publik di pemerintahan sebagai political elect.
Bupati dan
wali kota bukan lagi wilayah dominasi laki-laki. Jumlah bupati dan wali
kota perempuan semakin banyak dalam 10 tahun terakhir. Tercatat, ada
empat wali kota yang tersebar di Surabaya (Tri Rismaharini), Kutai
Kartanegara (Rita Widyasari), Tangerang Selatan (Airin Rachmi Diany),
dan Cimahi (Atty Suharti Tochija).
Selain itu, ada 11 bupati perempuan dalam kurun tersebut. Mayoritas di
Jawa, kecuali tiga kabupaten di luar Jawa, yakni Minahasa Selatan (Christian Euginia Paruntu),
Sambas (Juliarti), dan
Tabanan (Ni Putu Eka Wiryastuti).
Namun, di
antara pejabat tinggi perempuan di pemerintahan yang semakin banyak itu,
hanya Atut yang berhasil meraih jabatan gubernur. Paling banter di
bawahnya adalah jabatan wakil gubernur. Jabatan itu pernah diraih
Rustriningsih di Jawa Tengah periode 2008-2013 bersama Bibit Waluyo
sebagai gubernur.
Melihat
lanskap sejarah politik kuasa pemerintahan tersebut, penetapan Atut
sebagai tersangka korupsi 17 Desember 2013 menimbulkan cedera politik
yang besar bagi prestasi perempuan di negeri ini. Prestasi dalam kuasa
politik itu membawa dirinya terjerembap ke dalam lubang korupsi. Ini
sungguh ironi yang besar.
Asas praduga
tak bersalah memang harus dikedepankan. Namun, bagaimanapun, penetapan
Atut sebagai tersangka oleh KPK segera dipahami sebagai ''kebenaran
awal'' dari adanya tindak pidana korupsi. Integritas KPK yang hingga saat
ini terjaga tampak menjadi jaminan atas ''kebenaran awal'' yang dimaksud.
Dalam aras
pemahaman publik itu, penetapan Atut oleh KPK sebagai tersangka korupsi
di Banten menjadi kado pahit bagi Hari Ibu. Sebagai ritual sosial
tahunan, Hari Ibu adalah momen apresiasi sekaligus pelestarian nilai atas
kemuliaan seorang ibu bagi kehidupan kemanusiaan. Prestasi hebat yang
ditorehkan ibu dalam sejarah kemanusiaan adalah keberadaannya sebagai
role model (teladan).
Ibu adalah
simbolisasi atas level tertinggi kedewasaan perempuan sebagai role model.
Kekuatan personal ibu menjadi sumber bagi peneguhan dan transfer manner
kepada generasi berikutnya. Maka, dalam konteks penyiapan generasi yang
lebih baik ke depan, posisi perempuan, sebagaimana diwakili figur ibu,
sangat sentral.
Karena itu,
benar adanya pernyataan Musthofa al-Ghulayaini berikut: al-Ummu madrosah
ula, idza a'dadtaha thoyiba, a'dadta sya'ban thoyyibal a'raq. Maksudnya,
ibu adalah sekolah pratama; jika engkau siapkan ibu yang baik, sama
artinya engkau telah menyiapkan generasi unggul.
Sebagai
simbolisasi keberhasilan perempuan dalam mencapai kuasa politik tertinggi
di pemerintahan lokal sebagai political
elect, Atut dan figur terpilih lain tersebut tidak saja mewakili
dirinya sebagai perempuan, melainkan wakil perempuan lebih luas di
wilayah publik. Karena itu, perempuan yang sudah melampaui wilayah
domestiknya seperti itu bukan lagi ibu bagi anak-anak biologisnya,
melainkan ibu bagi anak bangsa dan masyarakat lebih luas. Itu mesti
disadari. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar