SECARA
legal dan formal, hanya ada dua partai di Indonesia saat ini yang dapat
disebut sebagai partai Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan
Partai Bulan Bintang (PBB). Hal itu tak lain karena keduanya secara resmi
menggunakan Islam sebagai asas mereka.
Menariknya ialah masyarakat tak
hanya melabeli istilah `partai Islam' kepada partai-partai yang secara
eksplisit menggunakan Islam sebagai visi ataupun asas mereka seperti PPP
dan PBB. Istilah partai Islam juga dilabelkan kepada partai-partai yang
secara visi ataupun asas tidak menggunakan Islam, seperti Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan
Sejahtera (PKS). Mungkin sebabnya dua partai yang disebutkan terakhir itu
didirikan dan dinakhodai para tokoh Islam. Atas pertimbangan itu pula
tulisan ini tetap menggunakan isilah `partai Islam' untuk merujuk kepada
partai-partai yang berbasis Islam di luar PPP dan PBB.
Salah tingkah
Dalam beberapa waktu terakhir
partai Islam acap mengalami `salah tingkah'; begini dan begitu merasa
kurang pas. Hingga dianggap perlu adanya perubahan-perubahan untuk
menyesuaikan ataupun memantapkan keadaan mereka. Apa yang dialami PKS bisa
dijadikan sebagai salah satu contoh nyata dari sikap salah tingkah
tersebut, yaitu ketika partai dakwah tersebut meneguhkan diri sebagai
partai terbuka pada Mukernas 2012 di Jakarta.
Sikap salah tingkah yang dialami
partai-partai Islam tidak bisa dilepaskan dari hasil pemi lu. Dalam
beberapa kali hasil pemilu, partai-partai Islam kerap mengalami kegagalan
untuk menjadi pemenang. Padahal, Indonesia merupakan negara terbesar di
dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan kata lain, bila
dipilih seluruh masyarakat Indonesia yang ber agama Islam, niscaya
partai-partai Islam akan menjadi pemenang pemilu, alih-alih menjadi
penghuni semitetap papan tengah.
Namun, realitas politik berkata
lain. Hasil pemilu berkalikali menunjukkan masyarakat Indonesia (termasuk
yang beragama Islam) lebih memilih partai-partai lain yang notabene menjadi
pesaing partai-partai Islam. Tentu itu menjadi realitas yang sangat pahit
bagi partai-partai Islam. Tidak semata-mata karena mereka kalah ‘di lumbung
sendiri’, lebih dari itu karena sebagian dari mereka kerap menggunakan
sentimen keagamaan untuk mendapatkan dukungan dari umat Islam Indonesia,
baik di atas kertas ataupun di atas panggung kama panye, tapi faktanya
mereka p tetap juga kalah.
Pertanyaannya kemudian ialah
kenapa partai-partai Islam selalu kalah dalam sejarah pemilu di Indonesia? Menurut
sebagian pihak, itu disebabkan partai-partai Islam tidak bersatu. Akibatnya,
suara masyarakat Indonesia yang beragama Islam yang beragama Islam pun terpecah-pecah.
Jawaban itu mungkin tidak
sepenuhnya salah, tapi dipastikan juga tidak sepe nuhnya benar. Faktanya
partai-partai nasionalis seperti Partai Demokrat, Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Golkar pun tidak bersatu. Namun, partai-partai
nasionalis kerap mendapatkan dukungan lebih banyak jika dibandingkan dengan
partai Islam.
Tidak ada pembeda
Menurut hemat penulis, ada
faktor lain yang tak kalah menentukan bagi kekalahan partai-partai Islam
selama ini, yaitu karena tidak ada pembeda antara partai-partai Islam
dengan partai-partai nasionalis, khususnya bila ditinjau dari perilaku
sebagian kader mereka yang bersifat pragmatis. Di atas kertas, perbedaan
ideologi bisa dan mungkin memang hendak ditonjolkan partai-partai politik di
Indonesia untuk menarik minat pemilih hingga partai politik (parpol)
meneguhkan ideologi yang berbeda-beda, mulai kebangsaan hingga agama.
Namun, secara perilaku, hampir
tidak ada perbedaan antara kader partai Islam dan partai nasionalis. Dalam
persoalan korupsi, contohnya, hampir tidak ada bedanya antara perilaku
kader partai Is lam dan partai nasionalis. Bahkan ada sebagian kader partai
Islam yang justru terlibat dalam skandal paling sakral dalam keyakinan
mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu skandal perempuan.
Dalam konteks perilaku sebagian
kader partai yang serupa walaupun tak sama ini, pembedaan secara ideologi
acap dipahami tak lebih dari sekadar baik jualan maupun dagangan parpol.
Hal itu juga berlaku bagi partai-partai Islam. Dengan kata lain, pemilihan
Islam sebagai ideologi partai bukan semata-mata pertimbangan dan perjuangan
ideologis, melainkan sekadar jualan untuk menarik minat masyarakat.
Diharapkan, melalui sentimen keislaman, masyarakat Indonesia yang mayoritas
beragama Islam bisa memilih partai Islam.
Pada tahap tertentu, partai
berbasis Islam justru kerap menerjemahkan keislaman mereka dengan semangat
islamisme, seperti dalam persoalan pro-kontra wacana pembubaran ormas-ormas
tertentu yang kerap bertindak anarkistis, pemberantasan kemaksiatan, dan
pembubaran Densus 88 Antiterorisme. Sikap demikian tentu dimaksudkan untuk
menunjukkan konsistensi `keislaman' kepada publik.
Persoalannya ialah sejauh ini
masyarakat pemilih menampakkan adanya kecenderungan untuk berpihak kepada
moderatisme jika dibanding kan dengan isla misme, dan me ngedepankan se
mangat kebangsaan daripada semangat keagamaan. Setidak tidaknya dalam
perpolitikan dan kekuasaan.
Itulah kurang lebih yang bisa
menjelaskan kenapa partai berbasis Islam kerap mengalami kekalahan demi
kekalahan dalam sejarah pemilihan umum di negeri ini. Setidaknya bila
dibandingkan dengan perolehan suara yang didapatkan partai-partai
nasionalis yang kerap digdaya bila dibandingkan dengan partai-partai Islam.
Dengan kata lain, kekalahan tersebut terjadi karena partai Islam selama ini
acap terjebak di antara islamisme dan pragmatisme.
Alih-alih memperkuat visi
kebangsaan, partai Islam justru kerap menampakkan semangat islamisme,
khususnya terkait dengan persoalan-persoalan populis sebagaimana disebut
sebelumnya. Akibatnya ialah semakin jauh jarak yang memisahkan antara
partai-partai Islam bersama semangat islamisme mereka dan masyarakat
pemilih bersama semangat kebangsaan mereka.
Partai-partai Islam di Indonesia
sejatinya mengambil pembelajaran berharga dari pengalaman partai-partai
Islam di Timur Tengah seperti Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb
al-Hurriyah wa al-‘Adalah) di Mesir dan Partai An-Nahdlah di Tunisia,
khususnya dalam dua tahun terakhir. Pada awalnya, dua partai Islam itu,
yang sama-sama lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin (IM), berhasil menjadi
partai penguasa setelah bertahun-tahun kerap dibungkam paksa oleh penguasa.
Alih-alih memperkuat visi kebangsaan, justru kedua partai tersebut kerap
dituduh melakukan islamisasi hingga pemerintahan yang dipimpin keduanya
jauh dari stabil, bahkan berakhir tragis seperti yang terjadi pada
pemerintahan Mohammad Mursi di Mesir.
Bila ditinjau dari pelbagai
aspek, apa yang terjadi di Mesir pada masa pemerintahan Ikhwanul Muslimin
masih dan akan selalu menjadi perdebatan; apakah hal itu termasuk kudeta
atau bukan? Apakah hal itu bisa disebut sebagai revolusi kedua atau
rekayasa militer? Masih ada pertanyaan-pertanyaan lainnya. Namun, tidak
demikian secara politik. Dalam perspektif politik, apa yang dialami IM di
Mesir merupakan kekalahan telak yang tidak menyisakan perdebatan sedikit
pun hingga mereka harus kehilangan kursi kekuasaan yang baru diduduki
seperti sekarang.
Oleh karena semua yang telah
disampaikan, partai Islam di Indonesia sejatinya memperkuat visi kebangsaan
yang ada dan memperjuangkannya secara konsisten hingga publik merasakan
adanya perbedaan antara partai Islam dan partai lainnya. Bukan justru
menjebakkan diri dalam semangat islamisme dan pragmatisme yang telah
ditolak publik Nusantara semenjak Indonesia baru akan dilahirkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar