Rabu, 01 Mei 2013

Eksekusi Putusan Pengadilan yang Batal demi Hukum


Eksekusi Putusan Pengadilan yang Batal demi Hukum
Andi Hamzah  ;  Guru Besar dalam Ilmu Hukum Pidana Universitas Trisakti
MEDIA INDONESIA, 29 April 2013


Dalam rangka eksekusi mantan Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Polri Komjen (Purn) Susno Duadji, kalangan akademisi dan masyarakat menjadi ramai mempersoalkan antara keadilan dan kepastian hukum. Dengan penolakan permohonan kasasi oleh Mahkamah Agung (MA), berarti putusan menjadi tetap (in kracht van gewijsde). Tidak ada lagi upaya hukum biasa yang dapat ditempuh. Eksekusi harus dilaksanakan.

Upaya hukum luar biasa yaitu peninjauan kembali dapat dilakukan, tetapi ada persyaratan berat untuk itu. Harus ada novum atau keadaan baru yang tidak diketahui pada waktu putusan dulu. Andai kata diketahui, putusan tidak akan serupa dengan pu tusan yang sekarang. An dai kata hal itu diketahui, putusan akan lain menjadi salah satu: bebas, lepas dari segala tuntutan hukum, tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau pidana yang lebih ringan dari semula.

Putusan bebas jika perbuatan yang didakwakan penuntut umum tidak terbukti dan meyakinkan hakim. Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (on slag van alle rechtsvervolging) jika perbuatan yang didakwakan penuntut umum terbukti, tetapi ada dasar pembenar (tidak melawan hukum) atau dasar pemaaf (tidak ada kesalahan).

Tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima jika pada waktu persidangan dulu perkara sudah lewat waktu (verjaard), ne bis in idem, delik aduan tidak ada pengaduan, anak di bawah umur, dan hukum pidana Indonesia tidak berlaku untuk delik itu. Dipidana lebih ringan dari semula jika putusan salah kualifikasi.
Misalnya, dipidana 20 tahun penjara karena melanggar Pasal 340 KUHP (pembunuhan yang telah dipikirkan lebih dulu/met voorbedachten rade), ternyata pembunuhan biasa ex Pasal 338 KUHP (pembunuhan spontan) yang maksimumnya 15 tahun penjara sehingga pidana semula 20 tahun penjara harus diturunkan menjadi 15 tahun ke bawah.

Alasan lain untuk memohon peninjauan kembali ialah putusan saling bertentangan. Misalnya dalam hal turut serta (medeplegen) yang satu dipidana dan yang lain bebas, yang dalam pertimbangan hakim terbukti keduanya bekerja sama. Alasan yang ketiga jika putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata. Alasan ketiga itu tidak ada dalam KUHAP Belanda, yang ditambahkan penyusun RUU KUHAP dulu. Dengan demikian, dalam RUU KUHAP yang sudah di tangan DPR, alasan ketiga itu tidak dicantumkan.

Eksekusi Dulu

Jika benar-benar ada kekeliruan hakim, yang mestinya tidak mungkin 9 hakim yang terdiri dari 3 di PN, 3 di PT, dan 3 di MA keliru semua. Jika benar-benar terjadi kekeliruan sembilan hakim itu, upaya yang dapat dilakukan ialah permohonan grasi kepada Presiden yang didukung MA dan Jaksa Agung.

Upaya hukum luar biasa itulah yang mestinya di upayakan penasihat hukum Susno Duadji. Artinya, rela dieksekusi lebih dulu. Memang sangat sulit untuk mengemukakan adanya tiga alasan peninjauan kembali itu. Demikianlah sehingga di Prancis dan Belanda, rata-rata 10 tahun baru ada satu peninjauan kembali. 

Berlainan dengan Indonesia hampir setiap hari ada permohonan peninjauan kembali, baik perkara pidana maupun perkara perdata. Hal itu terjadi karena MA sering menerima permohonan peninjauan kembali yang cenderung mengada-ada yang mestinya langsung di NO (niet ontvankelijk verklaring).

Bahkan ada orang yang mengajukan peninjauan kembali sehari setelah menerima putusan yang berkekuatan hukum tetap. Upaya yang paling mungkin dilakukan Susno Duadji ialah permohonan grasi kepada Presiden, dengan alasan terjadi ketidakadilan dalam proses penyidikan. Muncul kesan, dan masyarakat pada umumnya mengetahui, ada semacam balas dendam dalam proses Susno Duadji, lam proses Susno Duadji ada kesan perkara `dicari (bukan `dicari-cari') karena telah melaporkan perbuatan korupsi yang dilakukan temannya Kesan itu semakin nyata jika memperhatikan adanya usaha `melindungi' ketika akan dieksekusi penuntut umum di Bandung karena telah terjadi perubahan rezim di kepolisian.

Tidak disadari bahwa perbuatan melindungi orang yang akan dieksekusi itu merupakan contempt of court. Permohonan grasi tidak berarti orang itu mengakui kesalahannya, termasuk juga jika pidana yang dijatuhkan kepadanya tidak sepadan dengan kesalahannya atau tidak adil. Thailand tidak mengenal aturan peninjauan kembali. Jika ada novum atau putusan saling bertentangan, upaya yang ditempuh ialah permohonan grasi kepada Raja Thailand.

Hal yang paling rumit ialah alasan yang dikemukakan Susno Duadji dan penasihat hukumnya bahwa putusan MA mengenai dirinya tidak memenuhi syarat sesuai dengan Pasal 197 KUHAP. Salah satu syarat suatu putusan yang tercantum dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k ialah `perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan'. Ayat (2) pasal itu mengatakan, `Tidak dipenuhinya ke tentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k dan i pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum'.

Hakim Lalai

Yang menjadi pertanyaan ialah apakah dengan suatu putusan yang batal demi hukum, terpidana tidak dapat dieksekusi? Batal demi hukum artinya dengan sendirinya batal, tidak perlu di batalkan. Penulis sependapat dengan mantan hakim Asep Iwan Iriawan, dosen Trisakti, bahwa hakim yang lalai demikian bukanlah hakim. Artinya, ia tidak memenuhi syarat untuk menjadi hakim.

Penulis memandang hakim demikian sama dengan pilot pesawat terbang yang lupa menekan tombol penting untuk menurunkan roda ketika akan mendarat. Yang menjadi masalah paling rumit ialah ternyata banyak putusan hakim yang demikian. Ada beberapa terpidana yang sudah dieksekusi yang juga menunjuk alasan tidak dipenuhinya Pasal 197 ayat (1) huruf k dan ayat (2). Jika Susno Duadji tidak dieksekusi berdasarkan alasan tidak dipenuhinya ketentuan tersebut, apakah mereka yang sudah dieksekusi itu tidak minta dibebaskan dan mereka yang belum dieksekusi juga menolak dieksekusi?

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menyatakan Pasal 197 ayat (1) huruf k itu bertentangan dengan UUD itu dan putusan itu tidak berlaku surut tambah merumitkan persoalan. Sebe narnya MK tidak perlu memutus demikian. Ketentuan semacam itu ada juga dalam KUHAP Belanda. Hakim yang keliru dan lalai tidak bisa dibenarkan dengan putusan MK.

Masalah lain ialah apakah keputusan MK yang menganulir Pasal 197 ayat (1) khususnya huruf k itu harus ditaati seterusnya oleh legislatif? Misalnya dalam rancangan KUHAP yang sudah di tangan DPR, tetap ada ketentuan semacam itu karena sebenarnya ketentuan demikian bersifat universal. Apakah hakim MK yang sembilan orang itu dapat dipandang sebagai konstituante? Bukankah putusan Pasal 197 KUHAP saja menimbulkan pertanyaan besar bagi para pakar hukum pidana dan acara pidana?

Putusan mengenai penghinaan presiden dan wakil presiden yang dipandang bertentangan dengan UUD, bagi penulis, agak aneh. UU No 1 Tahun 1946 yang menentukan het Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie `dinasionalisasi' menjadi KUHP dan Pasal 134 tentang penghinaan kepada raja diubah menjadi penghinaan kepada presiden dan wakil presiden.

Bukankah penyusun UU No 1 Tahun 1946 itu, antara lain Prof Soepomo, ialah pendiri Republik ini? Selain daripada itu, ketentuan tentang penghinaan kepada kepala negara sahabat tetap diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 142 KUHP. Bahkan penghinaan kepada pejabat seperti gubernur, bupati, polisi, jaksa, hakim, anggota DPR, dan seterusnya tetap diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 207 KUHP.

Jadi, penghinaan kepada bupati dipidana, sedangkan kepada presiden tidak dipidana. Sebagai perbandingan, KUHP Jerman mengancam pidana bagi orang yang menghina atau `melecehkan' Presiden Federasi Jerman. Penuntutan dilakukan sesudah ada persetujuan presiden. KUHP Jepang menentukan menentukan penghinaan kepada kaisar, permaisuri, ibu suri, dan janda kaisar diancam dengan pidana. Yang berhak mengajukan pengaduan ialah perdana menteri. Ditentukan bahwa penghinaan kepada kepala negara asing diancam dengan pidana. Yang berhak mengajukan pengaduan ialah perwakilan negara itu.

Jadi, menghina Presiden RI di Jepang diancam dengan pidana dan yang berhak mengadu ialah duta besar Indonesia di Jepang, sedangkan orang yang menghina presiden di negerinya sendiri tidak dipidana. Memang menghina Presiden Amerika Serikat tidak dipidana. Pada 2008 penulis berkunjung ke Washington, melihat seorang nenek duduk di depan Gedung Putih yang di depannya ada tulisan `George W Bush is the real terrorist'. Apakah kita akan mengikuti negara superliberal tersebut?

Ada pertanyaan, bolehkah terpidana dieksekusi dengan putusan yang batal demi hukum? Penulis menjawab Jaksa Agung mengembalikan putusan MA itu untuk diperbaiki. Tidak ada ketentuan yang membolehkan dan melarang hal tersebut.
Akan tetapi, menurut pendapat penulis, inilah jalan terlurus untuk memecahkan masalah itu. Oleh karena putusan batal demi hukum, perlu ada putusan baru. Perlu retrial, sama halnya dengan putusan peninjauan kembali yang merupakan retrial baik di Belanda maupun Jepang.

Dalam kasus Susno Duadji, memang MA tidak perlu menentukan terpidana masuk tahanan karena tidak memeriksa materi perkara langsung menolak permohonan kasasi. Yang membuat kekeliruan ialah pengadilan negeri dan pengadilan tinggi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar