|
KOMPAS, 07 Mei 2013
Pendidikan
itu benih harapan. Jika masyarakat dilanda kekacauan,keterpurukan, ketertindasan,
dan tak tahu kunci jawaban membebaskannya, jurus pamungkas-nya adalah
pendidikan.
Setiap
2 Mei kita peringati sebagai Hari Pendidikan Nasional, berlandaskan hari lahir
tokoh pendidikan Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (Ki Hadjar Dewantara).
Sosoknya melambangkan pendidikan sebagai benih harapan untuk pembebasan, kepribadian,
dan kepemimpinan. Ketika diskriminasi sistem pendidikan kolonial menyumbat
kesempatan bersekolah bagi rakyat jelata, Ki Hadjar mendirikan sekolah
alternatif secara berdikari sebagai titian pembebasan.
Di
sekolah yang dicibir pemerintah kolonial sebagai ”sekolah liar” itu ditanamkan
keyakinan bawa kunci
keberhasilan pendidikan bukanlah fasilitas dan formalitas,
melainkan tekad, kecintaan penggembalaan, dan karakter kepemimpinan. ”Di depan
memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan”.
Hanya
sistem persekolahan yang berkarakter yang dapat menumbuhkan anak didik
berkarakter. Sekolah yang hanya mengandalkan daya beli atau tumbuh dengan
berbagai program dan materi pembelajaran proyek kementerian melahirkan anak
didik sebagai komoditas. Nilainya tak lebih seperti emas sepuhan. Gemerlap dari
luar, tetapi penuh kepalsuan di bagian dalamnya.
Pendidikan
sebagai proses manipulatif, dengan menjadikan anak didik sebagai sarana
eksploitasi proyek, adalah modus pembudayaan paling efektif untuk mencetak
mental korup. Berapa pun angkatan terdidik yang dihasilkan tidak akan menjadi
kekuatan pembebasan, malahan jadi sumber penindasan. Di tangan orang-orang
pintar dengan mental korup, sebanyak apa pun kekayaan negeri ini tidak akan
menjadi sumber kemakmuran, tetapi sumber eksploitasi bangsa lain.
Karena
itu, pendidikan sebagai benih harapan harus menjadikan karakter sebagai tumpuan
dasar. Apa pun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, dan
kekuasaan, menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak
punya keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.
Tentang
hal ini, Bung Karno mengisahkan pengalaman yang menggugah. Ketika diwisuda di
Technische Hogeschool, sambil menyerahkan ijazah, rektornya berbisik, ”Ir Soekarno, ijazah ini suatu saat dapat
robek dan hancur menjadi abu. Dia tidak abadi. Ingatlah, satu-satunya hal yang
abadi adalah karakter dari seseorang.” Sedemikian pentingnya karakter
sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, ”When wealth is lost, nothing is lost; when health is lost, something
is lost; when character is lost, everything is lost.”
Karakter
bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melainkan juga
eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, sebuah bangsa. Ibarat individu,
setiap bangsa hakikatnya punya karakter tersendiri yang tumbuh dari pengalaman
bersama. Pengertian ”bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer menyatakan,
”Bangsa adalah satu persamaan, satu
persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh,
lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.”
Perhatian,
terutama karakter, sebagai bagian yang menentukan bagi perkembangan ekonomi dan
politik masyarakat/bangsa pernah mengalami musim seminya pada tahun 1940-an dan
1950-an. Para pengkaji budaya periode ini, dengan sederet nama besar seperti
Margaret Mead, Ruth Benedict, David McClelland, Gabriel Almond, Seymour Martin
Lipset, memunculkan prasyarat nilai dan etos yang diperlukan untuk kemajuan
bagi negara yang terpuruk pasca-Perang Dunia II. Namun, seiring gemuruh laju
developmentalisme yang menekankan pembangunan material, pengkajian tentang
budaya mengalami musim kemarau pada 1960-an dan 1970-an.
Kegagalan
pembangunan di sejumlah negara, setelah melewati pelbagai perubahan ekonomi dan
politik, menghidupkan kembali minat dalam studi budaya sejak 1980-an.
Pentingnya variabel budaya dalam perkembangan ekonomi tampak dalam kasus negara
multibudaya. Sekalipun semua kelompok etnis dihadapkan pada hambatan
sosial-politik dan krisis ekonomi yang sama, sebagian kelompok lebih berhasil
daripada kelompok lain. Di bidang politik, beberapa ahli, seperti Robert Putnam
dan Ronald Inglehart, menunjukkan hubungan erat antara variabel karakter-budaya
dan keberhasilan/kegagalan demokrasi.
Tentang
pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan
yang ia pinjam dari sejarawan Inggris, HG Wells, ”Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?” Ia lantas jawab
sendiri, yang menentukan bukanlah seberapa luas wilayahnya dan seberapa banyak
penduduknya, melainkan kekuatan tekad sebagai pancaran karakternya.
Peringatan
Hari Pendidikan Nasional harus melahirkan fajar budi dalam politik pendidikan,
dengan menghidupkan dunia persekolahan sebagai wahana pembebasan, bukan sebagai
wahana eksploitasi proyek. Keberadaban suatu bangsa terlihat dalam
penghormatannya terhadap dunia pendidikan. Semasa perang dunia sekalipun,
lumbung ilmu, seperti Universitas Heidelberg dan Sorbonne, tak disentuh
serangan militer. Kebiadaban suatu bangsa terlihat dari usaha politisasi dan
eksploitasi dunia pendidikan untuk tujuan pragmatis.
Pendidikan
sebagai wahana pembebasan, pembudayaan, dan kepemimpinan harus menempatkan
karakter sebagai tumpuan dasar. Harus dihindari pengajaran yang terlalu mengutamakan
aspek kognitif dan lahiriah. Pertama-tama harus ditekankan pembangunan aspek
kejiwaan. ”Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya!”
Pengalaman
menjadi Indonesia menunjukkan bahwa seberat apa pun kesulitan, kemelaratan, dan
penderitaan bangsa ini bisa diatasi oleh kekuatan karakter para pemimpinnya.
Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi ataupun
kematian pemimpin, melainkan kehilangan karakter. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar