|
KOMPAS, 10 Mei 2013
Katakanlah orang-orang Indonesia itu kreatif
atau jahil. Namun, kreativitas sejumlah orang itu tadi sebenarnya menunjukkan
suatu pemberontakan diam-diam atas tayangan media massa yang kerap melebih-lebihkan
berbagai gejala yang ada.
Perseteruan panas Adi Bing Slamet dengan
Eyang Subur telah berminggu-minggu memakan waktu dan mengisi segmen infotainmen
di berbagai media. Entah sudah berapa ratus jam aneka segmen disuguhkan
menggambarkan perseteruan keduanya.
Belakangan muncul seorang Arya Wiguna yang
mengaku sebagai korban ”ajaran Eyang Subur”. Lepas dari benar tidaknya ”ajaran
Eyang Subur”, menarik melihat bagaimana inisiatif dilakukan beberapa orang yang
mengedit, memberi komposisi baru, dan mengunggah sejumlah video pendek dengan
dasar perseteruan Adi Bing Slamet-Arya Wiguna-Eyang Subur ini. Aneka video
pendek ini bertumpu pada konferensi pers Arya Wiguna yang meluapkan kekesalan
kepada Eyang Subur dengan cara amat dramatis.
Sila ketik ”Arya Wiguna” pada laman Youtube,
segera Anda temukan sejumlah video. Sejumlah pihak mengedit potongan adegan
ekspresif itu dengan menambahkan aneka hal lain. Ada potongan musik masuk untuk
memberi tambahan efek dramatis ketika Arya memukul-mukul meja di hadapannya
sambil berteriak, ”Demi Tuhan....” Ada pula potongan video yang diambil dari
film tahun 2012, Lord of the Rings, yang menunjukkan efek teriakan Arya dan
pukulannya berkali-kali ke meja itu.
Ada yang mempermainkan elemen suara dari
teriakan Arya Wiguna itu sehingga terdengar seperti suara mencicit. Ada pula
video yang memadukannya dengan lagu mendunia PSY–Gangnam Style—dengan segala
efek yang membuat kemarahan dan ekspresi muka Arya menjadi suatu tontonan yang
menggelikan.
Mungkin tidak berlebihan apabila gejala ini
dipandang sebagai suatu pemberontakan diam-diam sejumlah orang yang muak dengan
dramatisasi yang berlarut-larut dari kasus Adi Bing Slamet-Arya Wiguna-Eyang
Subur ini. Perkara yang sebelumnya sangat pribadi kini merambah karena sudah
memasukkan sejumlah lembaga formal ke dalamnya seperti Kepolisian, Komnas HAM,
Majelis Ulama Indonesia, dan DPR.
Apa maknanya?
Paul Johnson, sejarawan Amerika Serikat,
pernah menyebutkan, media massa memiliki tujuh dosa yang mematikan, antara lain
dramatisasi fakta palsu, mengganggu kehidupan pribadi, distorsi informasi,
eksploitasi seks, dan meracuni pikiran anak-anak. Astaga, lima poin dari tujuh
dosa mematikan ada semua dalam gejala media yang mengangkat masalah perseteruan
ini.
Khalayak akhirnya bosan, muak, dan terganggu
ketika berita seperti ini ditayangkan berlebihan atau mewabah di media.
Sementara hal yang terkait dengan kepentingan publik tak ada di sana.
Perlawanan diam-diam tadi, menurut saya, muncul dalam sejumlah video yang
memarodikan perseteruan mereka.
Tak berlebihan bila dikatakan, hal itu
merupakan bentuk respons dari audience
strikes back pada era media sosial seperti sekarang ketika audiens tidak
lagi tampil semata-mata sebagai sasaran pesan, ia pun bisa memproduksi pesan
yang lain. Bahkan, pesan yang dibuatnya sangat subversif dengan pesan awal yang
mau disampaikan. Perangkat pembuat pesan dan keahlian mengemas pesan memang tak
lagi monopoli orang-orang media.
Kita tak tahu berapa lama lagi perseteruan
ini akan berakhir, dan bagaimana akhir kisah ini sebelum tergeser dengan
pemberitaan heboh lainnya. Yang pasti, gejala ini dalam bahasa kelompok Project Censored pimpinan Peter Phillips
dari Sonoma State University, AS,
sudah masuk kategori junk food news,
berita yang diekspos berlebihan oleh media, tetapi sangat kecil urusannya
dengan kepentingan publik (projectcensored.org).
Media, dalam menghadapi situasi seperti ini,
terlihat gamang. Meski sadar urusan ini tak ada kaitan apa pun dengan
kepentingan publik, soal seperti ini mengundang banyak orang untuk menonton
(mempertinggi peringkat) atau mengundang banyak orang mengkliknya secara online
(klik inilah yang menghasilkan penghasilan iklan bagi media daring), pun
menjual puluhan hingga ratusan ribu eksemplar tabloid. Apakah media akan
berubah atau tidak, keputusan akan datang dari para pengelola media itu
sendiri.
Syukurlah, audiens memiliki perangkat, cara,
dan ekspresi untuk menunjukkan bahwa merekalah yang aktif mendekonstruksikan
makna perseteruan itu. Ini juga menunjukkan, audiens bisa berdaulat dengan
membaca pesan-pesan tersebut secara terbalik. Perlawanan seperti ini tidak akan
pernah berakhir selama isi media dipenuhi dengan sampah dan sedikit bermakna
bagi kepentingan publik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar