Kamis, 04 April 2013

Urgensi RUU Ormas


Urgensi RUU Ormas
Absori  ;   Dosen Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta
REPUBLIKA, 03 April 2013


Dilihat dari sisi politik pembangunan hukum, kemauan untuk mengatur keberadaan masyarakat melalui suatu undang-undang tidak boleh lepas dari jaminan UUD 1945 soal kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Upaya negara (pemerintah) untuk mengatur melalui UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan di masa lalu (Orba) telah mereduksi dan mengecilkan keberadaan dan raung gerak masyarakat. 

Karena itu, UU tersebut menjadi tidak urgen keberadaannya di tengah masyarakat. Kini setelah sekian tahun berlalu, UU tersebut berusaha diperbarui yang pembahasannya sedang berlangsung di DPR. Pertanyaan yang mendasar apakah pembaruan UU Ormas benar-benar dibutuhkan? 
Dalam pandangan sosiologis masyarakat sebenarnya mempunyai otonomi berupa tatanan yang asli dan eksis. Kalaupun berusaha dipinggirkan keberadaannya akan tetap ada. Oleh sebab itu, kebijakan pembuatan UU tidak boleh mengurangi apalagi menghilangkan tatanan otonomi. 

Sisi Lemah

Pertama, dari sisi legalitas, keberada- an UU Organisasi Kemasyarakatan dianggap bermasalah karena tidak begitu dibutuhkan masyarakat. UU No 8 Tahun 1985 di masa lalu, dibentuk berdasar kebutuhan politik pemerintah yang menginginkan ada monoloyalitas melalui asas tunggal pengaturan organisasi kemasyarakatan yang berdasar pada Pancasila. Keberadaan UU seperti itu dianggap sebagai alat legitimasi pemerintah. 

Di sinilah keberadaan hukum dijadikan sebagai instrumen kepentingan politik. Keberadaan hukum tak lebih hanyalah sebagai produk politik. Kalau pun pemerintah akan mengatur organisasi yang terdapat di masyarakat, akan lebih baik apabila dikembalikan saja pada keberadaan organisasi itu sendiri, yakni UU Yayasan (tidak berbasis anggota) dan Persyarikatan/Perkumpulan (mempunyai basis anggota).

Kedua, batasan ormas. Yang dimaksud ormas (Pasal 1) hanya mengatur ormas yang didirikan sukarela oleh warga negara Indonesia, dan ormas asing bersifat nirlaba yang didirikan oleh warga negara asing dan melakukan kegiatan di Indonesia.

Tampak ada kesan pembuat RUU Ormas menempatkan keberadaan ormas yang begitu banyak di Indonesia sebagai bagian dari dinamika sedang tumbuhnya masyarakat sipil, sebagai ancaman yang harus diatur. Padahal, selama ini peran masyarakat begitu berarti dalam memfasilitasi dan memberdayakan masyarakat melalui berbagai program dan sebagai mediator dalam mengatasi berbagai sengketa masyarakat. Pemahaman ormas juga terkesan digeneralisasi, antara ormas yang sedang tumbuh dan ormas yang sudah eksis, seperti Muhammadiyah dan NU.

Ketiga, asas (Pasal 2) yang substansi dan semangatnya akan mengarah pada pengaturan pada asas yang bersifat tunggal, yakni Pancasila. Kalaupun dibolehkan adanya ciri tertentu (Pasal 3) asal tidak bertentangan dengan Pancasila dan UUD 45. Padahal, selama ormas Islam khususnya, tidak mem- permasalahkan pertentanggan antara Islam dan Pancasila. Karena itu, mestinya pembuat UU berpikir jernih, yakni tidak perlu mengungkap persoalan lama yang mempertentangkan pancasila dan agama.

Keempat, ormas bukan organisasi sayap partai politik (Pasal 4 dan 12), akan membelenggu ormas yang selama ini sudah merintis dan dekat dengan partai politik tertentu. Bagaimanapun partai politik bagi sebagian ormas tertentu adalah bagian dari representasi tujuan ormas melalui jalur politik.

Kelima, wilayah ormas dan struktur organisasi (Pasal 8, 23, 24, 25,26, 27), hanya meliputi nasional, provinsi, dan kabupaten/kota akan menyulitkan posisi ormas besar, seperti Muhammadiyah dan NU yang selama ini sudah melebarkan sayapnya sampai ke luar negeri.

Keenam, soal sumbangan (Pasal 61 ayat 3). Ormas dilarang menerima sumbangan berupa uang, barang, jasa dari pihak manapun tanpa mencantumkan identitas yang jelas. Konsep ini akan menyulitkan ormas keagamaan, seperti Muhammadiyah yang selama ini mene rima sumbangan atau wakaf dari pihak-pihak yang tidak mau disebutkan namanya. 

Ketujuh, larangan menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham yang bertentangan dengan Pancasila (Pasal 61 ayat 4) bisa bersifat multitafsir. Kedelapan, dari struktur kelembagaan, yakni lembaga pemerintah yang paling bertanggung jawab, yakni menteri, gubernur, bupati/wali kota dalam pendaftaran, pengawan dan tindakan yang bersifat administratif juga bermasalah.

Pendekatan Partisipatif

Upaya untuk melakukan pembaruan hukum, yakni UU No 8 Tahun 1985, tidak cukup hanya dengan melakukan perubahan peraturan perundangan baru. Namun, yang perlu diperhatikan bagaimana keberadaan hukum diterima masyarakat, dapat bekerja dan beroperasi dalam kehidupan masyarakat serta mampu menumbuhkan budaya hukum, berupa kepatuhan terhadap aturan hukum. 

Bila menghendaki pembaruan hukum dapat dipahami, diterima, dan dipatuhi oleh masyarakat, maka perlu ditumbuhkan adanya upaya pendekatan partisipatif, yakni memberi peluang akses masyarakat secara lebih luas dalam pembaruan hukum dan penegakan hukum dalam rangka memperoleh kualitas UU yang lebih baik. Pendekatan partisipatif, menurut Esmi Warrasih, hendaknya menekankan pada proses memberikan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan, atau kemampuan kepada masyarakat agar lebih berdaya dan men dorong atau memotivasi individu se hingga mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan kehidupan melalui proses dialog. 

Selama ini perkembangan masyarakat sipil di Indonesia mengalami kendala, disebabkan oleh kebijakan pemerintah di masa lalu yang bersifat sentralistis.
Keinginan untuk mewujudkan masyarakat sipil baru sebatas cita-cita. Kini sekalipun iklim keterbukaan sudah mulai tampak, namun belum menjangkau aspirasi masyarakat secara lebih luas untuk diakomodasi dalam kebijakan yang partisipatif dalam pembuatan UU, sebagaimana yang terjadi dalam kasus RUU Ormas. Karena itu, wajar apabila ormas besar seperti Muhammadiyah meminta pembahasan RUU Ormas dihen tikan atau setidaknya ditunda. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar