|
KOMPAS, 07 Mei 2013
Ini
sekadar guyonan, jangan terlalu serius menanggapi. Dahulu kala, banyak pelawat
asing yang datang dari sejumlah negara karena tertarik pada dunia baru di
tenggara Asia ini. Mereka menemukan kenyataan, banyak sekali penduduknya yang
sudah kawin-kemawin dengan bangsa asing, juga dari pelbagai negara.
Para
pelawat atau pengunjung asing itu menyebut mereka yang berdarah campuran itu
sebagai Indo (mestiezen). Ada Indo-Arab, Indo-Keling, Indo-Portugis,
Indo-Belanda, Indo-Jepang, Indo-China, dan sebagainya.
Yang
menarik, mereka yang tergolong Indo ternyata mengeram sebuah penyakit amnesia,
penyakit yang hinggap pada seseorang yang katakanlah ”pendek ingatan” atau
gampang melupakan sesuatu. Konon, dari sanalah muncul kata ”Indonesia” alias
Indo(am)nesia.
Terserah
kalau Anda hendak menghubungkannya dengan situasi lain di negeri ini, termasuk
di masa kini. Yang jelas, dari soal nama, betapa pun ia mungkin tiada artinya
bagi Shakespeare (yang ternyata namanya abadi), Indonesia adalah nama yang
sepanjang sejarah memiliki masalah.
Sebagian
tidak cukup menerima kata itu yang jika bisa juga bermakna ”kepulauan India
bagian belakang” atau ”pulau-pulau India di kejauhan”. Seakan kita ini hanya
perpanjangan tangan, sejarah, dan peradaban dari India, negeri induknya. Sebuah
penafian yang keliru.
Asal
kata Indonesia
Sebenarnya
bukan James Richardson Logan, sarjana hukum Skotlandia, yang menggunakan kata
”Indonesia” pertama kali dalam artikelnya, The
Etnology of Indian Archipelago (1850). Ia hanya menjumput dari istilah yang
digambarkan gurunya, George Samuel Windsor Earl, untuk orang-orang di
Semenanjung Malaya, memanjang hingga Filipina dan Papua, sebagai ”Indunesia”.
Logan hanya mengganti ”u” dengan ”o” hanya sekadar—konon—kenyamanan penyebutan.
Nama
ini pertama kali diambil oleh aktivis/intelektual Indonesia, Suwardi
Surjadininingrat alias Ki Hajar Dewantara, saat ia dibuang ke Belanda dan
menerbitkan kantor berita Indonesische
Pers-bureau. Nama inilah yang beredar dan kemudian populer di kalangan
intelektual dan pejuang kala itu. Tahun 1928 sekelompok pemuda menggunakan
dalam sebuah Sumpah.
Padahal,
hanya tujuh tahun dari penyebutan ”Indonesia” oleh Ki Hajar, Ernest Francois
Eugene Douwes Dekker alias Setiabudi juga memberikan nama pada gugusan
kepulauan di tenggara Asia ini. Ia mendapatkan nama itu dalam kitab Pararaton
dari zaman keemasan Majapahit, yang diucapkan juga dalam sebuah Sumpah, ”lamun huwus kalah Nusantara ingsun amukti
palapa” (kalau telah (aku menguasai) Nusantara, baru aku (akan) berhenti
berpuasa).
Sumpah
itu—sama ternamanya dengan Sumpah Pemuda—adalah Sumpah Palapa, yang diucapkan
oleh Amangkubhumi baru Majapahit, Gajah Mada.
Penyebutan
ini sebenarnya bukannya tiada dampak, baik secara penyebutan, kesejarahan,
keilmuan, hingga kebudayaan (peradaban). Dulu sampai kini.
Dua
peradaban
Dua
penyebutan di atas secara mudah dapat kita pahami sebagai nama yang mewakili
dua kebudayaan dan dua peradaban dunia yang paling dominan (kalau tidak, ya
hanya dua itu): daratan dan kelautan. Ki Hajar dan Sumpah Pemuda jelas mewakili
daratan. Mereka yang ada di dalamnya hampir 100 persen mendapatkan pendidikan
atau mengalami pergaulan dalam budaya Belanda, wakil dari peradaban daratan
Eropa. Mereka, tentu saja, juga mengenali dengan baik kebudayaan-kebudayaan
daratan lain di Eropa, macam Perancis, Inggris, Jerman, dan lainnya.
Sementara
Gajah Mada, sebagai sumber ide Dr Setiabudi, sangat kita ketahui adalah
mahapatih dari kerajaan maritim terbesar yang pernah ada di kawasan ini. Namun,
sejak keruntuhannya, bangsa-bangsa di kepulauan ini dipaksa untuk ”mendarat”
oleh kerajaan-kerajaan konsentris (menurut istilah Lombard dalam Le Carrefour Javanais), yang menumpukkan
seluruh intensitas kerja kebudayaan, mulai dari kekuasaan, perdagangan, hingga
kebudayaan di tengah daratan (hulu sungai atau lereng puncak gunung).
Hal
ini berbanding terbalik dengan dunia maritim yang lebih mengandalkan laut,
samudra, dan sungai-sungai sebagai kanal perdagangan dan pertahanan. Politik,
kekuasaan dan pemerintahan, kamar-kamar dagang, hingga kerja kebudayaan
berlangsung jauh dari gunung, di bandar-bandar yang menyebar di pulau-pulau
Nusantara.
Proses
pendaratan
Keliru
jika kita beranggapan dunia maritim itu dipaksa ”mendarat” oleh bangsa-bangsa
daratan dari Barat (Eropa), seperti Portugis, Belanda, Perancis, dan
seterusnya. Lima ratus tahun sebelumnya, atau dua milenium sebelum kini, bangsa
India sudah menggelar karpet merah untuk proses ”pendaratan” bangsa Eropa
kemudian, setelah mereka lebih dulu menaklukan kerajaan-kerajaan lokal dari
dalam. Seperti yang terjadi di Jawa Barat dalam kasus Salaka Nagara dan
Kalimantan dalam kasus Kutai.
Budaya
dan peradaban ”Daratan” pun kemudian merajalela di seluruh Indonesia, seiring
dengan gerak perluasan VOC dan pemerintahan Hindia Belanda. Peradaban ”daratan”
tampaknya sukses melindas kejayaan peradaban ”kelautan” yang dalam hitungan
penulis berusia lima milenium sebelumnya. Hingga hari ini, Indonesia
berciri-ciri dan berkarakter khas ”daratan”.
Anda
menjadi saksi dan —mungkin—pelakunya sendiri. Bagaimana adab ”daratan” yang
keras, kasar, dominatif, inflitratif, material, logis-rasional, dan
imperialistik menjadi muatan, tersembunyi atau tidak, dalam perilaku rakyat
bangsa kita, terutama pejabat publiknya.
Ada
banyak alasan historis, arkeologis, antropologis, hingga kultural mengapa
peradaban ”daratan” memiliki ciri-ciri seperti tersebut di atas. Negeri ini
seperti menjadi miniaturnya, di mana media massa setiap hari (bahkan sering
dalam berita utama) mengungkap kekasaran, kekerasan, kehendak mendominasi
hingga nafsu material yang infiltratif, terjadi di seluruh belahan republik
ini, baik di tingkat elite hingga akar rumput.
Semua
pihak ingin dominan menjadi raja. Seperti pemeo, ”Bila tidak bisa menjadi
menteri besar (menjadi pejabat publik di pusat ibu kota) jadilah raja kecil
(penguasa di wilayah sendiri)”. Tak mengherankan bila nafsu pemekaran seperti
tiada henti, bahkan kian meluap. Kalau perlu keringat, senjata, dan darah
digunakan untuk merealisasikan. Mungkin hampir tak terhentikan hingga Indonesia
pun menjadi kepingan-kepingan kecil yang kian rapuh.
Semua
itu, menurut hemat saya, karena kita telah mengingkari bahkan mengkhianati jati
diri kita sendiri sebagai bangsa maritim (kelautan). Secara tragis hal itu
mungkin dapat disimbolisasi dengan kisah Pinisi Nusantara, sebuah kapal yang
dibuat oleh bangsa sendiri, dibangga-banggakan dan berhasil mengarungi Samudra
Pasifik hingga Vancouver, Kanada, 15 September 1986.
Apa
yang kemudian terjadi? Kapal kebanggaan yang dielus-elus oleh (alm) Laksamana
Sudomo itu nyungsep, melapuk, dan dilupakan di Karang Ayer Kecil, Kepulauan
Seribu, Jakarta, 15 September 2002.
Nasib
kelautan
Begitulah
nasib kelautan bagi bangsa kita yang ”mabuk daratan” dan dikuasai setengah abad
oleh angkatan darat, perhubungan darat, jembatan-jembatan, jalan tol-jalan tol,
dan seterusnya. Bayangkan, ada rencana pembuatan jembatan untuk menghubungkan
daratan Sumatera dan Jawa berbiaya Rp 200 triliun. Berapa kapal, besar dan
kecil, yang dapat dibeli dari jumlah itu untuk menjadi penghubung ribuan pulau
negeri ini?
Ketika
banyak kalangan bicara tentang kembali ke dunia maritim, revolusi biru, dan
sebagainya, sesungguhnya ada yang sangat tidak siap dari nafsu-nafsu itu. Yakni
identifikasi awal tentang bagaimana peradaban maritim itu. Diskusi dan
konsensus nasional dibutuhkan untuk itu, termasuk akibat-akibat besar sebagai
dampaknya.
Mereka
yang selama ini merasa nyaman dengan adab ”daratan” harus banyak legawa. Supaya
kita kembali ke jati diri kita: Kelautan. Jalesveva
Jayamahe! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar