Kehendak politik DPR bisa menyusup melalui seleksi hakim Mahkamah
Konstitusi. Kuat dugaan, para politisi Senayan menginginkan agar ”kuda
troya politik” bisa diletakkan di jantung pertahanan MK.
Bagi para politisi, kewenangan MK sebagai pelindung konstitusi
menjadi penting untuk dipengaruhi. DPR tentu tidak ingin terus
dipermalukan dalam persidangan MK. Selama ini, tak berbilang UU tak
berkualitas buatan DPR dibatalkan MK. Melalui putusan MK itu, transaksi
politik ketentuan perundang-undangan sering dibongkar ke permukaan.
Bahkan, melalui kewenangan perselisihan hasil pemilu, MK dapat
mengadili kecurangan penyelenggaraan pemilu. MK dapat membatalkan
keputusan Komisi Pemilihan Umum yang memenangkan kandidat atau partai
tertentu. Akibatnya, putusan MK akan memengaruhi jumlah kursi dan tingkat
keterpilihan di legislatif dan eksekutif. Kewenangan MK itu tentu tidak
membuat para politisi ”duduk” nyaman dalam menyambut Pemilu 2014.
Melihat kewenangan MK yang besar dalam menata demokrasi, taktik
menyusupkan ”kuda troya” bisa terjadi dalam seleksi hakim MK. Ruang itu
terbuka lebar karena DPR dan Presiden punya kewenangan menempatkan ”orang-orangnya”
di MK. Suatu saat, bukan tidak mungkin, MK akan dipenuhi ”perwakilan para
politisi” dari DPR dan Presiden. Ketika itu, putusan MK akan dipandang
tidak merdeka dari campur tangan politik.
Teori konstitusi modern menghendaki lembaga kekuasaan kehakiman
merdeka dari campur tangan lembaga negara lain. Cita-cita yang sama
termaktub dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menghendaki Mahkamah Agung dan MK
tidak tersentuh ”tangan-tangan politik”.
Namun, DPR ”bermain kasar”. Menggunakan ketentuan UU No 24 Tahun
2003 jo UU No 8 Tahun 2011 tentang MK, DPR diberi kewenangan memilih
hakim MK. Padahal, ketentuan yang lebih tinggi, yaitu Pasal 24C Ayat (3)
UUD 1945 hanya menentukan hakim MK dapat ”diajukan” MA, DPR, dan
Presiden. Kata ”diajukan” tak mesti dimaknai dengan ”memilih”. Bila
dimaknai memilih, terjadilah campur tangan ketiga lembaga negara lain
(MA, DPR, dan Presiden) ke tubuh MK.
Padahal, menurut Tom Ginsburg (Judicial
Appointment and Judicial Independent, 2009), kemerdekaan kekuasaan
kehakiman itu dilihat dari tiga kemerdekaan: (1) kemerdekaan hakim dari
kekuasaan lembaga negara lain dan para politisi; (2) merdeka dari
ideologi atau tekanan politik tertentu; dan (3) kemerdekaan dari
superioritas cabang kekuasaan kehakiman lain.
Mengacu pendapat Ginsburg, teranglah proses seleksi hakim MK tidak
akan menghasilkan kekuasaan kehakiman yang merdeka dari kepentingan
politik dan cabang kekuasaan negara lain. Alhasil, bila ”kuda troya
politik” merusak MK dari dalam berujung hilangnya kewibawaan putusan MK,
wajar kemudian banyak pencari keadilan yang mulai tidak mematuhi putusan
sang pelindung konstitusi.
Menyelamatkan MK
MK tidak bisa dibiarkan terus disusupi banyak kepentingan.
Penyelamatan terhadap MK perlu dilakukan. Meskipun publik harus mengakui
dalam dua periode kepemimpinan ketua MK (Jimly Asshiddiqie dan Mahfud MD)
banyak tatanan konstitusi yang terlindungi, bukan tak mungkin kewibawaan
MK akan terkikis bila pola seleksi hakim seperti saat ini dipertahankan.
Setidaknya ada dua metode seleksi untuk hakim MK. Pertama, proses
seleksi dilakukan cabang kekuasaan independen, yaitu Komisi Yudisial.
Hasil seleksi KY kemudian diserahkan kepada DPR dan Dewan Perwakilan
Daerah sebagai perwakilan rakyat. DPR dan DPD tidak lagi melakukan uji
kelayakan dan kepatutan sebagaimana jamak dilakukan DPR selama ini.
Parlemen (baca: DPR dan DPD) hanya menyatakan persetujuan atau tidak
setuju terhadap calon yang diserahkan KY.
Bergabungnya dua/lebih lembaga
negara dalam proses seleksi hakim MK itu oleh Ginsburg disebut sebagai cooperative appointment.
Metode kedua dapat dimulai dari MA, DPR, dan Presiden terlebih
dulu. Setelah ketiga lembaga itu mengajukan calon-calonnya, KY yang akan
melakukan seleksi kepatutan dan kelayakan dan memilih kandidat hakim MK.
Agar tidak terjadi perdebatan konstitusional, kandidat pilihan KY itu
diserahkan kepada MA, DPR, dan Presiden untuk mendapatkan persetujuan.
Pelibatan KY, sebagai lembaga independen dalam pemilihan hakim MK,
menjadi penting untuk menjauhkan tangan-tangan politik menyentuh MK.
Meskipun UUD 1945 membatasi kewenangan KY, hakim MK dapat memberikan
tafsir berbeda terhadap kewenangan KY demi menguatkan demokrasi.
Dua metode seleksi hakim MK tersebut setidaknya menjauhkan MK dari
kemungkinan menyusupnya ”kuda troya politik”. Jika metode seleksi saat
ini dipertahankan, patut diduga DPR dan Presiden memang ingin menyusupkan
”sekutunya” ke MK. Ibarat pasukan Akhaia yang mengirimkan patung kuda
berisi prajurit penyusup ke dalam kota Troya, DPR dan Presiden ingin
menghancurkan MK dari dalam. Jika MK ”dikalahkan” kekuatan politik,
perlindungan hak-hak konstitusional kita pun menjadi redup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar