Rabu, 18 Desember 2013

Antara Islamisme dan Pragmatisme

Antara Islamisme dan Pragmatisme
Hasibullah Satrawi  ;    Pengamat Politik Timur Tengah dan Dunia Islam
MEDIA INDONESIA,  17 Desember 2013

  

SECARA legal dan formal, hanya ada dua partai di Indonesia saat ini yang dapat disebut sebagai partai Islam, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB). Hal itu tak lain karena keduanya secara resmi menggunakan Islam sebagai asas mereka.

Menariknya ialah masyarakat tak hanya melabeli istilah `partai Islam' kepada partai-partai yang secara eksplisit menggunakan Islam sebagai visi ataupun asas mereka seperti PPP dan PBB. Istilah partai Islam juga dilabelkan kepada partai-partai yang secara visi ataupun asas tidak menggunakan Islam, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Amanat Nasional (PAN), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Mungkin sebabnya dua partai yang disebutkan terakhir itu didirikan dan dinakhodai para tokoh Islam. Atas pertimbangan itu pula tulisan ini tetap menggunakan isilah `partai Islam' untuk merujuk kepada partai-partai yang berbasis Islam di luar PPP dan PBB.

Salah tingkah

Dalam beberapa waktu terakhir partai Islam acap mengalami `salah tingkah'; begini dan begitu merasa kurang pas. Hingga dianggap perlu adanya perubahan-perubahan untuk menyesuaikan ataupun memantapkan keadaan mereka. Apa yang dialami PKS bisa dijadikan sebagai salah satu contoh nyata dari sikap salah tingkah tersebut, yaitu ketika partai dakwah tersebut meneguhkan diri sebagai partai terbuka pada Mukernas 2012 di Jakarta.

Sikap salah tingkah yang dialami partai-partai Islam tidak bisa dilepaskan dari hasil pemi lu. Dalam beberapa kali hasil pemilu, partai-partai Islam kerap mengalami kegagalan untuk menjadi pemenang. Padahal, Indonesia merupakan negara terbesar di dunia yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Dengan kata lain, bila dipilih seluruh masyarakat Indonesia yang ber agama Islam, niscaya partai-partai Islam akan menjadi pemenang pemilu, alih-alih menjadi penghuni semitetap papan tengah.

Namun, realitas politik berkata lain. Hasil pemilu berkalikali menunjukkan masyarakat Indonesia (termasuk yang beragama Islam) lebih memilih partai-partai lain yang notabene menjadi pesaing partai-partai Islam. Tentu itu menjadi realitas yang sangat pahit bagi partai-partai Islam. Tidak semata-mata karena mereka kalah ‘di lumbung sendiri’, lebih dari itu karena sebagian dari mereka kerap menggunakan sentimen keagamaan untuk mendapatkan dukungan dari umat Islam Indonesia, baik di atas kertas ataupun di atas panggung kama panye, tapi faktanya mereka p tetap juga kalah.

Pertanyaannya kemudian ialah kenapa partai-partai Islam selalu kalah dalam sejarah pemilu di Indonesia? Menurut sebagian pihak, itu disebabkan partai-partai Islam tidak bersatu. Akibatnya, suara masyarakat Indonesia yang beragama Islam yang beragama Islam pun terpecah-pecah.

Jawaban itu mungkin tidak sepenuhnya salah, tapi dipastikan juga tidak sepe nuhnya benar. Faktanya partai-partai nasionalis seperti Partai Demokrat, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan Partai Golkar pun tidak bersatu. Namun, partai-partai nasionalis kerap mendapatkan dukungan lebih banyak jika dibandingkan dengan partai Islam.

Tidak ada pembeda

Menurut hemat penulis, ada faktor lain yang tak kalah menentukan bagi kekalahan partai-partai Islam selama ini, yaitu karena tidak ada pembeda antara partai-partai Islam dengan partai-partai nasionalis, khususnya bila ditinjau dari perilaku sebagian kader mereka yang bersifat pragmatis. Di atas kertas, perbedaan ideologi bisa dan mungkin memang hendak ditonjolkan partai-partai politik di Indonesia untuk menarik minat pemilih hingga partai politik (parpol) meneguhkan ideologi yang berbeda-beda, mulai kebangsaan hingga agama.

Namun, secara perilaku, hampir tidak ada perbedaan antara kader partai Islam dan partai nasionalis. Dalam persoalan korupsi, contohnya, hampir tidak ada bedanya antara perilaku kader partai Is lam dan partai nasionalis. Bahkan ada sebagian kader partai Islam yang justru terlibat dalam skandal paling sakral dalam keyakinan mayoritas umat Islam di Indonesia, yaitu skandal perempuan.

Dalam konteks perilaku sebagian kader partai yang serupa walaupun tak sama ini, pembedaan secara ideologi acap dipahami tak lebih dari sekadar baik jualan maupun dagangan parpol. Hal itu juga berlaku bagi partai-partai Islam. Dengan kata lain, pemilihan Islam sebagai ideologi partai bukan semata-mata pertimbangan dan perjuangan ideologis, melainkan sekadar jualan untuk menarik minat masyarakat. Diharapkan, melalui sentimen keislaman, masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama Islam bisa memilih partai Islam.

Pada tahap tertentu, partai berbasis Islam justru kerap menerjemahkan keislaman mereka dengan semangat islamisme, seperti dalam persoalan pro-kontra wacana pembubaran ormas-ormas tertentu yang kerap bertindak anarkistis, pemberantasan kemaksiatan, dan pembubaran Densus 88 Antiterorisme. Sikap demikian tentu dimaksudkan untuk menunjukkan konsistensi `keislaman' kepada publik.

Persoalannya ialah sejauh ini masyarakat pemilih menampakkan adanya kecenderungan untuk berpihak kepada moderatisme jika dibanding kan dengan isla misme, dan me ngedepankan se mangat kebangsaan daripada semangat keagamaan. Setidak tidaknya dalam perpolitikan dan kekuasaan.

Itulah kurang lebih yang bisa menjelaskan kenapa partai berbasis Islam kerap mengalami kekalahan demi kekalahan dalam sejarah pemilihan umum di negeri ini. Setidaknya bila dibandingkan dengan perolehan suara yang didapatkan partai-partai nasionalis yang kerap digdaya bila dibandingkan dengan partai-partai Islam. Dengan kata lain, kekalahan tersebut terjadi karena partai Islam selama ini acap terjebak di antara islamisme dan pragmatisme.

Alih-alih memperkuat visi kebangsaan, partai Islam justru kerap menampakkan semangat islamisme, khususnya terkait dengan persoalan-persoalan populis sebagaimana disebut sebelumnya. Akibatnya ialah semakin jauh jarak yang memisahkan antara partai-partai Islam bersama semangat islamisme mereka dan masyarakat pemilih bersama semangat kebangsaan mereka.

Partai-partai Islam di Indonesia sejatinya mengambil pembelajaran berharga dari pengalaman partai-partai Islam di Timur Tengah seperti Partai Kebebasan dan Keadilan (Hizb al-Hurriyah wa al-‘Adalah) di Mesir dan Partai An-Nahdlah di Tunisia, khususnya dalam dua tahun terakhir. Pada awalnya, dua partai Islam itu, yang sama-sama lahir dari rahim Ikhwanul Muslimin (IM), berhasil menjadi partai penguasa setelah bertahun-tahun kerap dibungkam paksa oleh penguasa. Alih-alih memperkuat visi kebangsaan, justru kedua partai tersebut kerap dituduh melakukan islamisasi hingga pemerintahan yang dipimpin keduanya jauh dari stabil, bahkan berakhir tragis seperti yang terjadi pada pemerintahan Mohammad Mursi di Mesir.

Bila ditinjau dari pelbagai aspek, apa yang terjadi di Mesir pada masa pemerintahan Ikhwanul Muslimin masih dan akan selalu menjadi perdebatan; apakah hal itu termasuk kudeta atau bukan? Apakah hal itu bisa disebut sebagai revolusi kedua atau rekayasa militer? Masih ada pertanyaan-pertanyaan lainnya. Namun, tidak demikian secara politik. Dalam perspektif politik, apa yang dialami IM di Mesir merupakan kekalahan telak yang tidak menyisakan perdebatan sedikit pun hingga mereka harus kehilangan kursi kekuasaan yang baru diduduki seperti sekarang.

Oleh karena semua yang telah disampaikan, partai Islam di Indonesia sejatinya memperkuat visi kebangsaan yang ada dan memperjuangkannya secara konsisten hingga publik merasakan adanya perbedaan antara partai Islam dan partai lainnya. Bukan justru menjebakkan diri dalam semangat islamisme dan pragmatisme yang telah ditolak publik Nusantara semenjak Indonesia baru akan dilahirkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar