Investasi
Bodong dan OJK
Arfanda Siregar ;
Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan
|
|
KORAN
SINDO, 01 April 2013
Korban
investasi bodong terus berjatuhan sepanjang tahun. Rakyat yang tak melek
finansial selalu menjadi korban para penipu berkedok pengusaha sukses
yang mampu menularkan kekayaannya dalam sekejap tanpa kerja keras kepada
mereka yang bermodal.
Keinginan
cepat kaya tanpa kerja keras dan ketidakpahaman analisis keuangan menjadi
maut yang mengantar investor menjadi pesakitan. Kemanakah peran OJK
(otoritas jasa keuangan) melindungi rakyat dari godaan para pengusaha
yang hanya menawarkan mimpi? Bukan tidak memiliki lembaga yang berfungsi
melindungi rakyat dari tipu pengusaha bodong yang hobi mengeruk kantong
rakyat yang cekak.
UU Nomor 21
Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, jelas-jelas menugaskan OJK menyelenggarakan
sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap seluruh
kegiatan di dalam sektor jasa keuangan, menggantikan tugas pengaturan dan
pengawasan Bank Indonesia dan Bapepam-LK. Konstitusi juga mengamanahkan
OJK menjadi lembaga resmi yang bertugas melindungi nasabah melalui
tindakan pencegahan kerugian konsumen dan masyarakat, melakukan pembelaan
hukum, serta pelayanan pengaduan konsumen.
Agar sukses
melaksanakan tugasnya, OJK diberi wewenang luas. Pertama, memberikan
informasi dan edukasi kepada masyarakat atas karakteristik sektor jasa
keuangan, layanan, dan produknya. Kedua, meminta lembaga jasa keuangan
untuk menghentikan kegiatannya apa bila kegiatan tersebut berpotensi
merugikan masyarakat. Ketiga, tindakan lain yang dianggap perlu sesuai dengan
ketentuan peraturan perundangun dangan di sektor jasa keuangan.
Jika OJK
bergerak cepat meng eksekusi tugas yang telah dibebankan kepadanya, meski
secara resmi baru mulai bertugas awal tahun 2013 lalu, korban kasus
penipuan mengatasnamakan investasi emas oleh Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS), seperti yang terjadi
baru-baru ini dapat diminimalisasi. Bayangkan saja, GTIS telah beroperasi
beberapa tahun dan diperkirakan meng umpulkan dana masyarakat mencapai
Rp13,2 triliun lewat penjualan 2,2 ton emas yang fiktif, kok tak mampu
dideteksi OJK?
Sekarang
pendiri sekaligus Direktur Utama GTIS Michael Ong kabur ke luar negeri
meninggalkan ribuan nasabahnya di berbagai kota di Indonesia dalam keadaan
panik dan kebingungan. Ada kesan OJK tidak tanggap memetakan persoalan
krusial yang harus segera ditanganinya sebagai lembaga yang bertugas
melindungi nasabah dari berbagai penipuan berkedok investasi. Bukan tak
punya data atas berbagai keluhan nasabah atas berbagai sepak terjang
pengusaha bodong yang menawarkan investasi fiktif.
Data Badan
Perlindungan Konsumen Nasional (BKPN) pada tahun 2010 mencatat terjadi
194 kasus pengaduan konsumen terkait layanan yang diterimanya dari
lembaga jasa keuangan. Lalu tahun 2011 meningkat menjadi 240 kasus dan
pada 2012 kasus mencapai 182 kasus. Dari semua kasus aduan itu sebagian
besar menyangkut layanan perbankan dan diikuti layanan perusahaan pembiayaan.
Selain itu,
pengaduan konsumen industri keuangan menurut data Bank Indonesia
sepanjang tahun 2012 juga cukup banyak komplain dari masyarakat terhadap
jasa investasi yang diikutinya. Di sektor perbankan terdapat 417 pengaduan
dan di pasar modal 157 pengaduan. Lalu disusul diperasuransian 42
pengaduan, dana pensiun 15 pengaduan, dan pembiayaan serta penjaminan 31
pengaduan.
Dengan
membludaknya kom plain dan protes para nasabah kepada lembaga-lembaga tersebut,
seharusnya mem buat OJK segera berkonsentrasi melakukan tindakan sigap melindungi
para nasabah. Ada kesan OJK baru bergerak menunggu terjadinya kasus besar
pecah lebih dahulu. OJK ibarat mobil pemadam kebakaran yang baru tiba di
lokasi ketika harta benda korban hampir habis dilalap api.
Harus Ada Langkah Sigap OJK
Saat ini di
depan mata kita ter dapat 660.000 perusahaan investasi yang berbentuk shadow banking menyerupai bank,
tapi bukan lembaga perbankan dan itu lepas dari pengamatan OJK. Shadow banking adalah kegiatan
perbankan yang dilakukan lembaga keuangan nonbank, seperti penyaluran
kredit. Shadow banking
beroperasi menghimpun dana dan menyalurkannya berupa kredit atau investasi.
Bunga
pinjaman yang diberikan terbilang tinggi. Berdasarkan riset sebuah
majalah bisnis, selama rentang waktu 2002 hingga 2012 sedikitnya sudah
ada 70 shadow banking yang mati
lantaran dihempas krisis. Selain itu, di beberapa daerah hidup lintah darat
yang berkedok koperasi. Awalnya berupa koperasi simpan pinjam, tapi jika
melihat bunga dan penalti (akibat keterlambatan pembayaran) lebih cocok
disebut lintah darat. Belum lagi di beberapa daerah juga muncul fenomena
seperti arisan sepeda motor atau arisan haji yang berpeluang menjadi pe
nipuan.
Jika OJK masih
bertindak seperti sekarang terhadap banyaknya potensi kasus penipuan yang
mengatasnamakan bisnis in vestasi tersebut, kita hanya tinggal menunggu
ledakan yang dahsyat kapan para nasabah sadar telah tertipu. OJK tak bisa
berdalih sedang melakukan konsolidasi dan membuat perencanaan sebagai
langkah awal kerja mereka. Bagaimanapun OJK telah di bentuk dan
konstitusi mengamanah kannya menjadi institusi yang bertugas melindungi
konsumen dari godaan para penipu berkedok pengusaha.
Pertama, merumuskan
skema perlindungan terhadap seluruh nasabah industri keuangan. Aturan
main yang menjamin perlindungan bagi nasabah menjadi krusial dirumuskan.
Maklum selama ini nasabah selalu menjadi korban atas berbagai kekisruhan
dan penipuan di pasar keuangan. Kedua, OJK harus proaktif menelisik
produk-produk investasi yang beredar di pasar untuk diidentifikasi
keabsahannya dalam melindungi kepentingan pemilik dana kemudian
secepatnya merilis hasil kerja, baik melalui sosialisasi dan edukasi
kepada semua nasabah yang terlibat bisnis investasi.
Penelisikan
produk investasi bisa dilakukan OJK karena dalam bertugas bekerja sama dengan
Bank Indonesia (BI) dan PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Atas
Transaksi Keuangan). Apa susahnya mendeteksi perubahan rekening perusahaan
yang menawarkan investasi kepada nasabah bagi OJK. Ketiga, OJK harus
berani menutup dan menuntut berbagai lembaga yang terindikasi memperjualkan
mimpi kepada nasabah. Jangan selama ini ada kesan pemerintah membiarkan
nasabah terlebih dulu merasa tertipu baru mengambil tindakan.
Keberadaan
OJK harus membawa kondusivitas investasi di negeri ini. Menurut
perkiraan, sepanjang tahun 2002 hingga 2012 dana masyarakat yang hilang
akibat investasi ilegal mencapai Rp35 triliun.
Se andainya
dana sebesar tersebut dimanfaatkan kepada usaha produktif yang legal
dapat membantu percepatan pertumbuhan ekonomi. Keberadaan OJK harus bermanfaat
bagi masyarakat. Jangan hanya sekadar menjadi lembaga medioker yang keberadaannya
hanya menyobek anggaran negara. Semoga! ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar