Kamis, 04 April 2013

Eigen Rechting di Negara Hukum


Eigen Rechting di Negara Hukum
Saharuddin Daming  ;   Anggota Departemen Hukum dan HAM Majelis Nasional KAHMI 
REPUBLIKA, 03 April 2013


Sejak kabar tentang tragedi Cebongan menyeruak ke ruang publik, berbagai upaya dilakukan untuk mengungkap tabir yang masih menutup rapat insiden meng hebohkan itu. Meski TNI AD telah membentuk tim investigasi untuk mengusut benar-tidaknya keterlibatan oknum TNI dalam kasus itu, namun kejadian tersebut semakin melengkapi peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya. 

Semua rangkaian kasus tersebut dalam perspektif hukum merupakan bentuk pengejawantahan tindakan main hakim sendiri yang dalam terminologi Belanda disebut eigen rechting. Tidak dapat disangkal bahwa segala bentuk eigen rechting merupakan serangan langsung pada ketentuan dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang mendudukkan Indonesia sebagai negara hukum.
Negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.

Ada dua unsur dalam negara hukum, yaitu pertama: hubungan antara yang memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan berdasarkan suatu norma objektif; kedua: norma objektif itu harus memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat dipertahankan berhadapan dengan ide hukum. Karena itu ada empat alasan mengapa negara menyelenggarakan dan menjalankan tugasnya berdasarkan hukum: demi kepastian hukum, tuntutan perlakuan yang sama, legitimasi demokrasi, dan tuntutan akal budi. Inilah arti penting dari konsepsi nomokrasi yang memosisikan kedaulatan tunduk pada hukum.

Sayang seribu sayang, karena hukum yang disebut-sebut sebagai panglima dalam melaksanakan reformasi kini tampak semakin lesu dan bopeng karena diacak justru oleh kalangan yang memiliki kekuasaan dan/atau keuangan.

Negara hukum yang digariskan oleh konstitusi ternyata hanyalah atribut simbolis bagi elite kekuasaan dan keuangan untuk mengeksploitasi dan mengintimidasi kaum proletar. Hukum tak ubahnya hanyalah milik para elite untuk digunakan sebagai sarana kontrol dalam melindungi kepentingan mereka. Sedangkan, keadilan yang dijanjikan oleh hukum bagi warga negara khususnya dari kalangan papa tak lebih hanyalah sekadar ungkapan basa basi. 

Tengoklah sejumlah perkara yang melibatkan oknum penyelenggara negara, khususnya aparatur penegak hukum sebagai pelaku kejahatan, mereka semua dapat mengintervensi proses peradilan untuk mendapatkan impunitas, kalau bukan peradilan sesat/sandiwara demi mendapatkan hukuman seringan-ringannya. Bukankah ini merupakan praktik eigen rechting yang nyata dan sistemis? 

Fenomena kebangkrutan hukum seperti ini sungguh telah membolak-balikkan kebenaran dan keadilan. Betapa banyak laporan dan pengaduan warga kepada aparat penegak hukum tentang tindakan kriminal yang dialami warga, namun sering tidak ditindaklanjuti karena mereka adalah kalangan miskin yang tak sanggup menyuplai nutrisi yang cukup kepada oknum aparat. Sebaliknya, banyak tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan lain-lain yang menjadi ke wenangan aparat penegak hukum dilakukan secara berlebihan, bahkan ada beberapa yang sebetulnya tidak patut dan tidak profesional. Namun, hal itu tetap ditindak akibat intervensi kepentingan orang yang kebetulan memiliki kekuatan ekonomi, status sosial, dan jabatan.

Robohnya benteng terakhir keadilan adalah petaka besar dalam law enforcement di negeri yang telah mendudukkan diri sebagai negara hukum (Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945). Hal tersebut terjadi akibat makar yang dilakukan oleh para fungsionaris hukum sendiri (polisi, jaksa, hakim, dan advokat). 
Sejak sang Dewi mewasiatkan istananya sebagai simbol penegakan hukum dan keadilan, para fungsionaris hukum melakukan pengkhianatan dengan melepas selubung penutup matanya, sebagaimana yang dicontohkan sang Dewi, sehingga mereka dapat bermain mata dengan para pihak. Tak hanya itu, timbangan yang tergenggam di tangan kiri tak pernah lagi ditera sehingga tidak dapat membedakan antara berat dan ringannya kesalahan para pihak. 

Tragisnya lagi karena pedang yang diacungkan tangan kanan sang Dewi tak pernah lagi diasah secara betul, kecuali hanya pada sisi bawah dan depannya saja. Akibatnya, wajah penegakan hukum tampak seperti pisau, yang hanya tajam ke bawah dan ke depan. Akibatnya, muncullah kultur jilat-menjilat di kalangan petualang jabatan.

Mencermati megatren eigen rechting yang dilakukan oleh elite seperti itu, maka sebagian warga akhirnya nekat melakukan tindakan main hakim sendiri.

Meski tak ada dasar pembenarannya, cara itu terpaksa diambil sebagai jalan pintas untuk merebut keadilan. Semua itu tidak lain karena panji keadilan telah dibajak oleh pengadilan sendiri. Lembaga penegak hukum telah kehilangan kepercayaan publik dan warga lebih memilih melakukan eigen rechting daripada menempuh jalur hukum yang cenderung berbiaya tinggi, tetapi miskin produk keadilan dan kemanfaatan bagi semua warga negara atas dasar equal justice under law and equal justice before the law. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar