Rabu, 01 Mei 2013

Caleg Artis dan Imagologi Politik


Caleg Artis dan Imagologi Politik
Joko Wahyono  ;  Analis politik di Program Pascasarjana
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 30 April 2013


Deretan nama artis kembali mewarnai daftar calon anggota legislatif sementara (DCS) Pemilu 2014. Hampir semua parpol memanfaatkan pesona mereka sebagai senjata ampuh untuk menarik simpati dan meraup kursi di Senayan. Sebut saja Partai Demokrat yang menggandeng Yenny Rahman dan Dede Yusuf, PDIP meminang Yessy Gusman dan Edo Kondologit, Golkar merangkul Katon Bagaskara dan Ari Lasso, dan PPP menggaet Mat Solar dan Angel Lelga. Di PKB tercatat ada Arzetti Bilbina dan Akrie ‘Patrio’, di PAN ada nama Lisa Natalia dan Gisel, di Hanura ada David Chalik dan Andre Hehanusa, dan Gerindra memasang nama Irwansyah dan Helmalia Putri. Walhasil, momentum pemilihan wakil rakyat mendatang tak ubahnya menjadi kontestasi para bintang selebritas.

Langkah parpol mengimpor caleg dari kalangan artis itu wajar dalam konteks politik yang hanya berorientasi pada how to get power. Di sini, pijakannya bukanlah kualitas, melainkan popularitas. Namun, rekrutmen artis secara instan akan menjadi ancaman bagi kader potensial.

Sangat sulit dan mahal bagi mereka yang sebenarnya punya kualitas baik untuk bersaing dengan artis yang kebetulan punya modal finansial dan kepopuleran. Lebih lagi, kultur masyarakat kita sejauh ini masih berbasis visual. Budaya menonton lebih kuat ketimbang membaca. Penilaian terhadap figur masih terbatas pada penampilan (image). Sementara itu, ukuran-ukuran ideal, seperti integritas, track record, dan kompetensi, masih jauh panggang dari api. Ironisnya, parpol justru memanfaatkan kultur masyarakat semacam itu.

Pemiskinan Politik

Tepat kiranya Milan Kundera dalam novel Immortality (1990) menyebut kenyataan tersebut sebagai bentuk politik imagologi (the imagology of politics). Di sini cita rasa, image, dan persepsi publik dibangun lewat serangkaian representasi visual dan naratif. Dalam imagologi, pilihan politik seakan sama dengan pilihan konsumsi.

Artinya, pilihan-pilihan yang dibuat semata-mata dipengaruhi daya tarik emosi dan rasa ketimbang pilihan kritis-refektif. Dengan mekanisme imagologi itulah parpol hendak merayu publik melalui perekrutan artis, menggunakan teknik media untuk menampilkan image yang menarik dan atraktif. Argumentasi dan bobot kualifi kasi tidak penting lagi. Yang terpenting ialah bagaimana parpol bisa mengemas artis sehingga publik menyukainya.

Padahal, imagologi politik itu mengarah ke diskontinuitas antara citra politik (political image) dan realitas politik (real politics). Jika semakin kuat visualisasi imagologi di tubuh politik, komunikasi akan terdistorsi secara sistematis. Bahkan, menurut Habermas (1989), itu akan menggerus nalar kritis publik dan akhirnya terjadi pemiskin an politik.

Wilayah politik terjajah oleh uang dan fantasi yang dikemas dalam balutan citra. Politik bermetamorfosis menjadi sekadar iklan dan industri infotainment, dengan masalah-masalah kebangsaan digantikan berbagai imaji dan rayuan. Politik yang pada mulanya menjadi penentu kehidupan bangsa terjerembap penuh rekayasa. Rekrutmen caleg artis bukan untuk mem bangun politik autentik, melainkan citra untuk mewadahi nafsu kuasa.

Mereka direkrut untuk sekadar menutupi kegagalan parpol dalam mendidik dan mempersiapkan kader-kader yang punya kualitas dan kemampuan sebagai legislator. Tak mengherankan jika nantinya anggota legislatif yang terpilih mayoritas bukan berasal dari kader yang benar-benar memahami garis perjuangan partai, melainkan kader karbitan yang direkrut untuk memperjuangkan besaran porsi kue kekuasaan di rezim yang akan mengendalikan pemerintahan. Terlebih jika hasrat para artis menjadi caleg itu didorong motif untuk memperoleh popularitas, kedudukan, dan kekayaan, politik akan berada dalam bahaya. Jauh dari politik sebagai sarana untuk kebaikan bersama, atau mencapai kebahagiaan (eudaimonia).

Pemilih Cerdas

Jika mau jujur, figur artis sebenarnya bukanlah jawaban dari kondisi bangsa yang tengah minim figur kepemimpinan akibat rapuhnya mekanisme kaderisasi parpol meski di antara mereka ada yang tercatat memiliki rekam jejak baik. Namun, di tengah gugatan terhadap gaya hidup hedonis dan mental koruptif, publik harus bersikap kritis melihat implikasi dari proses pencalegan artis.

Kita tentu tidak ingin jika kemunculan mereka pada akhirnya hanya akan menciptakan kultur politik yang artifisial dan penuh kepura-puraan. Tidak tahu apa yang hendak dilakukan dengan kekuasaan yang di genggamnya. Di sinilah nasib bangsa terletak pada pemilih cerdas yang mampu memilih caleg dengan akal sehat. Publik harus matang dalam mengukur kemampuan dan track record mereka.

Sesuatu yang harus kita lihat ialah bagaimana pandangan mereka terhadap persoalanpersoalan, seperti korupsi, potensi kekerasan dan konflik sektarian, kriminalitas, kemiskinan, distribusi dan kelangkaan BBM, dan naik turunnya dolar. Memilih calon wakil rakyat harus selektif dengan pertimbangan rasional berdasarkan kompetensi, kualitas, dan berdedikasi tinggi dalam proses pencapaian visi, misi, dan platform yang akan diperjuangkan. Bila tidak, pemilu legislatif hanya akan jadi ajang parodi politik semata. Di dalamnya dipertontonkan berbagai kedustaan, kepalsuan, artifisialitas, dan superfisialitas politik. Akibatnya, sudah dapat dipastikan visi-misi dan program kerja tak akan pernah menyentuh kebutuhan dasar (basic needs) masyarakat.

Jika siklus itu terus-menerus terjadi, politik akan mengalami disfungsi akut. Efek negatifnya ialah semakin antipatinya masyarakat terhadap politik (pemilu). Ke depan sebaiknya setiap parpol harus membangun mekanisme rekrutmen dan kaderisasi politik yang mapan.

Jenjang kaderisasi harus jelas dan memiliki indikator yang dapat diukur. Jika mekanisme rekrutmen dan kaderisasi politik di setiap parpol sudah mapan, siapa pun dapat memiliki kesempatan yang sama untuk dicalonkan menjadi pejabat publik (caleg). Di sinilah inti dari politik autentik, yakni proses menjadikan manusia dengan ketinggian akal, budi, nalar, dan pikiran untuk menghasilkan energi perbaikan kehidupan bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar