Jumat, 20 Desember 2013

Atut dan Ironi Hari Ibu

Atut dan Ironi Hari Ibu
Akh Muzakki  ;    Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya, Sekretaris PW NU Jawa Timur
JAWA POS,  20 Desember 2013

  

DALAM kuasa politik, dikenal dua penanda jabatan di pemerintahan: political appointee dan political elect. Istilah political appointee dikenakan kepada seseorang yang berhasil meraih kuasa politik di pemerintahan semata-mata atas hasil penunjukan dan atau penempatan oleh otoritas yang lebih tinggi. Mungkin ada kelebihan personal yang dimiliki yang bersangkutan. Namun, penentu tunggalnya adalah pemegang otoritas yang lebih tinggi.

Berbeda dengan itu, istilah political elect diberikan kepada seseorang untuk memegang kuasa politik atas prestasi yang diraih dalam memenangi kontestasi politik. Proses akhir yang dilalui menuju kuasa politik itu mutlak karena prestasi dalam memenangi pertarungan politik diraih melalui pemilihan oleh publik daripada penunjukan oleh atasan.

Nah, Ratu Atut Chosiyah meraih kuasa politik di bidang pemerintahan sebagai gubernur Banten atas proses pemilihan oleh publik, bukan penunjukan oleh atasan. Dia adalah political elect, bukan political appointee. Siapa pun harus mengakui prestasi Atut itu. Dua kali pemilihan gubernur, dua kali itu pula dia berhasil memenangi hati publik Banten.

Sejarah Indonesia mencatat, Atut memang bukan perempuan pertama yang menjadi penguasa tinggi pemerintahan di Indonesia modern. Sejak awal kemerdekaan hingga jatuhnya rezim Soeharto, telah tercatat 12 perempuan yang pernah menjadi menteri.

Adalah Maria Ulfah Santoso perempuan pertama yang menjadi menteri sosial dalam pemerintahan Sjahrir, meskipun hanya untuk periode 15 bulan (12 Maret 1946 hingga 26 Juni 1947). Menteri perempuan terakhir era Orde Baru adalah Yustika Sjarifuddin Baharsjah selaku menteri pertanian yang berlanjut menjadi menteri sosial pada era Habibie (1998-1999). Setelah era itu, beberapa menteri perempuan juga ditunjuk dalam pemerintahan. 

Namun, Atut adalah gubernur perempuan pertama di negeri ini. Dia masuk kategori political elect. Di luar Atut, publik juga mulai bisa menyaksikan naiknya politisi perempuan menjadi pemegang kuasa publik di pemerintahan sebagai political elect.

Bupati dan wali kota bukan lagi wilayah dominasi laki-laki. Jumlah bupati dan wali kota perempuan semakin banyak dalam 10 tahun terakhir. Tercatat, ada empat wali kota yang tersebar di Surabaya (Tri Rismaharini), Kutai Kartanegara (Rita Widyasari), Tangerang Selatan (Airin Rachmi Diany), dan Cimahi (Atty Suharti Tochija). Selain itu, ada 11 bupati perempuan dalam kurun tersebut. Mayoritas di Jawa, kecuali tiga kabupaten di luar Jawa, yakni Minahasa Selatan (Christian Euginia Paruntu), Sambas (Juliarti), dan Tabanan (Ni Putu Eka Wiryastuti).

Namun, di antara pejabat tinggi perempuan di pemerintahan yang semakin banyak itu, hanya Atut yang berhasil meraih jabatan gubernur. Paling banter di bawahnya adalah jabatan wakil gubernur. Jabatan itu pernah diraih Rustriningsih di Jawa Tengah periode 2008-2013 bersama Bibit Waluyo sebagai gubernur. 

Melihat lanskap sejarah politik kuasa pemerintahan tersebut, penetapan Atut sebagai tersangka korupsi 17 Desember 2013 menimbulkan cedera politik yang besar bagi prestasi perempuan di negeri ini. Prestasi dalam kuasa politik itu membawa dirinya terjerembap ke dalam lubang korupsi. Ini sungguh ironi yang besar. 

Asas praduga tak bersalah memang harus dikedepankan. Namun, bagaimanapun, penetapan Atut sebagai tersangka oleh KPK segera dipahami sebagai ''kebenaran awal'' dari adanya tindak pidana korupsi. Integritas KPK yang hingga saat ini terjaga tampak menjadi jaminan atas ''kebenaran awal'' yang dimaksud.

Dalam aras pemahaman publik itu, penetapan Atut oleh KPK sebagai tersangka korupsi di Banten menjadi kado pahit bagi Hari Ibu. Sebagai ritual sosial tahunan, Hari Ibu adalah momen apresiasi sekaligus pelestarian nilai atas kemuliaan seorang ibu bagi kehidupan kemanusiaan. Prestasi hebat yang ditorehkan ibu dalam sejarah kemanusiaan adalah keberadaannya sebagai role model (teladan). 

Ibu adalah simbolisasi atas level tertinggi kedewasaan perempuan sebagai role model. Kekuatan personal ibu menjadi sumber bagi peneguhan dan transfer manner kepada generasi berikutnya. Maka, dalam konteks penyiapan generasi yang lebih baik ke depan, posisi perempuan, sebagaimana diwakili figur ibu, sangat sentral.

Karena itu, benar adanya pernyataan Musthofa al-Ghulayaini berikut: al-Ummu madrosah ula, idza a'dadtaha thoyiba, a'dadta sya'ban thoyyibal a'raq. Maksudnya, ibu adalah sekolah pratama; jika engkau siapkan ibu yang baik, sama artinya engkau telah menyiapkan generasi unggul.

Sebagai simbolisasi keberhasilan perempuan dalam mencapai kuasa politik tertinggi di pemerintahan lokal sebagai political elect, Atut dan figur terpilih lain tersebut tidak saja mewakili dirinya sebagai perempuan, melainkan wakil perempuan lebih luas di wilayah publik. Karena itu, perempuan yang sudah melampaui wilayah domestiknya seperti itu bukan lagi ibu bagi anak-anak biologisnya, melainkan ibu bagi anak bangsa dan masyarakat lebih luas. Itu mesti disadari. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar