Sejak
kabar tentang tragedi Cebongan menyeruak ke ruang publik, berbagai upaya
dilakukan untuk mengungkap tabir yang masih menutup rapat insiden meng
hebohkan itu. Meski TNI AD telah membentuk tim investigasi untuk mengusut
benar-tidaknya keterlibatan oknum TNI dalam kasus itu, namun kejadian
tersebut semakin melengkapi peristiwa serupa yang terjadi sebelumnya.
Semua
rangkaian kasus tersebut dalam perspektif hukum merupakan bentuk
pengejawantahan tindakan main hakim sendiri yang dalam terminologi
Belanda disebut eigen rechting.
Tidak dapat disangkal bahwa segala bentuk eigen rechting merupakan serangan langsung pada ketentuan
dalam Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945 yang mendudukkan Indonesia sebagai negara
hukum.
Negara hukum bersandar pada keyakinan bahwa kekuasaan negara harus
dijalankan atas dasar hukum yang adil dan baik.
Ada
dua unsur dalam negara hukum, yaitu pertama: hubungan antara yang
memerintah dan yang diperintah tidak berdasarkan kekuasaan melainkan
berdasarkan suatu norma objektif; kedua: norma objektif itu harus
memenuhi syarat bahwa tidak hanya secara formal, melainkan dapat
dipertahankan berhadapan dengan ide hukum. Karena itu ada empat
alasan mengapa negara menyelenggarakan dan menjalankan tugasnya
berdasarkan hukum: demi kepastian hukum, tuntutan perlakuan yang sama, legitimasi demokrasi,
dan tuntutan akal budi. Inilah arti penting dari konsepsi nomokrasi yang
memosisikan kedaulatan tunduk pada hukum.
Sayang
seribu sayang, karena hukum yang disebut-sebut sebagai panglima dalam melaksanakan
reformasi kini tampak semakin lesu dan bopeng karena diacak justru oleh
kalangan yang memiliki kekuasaan dan/atau keuangan.
Negara hukum yang digariskan oleh konstitusi ternyata hanyalah atribut
simbolis bagi elite kekuasaan dan keuangan untuk mengeksploitasi dan
mengintimidasi kaum proletar. Hukum
tak ubahnya hanyalah milik para elite untuk digunakan sebagai sarana
kontrol dalam melindungi kepentingan mereka. Sedangkan, keadilan yang
dijanjikan oleh hukum bagi warga negara khususnya dari kalangan papa tak
lebih hanyalah sekadar ungkapan basa basi.
Tengoklah
sejumlah perkara yang melibatkan oknum penyelenggara negara, khususnya
aparatur penegak hukum sebagai pelaku kejahatan, mereka semua dapat
mengintervensi proses peradilan untuk mendapatkan impunitas, kalau bukan
peradilan sesat/sandiwara demi mendapatkan hukuman seringan-ringannya.
Bukankah ini merupakan praktik eigen
rechting yang nyata dan sistemis?
Fenomena
kebangkrutan hukum seperti ini sungguh telah membolak-balikkan kebenaran
dan keadilan. Betapa banyak laporan dan pengaduan warga kepada aparat
penegak hukum tentang tindakan kriminal yang dialami warga, namun sering
tidak ditindaklanjuti karena mereka adalah kalangan miskin yang tak
sanggup menyuplai nutrisi yang cukup kepada oknum aparat. Sebaliknya,
banyak tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan, penggeledahan, dan
lain-lain yang menjadi ke wenangan aparat penegak hukum dilakukan secara
berlebihan, bahkan ada beberapa yang sebetulnya tidak patut dan tidak
profesional. Namun, hal itu tetap ditindak akibat intervensi kepentingan
orang yang kebetulan memiliki kekuatan ekonomi, status sosial, dan
jabatan.
Robohnya
benteng terakhir keadilan adalah petaka besar dalam law enforcement di negeri yang telah mendudukkan diri sebagai
negara hukum (Pasal 1 Ayat 3 UUD 1945). Hal tersebut terjadi akibat makar
yang dilakukan oleh para fungsionaris hukum sendiri (polisi, jaksa,
hakim, dan advokat).
Sejak
sang Dewi mewasiatkan istananya sebagai simbol penegakan hukum dan
keadilan, para fungsionaris hukum melakukan pengkhianatan dengan melepas
selubung penutup matanya, sebagaimana yang dicontohkan sang Dewi,
sehingga mereka dapat bermain mata dengan para pihak. Tak hanya itu,
timbangan yang tergenggam di tangan kiri tak pernah lagi ditera sehingga
tidak dapat membedakan antara berat dan ringannya kesalahan para pihak.
Tragisnya
lagi karena pedang yang diacungkan tangan kanan sang Dewi tak pernah lagi
diasah secara betul, kecuali hanya pada sisi bawah dan depannya saja.
Akibatnya, wajah penegakan hukum tampak seperti pisau, yang hanya tajam
ke bawah dan ke depan. Akibatnya, muncullah kultur jilat-menjilat di
kalangan petualang jabatan.
Mencermati
megatren eigen rechting yang
dilakukan oleh elite seperti itu, maka sebagian warga akhirnya nekat
melakukan tindakan main hakim sendiri.
Meski tak ada dasar pembenarannya, cara itu terpaksa diambil sebagai
jalan pintas untuk merebut keadilan. Semua itu tidak lain karena
panji keadilan telah dibajak oleh pengadilan sendiri. Lembaga penegak
hukum telah kehilangan kepercayaan publik dan warga lebih memilih
melakukan eigen rechting
daripada menempuh jalur hukum yang cenderung berbiaya tinggi, tetapi
miskin produk keadilan dan kemanfaatan bagi semua warga negara atas dasar
equal justice under law and equal
justice before the law. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar