Senin, 06 Mei 2013

Cermati, Tiongkok Demam


Cermati, Tiongkok Demam
Ahmad Erani Yustika ;  Guru Besar FE dan Bisnis Universitas Brawijaya;
Direktur Eksekutif Indef
JAWA POS, 06 Mei 2013


Tiongkok dipuja sebagai negara yang luar biasa kinerja ekonominya dalam 20 tahun terakhir. Pertumbuhan ekonomi hampir selalu di atas 10 persen, kecuali saat terjadi krisis ekonomi global (itu pun biasanya masih pada kisaran 8 persen). Nilai ekspor Tiongkok pada 2010 menjadi yang terbesar di dunia, meninggalkan Jerman yang sebelumnya selalu juara. Tiongkok pun menjadi negara dengan cadangan devisa terbesar di dunia, sekarang USD 3,3 triliun atau USD 3.300 miliar. Bandingkan dengan cadangan devisa Indonesia yang hanya USD 110 miliar. 

Pada 2008, saat AS mengalami krisis gara-gara subprime mortgage, Tiongkok menjadi penyelamat. Sekarang sekitar USD 1,16 miliar surat utang AS dibeli oleh Tiongkok. Salah satu letak keberhasilan laju pembangunan ekonomi di Tiongkok adalah pembangunan infrastruktur secara konsisten selama dua dekade terakhir, tentunya dengan ongkos yang sangat besar. 

Tiongkok termasuk salah satu negara di dunia yang mengalokasikan anggaran pembangunan infrastruktur dalam jumlah besar, sekitar 9 persen dari PDB. Persentase tersebut lebih besar daripada negara-negara maju lainnya seperti AS, Jerman, dan Jepang. Indonesia sendiri selama ini hanya mengalokasikan dana infrastruktur 2,1 persen dari PDB. Hampir semua ekonom berdecak kagum dengan upaya dan capaian ekonomi Tiongkok tersebut. 

Di sana sini memang terdapat kritik terhadap pembangunan ekonomi di Tiongkok. Misalnya, pendapatan per kapita masih rendah (hanya sedikit di atas Indonesia) dan pembangunan hanya terkonsentrasi kepada wilayah tertentu seperti Shengzen yang ekonominya sangat gemerlap melebihi Beijing. Namun, kritik itu bisa ditutup oleh kinerja makroekonomi yang mencengangkan tadi. Tapi, kali ini, tampaknya, seluruh pikiran perlu dipusatkan dengan mencermati perkembangan mutakhir yang mengagetkan di Tiongkok: krisis utang. 

Krisis utang itu tak lain untuk mengongkosi pembangunan infrastruktur dan proyek investasi untuk menstimulasi ekonomi saat terjadi krisis global, khususnya pada 2008. Penyedot dana terbesar berasal dari pembangunan jalur rel kereta api dan jalan tol. Belum termasuk pembangunan nuklir untuk mencukupi kebutuhan listrik. 

Dari mana dana untuk pembangunan tersebut? Ternyata sebagian anggaran itu diperoleh dari pembiayaan bank yang dijamin oleh pemda sehingga berakibat naiknya utang off-budget (di luar anggaran). Itulah awal krisis utang yang dapat mengakibatkan suhu tubuh Tiongkok meningkat (demam). Pada 2007, neraca fiskal Tiongkok masih surplus 2 persen. Namun, tahun lalu telah minus 2 persen. Saat ini diperkirakan rasio utang terhadap PDB sekitar 48 persen, sedangkan Indonesia 27 persen. Total utang Tiongkok saat ini pada kisaran USD 685 miliar dan PDB USD 8,2 triliun (Kontan, 10 April 2013). 

Komposisi utang off-budget itu disumbangkan oleh perusahaan infrastruktur pemda (31,2 persen), departemen di pemda (15,6 persen), unit layanan publik pemda (20,2 persen), kementerian perkeretaapian (12,1 persen), dan perusahaan aset manajemen (20,9 persen). Selain sebagai penjamin dari pembiayaan perbankan, pemda itu (bahkan daerah yang kecil sekalipun) juga menerbitkan surat utang untuk berlomba-lomba membangun infrastruktur dan meningkatkan investasi. 

Obsesi terhadap pertumbuhan ekonomi telah menenggelamkan sebagian pemda dalam pusaran arus utang. Diperkirakan, seluruh utang telah menggerogoti sekitar 20-40 persen kapasitas ekonomi daerah sehingga ke depan kemampuan mengalokasikan anggaran pembangunan dan sosial akan berkurang. Lebih dari itu, sekarang yang paling dicemaskan adalah ketika penerimaan anggaran jeblok, misalnya akibat krisis ekonomi, maka ekonomi Tiongkok bakal terperosok. 

Kasus Tiongkok itu menarik dicermati karena dua hal pokok, khususnya bagi Indonesia. Pertama, saat ini (sampai kira-kira 2025) pemerintah juga merencanakan pembangunan infrastruktur secara besar-besaran, terutama lewat program MP3EI (masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi). Kedua, secara formal, pemerintah daerah telah dibekali dengan regulasi yang memungkinkan menerbitkan surat utang atau melakukan pinjaman untuk pembiayaan daerah. Dalam soal infrastruktur, pemerintah tidak salah memprioritaskan itu karena kondisinya amat tertinggal jika dibandingkan negara lain sehingga menyulitkan percepatan pembangunan ekonomi. Namun, seperti pengalaman Tiongkok, pemerintah mesti mengukur kemampuan agar ambisi tersebut tidak sampai melebihi kapasitas pembiayaan nasional. . 

Berikutnya, meskipun beberapa daerah di Indonesia secara ekonomi memiliki kapasitas mengeluarkan surat utang maupun melakukan pinjaman, rasanya niat itu sebaiknya ditunda. Bukan semata karena ''Tiongkok syndrome'' tersebut, namun secara keseluruhan tata kelola keua­ngan daerah (sebenarnya juga pusat) masih karut-marut. Tata kelola yang buruk bukan semata terjadi karena faktor kapasitas birokrasi, tetapi akibat sistem politik berbiaya mahal yang memperbesar peluang terjadinya penyimpangan aturan main. 

Dalam situasi seperti sekarang, kebijakan lama yang mengutamakan kehati-hatian rasanya lebih tepat diutamakan ketimbang mencoba melayani seluruh ambisi yang kurang terukur. Jadi, kasus di Tiongkok itu memang belum terbukti akan menjadi pemicu krisis ekonomi. Namun, fluktuasi ekonomi sela­lu didahului dengan gejala-gejala. Kalkulasi ekonomi menunjukkan kemungkinan datangnya krisis utang di Tiongkok sehingga Indonesia mesti menyiapkan dua hal berikut: mengantisipasi jika krisis terjadi dan memastikan praktik yang sama tidak diamalkan di sini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar