Selasa, 09 April 2013

Pemain Inti Dunia Pendidikan


Pemain Inti Dunia Pendidikan
Kreshna Aditya ;  Inisiator Bincang Edukasi
MEDIA INDONESIA, 08 April 2013
  

Setelah beberapa lama debat pro-kontra kurikulum 2013 berlangsung secara intensif di berbagai forum dan di media massa, Kamis, 28 Maret lalu, dalam sebuah forum sosialisasi di Jakarta, Mendikbud M Nuh mengeluarkan pernyataan, “Sudah bukan saatnya lagi mendebat kurikulum 2013.“ Dalam acara yang sama, Mendikbud juga mengatakan, “Kurikulum 2013 adalah soal akademik, bukan politik.“

Sebenarnya, di berbagai kampus seperti ITB, Unpad, dan UI, telah dilakukan diskusi akademik untuk mengkaji kurikulum 2013 dari berbagai perspektif, mulai sains, bahasa, filsafat, sampai ke strategi implementasinya. Mendikbud mungkin terlewat mengetahui kajian akademik semacam itu karena sedang sibuk sosialisasi kurikulum 2013 ke berbagai ormas, pemimpin daerah, dan ke partai politik. Ia bahkan berkunjung ke rumah ketua partai seperti diceritakan salah seorang ketua umum partai politik. Tentu safari seperti itu lebih bisa kita sebut sebagai safari politik daripada safari akademik.

Mendikbud juga menyatakan ia terbuka pada segala kritik asal disertai solusi. Lagilagi, solusi sebenarnya juga disuarakan para `pengkritik'. Diskusi akademik yang diadakan Majelis Guru Besar ITB, misalnya, mengeluarkan rekomendasi terkait dengan penyusunan dan penerapan kurikulum baru. Namun memang, ada tawaran solusi serupa yang disuarakan sebagian besar mereka yang mengkritisi kurikulum 2013, yaitu penundaan implementasi kurikulum baru agar penyusunan dan persiapannya bisa lebih dimatangkan.
Sayangnya, penundaan tidak ada dalam kamus Kemendik bud. Sejak awal kita sudah dihadapkan pada pernyataan bahwa kurikulum 2013 ialah sesuatu yang penting dan genting sehingga pelaksanaan tahun ini juga harga mati.

Terakhir, Mendikbud mengatakan para pengkritik kurikulum 2013 bukanlah pemain inti. Maksudnya, para pengkritik bukan termasuk pemilik dan pengelola sekolah yang berkepentingan langsung terhadap kurikulum sehingga kritik mereka tidak dipandang signifikan. Itu merupakan perubahan sikap yang signifikan jika dibandingkan dengan saat awal meluncurkan `uji publik' kurikulum 2013 yang bersemangat `mencari masukan dari berbagai lapisan masyarakat'.

Focusing Illusion

Hiruk-pikuk kurikulum 2013 sebenarnya menggambarkan betapa focusing illusion sudah memengaruhi cara kita memandang permasalahan pendidikan. Focusing illusion ialah bias berpikir yang kita alami saat kita terlalu menganggap penting satu aspek sehingga kita salah memprediksi dampak dari aspek tersebut terhadap hasil secara keseluruhan.

Daniel Kahneman, peraih Nobel Ekonomi, memberi contoh tentang focusing illusion itu. Ia meneliti, apabila seluruh orang di dunia ini memiliki tingkat persekolahan yang sama, kesenjangan pendapatan di dunia ini ternyata hanya akan berkurang 10%. Tingkat persekolahan memang berpengaruh terhadap kesenjangan tingkat pendapatan. Namun karena begitu banyak faktor lain jarang dibahas, kita salah mengasumsikan pengaruh faktor persekolahan terhadap pendapatan menjadi lebih besar daripada yang se benarnya.

Para pemasar dan politikus sangat andal dalam memanfaatkan focusing illusion. Contohnya, jangankan kurikulum, kita bahkan bisa dibuat percaya bahwa seragam sekolah akan sangat memengaruhi arah dan kualitas pendidikan bangsa. Tentu seragam sekolah bisa saja memengaruhi kualitas pendidikan, tapi perbedaannya akan jauh lebih kecil daripada yang kita kira apabila kita dipaksa berfokus memandang satu aspek itu saja.

Lalu bagaimana dengan kurikulum baru yang `penting dan genting' itu? John Hattie, profesor pendidikan dari Selandia Baru, melakukan metaanalisis terhadap lebih dari 800 faktor yang memengaruhi kualitas pendidikan. Hasilnya? Faktor-faktor puncak dipenuhi faktor yang terkait dengan guru.
Kualitas guru, misalnya, memiliki nilai dampak dua kali lipat faktor kurikulum integratif. Berbagai penelitian lain juga mendukung apa yang sering kali diteriakkan pakar dan praktisi pendidikan di Indonesia bahwa yang penting dan genting diperbaiki saat ini ialah kualitas guru.

Pendewaan terhadap Persekolahan

Selain asumsi bahwa kurikulum baru ialah obat dewa bagi berbagai permasalahan pendidikan dan bangsa, sesungguhnya ada focusing illusion yang lebih kronis diderita masyarakat kita. Yaitu, menganggap sekolah formal sebagai satu-satunya cara untuk menjadi terdidik. Lebih parah lagi, sebegitu pentingnya sekolah formal se suai de ngan model dan standar pemerintah da lam persepsi masyarakat, sampai masyarakat perlu memasrahkan segala urusan pendidikan anak kepada pemerintah dengan berbagai kebijakannya.

Paul Goodman, pemikir sosial dari Amerika, telah sejak 1960-an menyuarakan kekhawatirannya tentang dominasi sekolah publik dalam pendidikan. Ia mengatakan memfasilitasi tumbuh kembang anak melalui metode dan kurikulum yang kaku, seragam, dan penuh asumsi akan menyia-nyiakan kemampuan terbaik manusia untuk belajar dan menjadi mandiri.
Sekolah, menurutnya, tidak menyiapkan anak untuk kontribusi nyata. Menurutnya, pendidikan terbaik ialah pendidikan insidental di dalam masyarakat, yaitu saat anak terlibat aktif dalam aktivitas kehidupan harian masyarakat dan belajar darinya. Tugas pendidik ialah menemukan kesempatan dan menjembatani pendidikan insidental itu dalam aktivitas-aktivitas yang ada di masyarakat.

Sayangnya, peringatan Paul Goodman itu cenderung terabaikan. Sejak era Paul Goodman, persekolahan formal berparadigma sistem industri dan ban berjalan malah semakin mendominasi dunia pendidikan. Namun saat ini, paradigma itu mulai goyah. Banyak pakar dan praktisi dari berbagai bidang menyuarakan kembali pentingnya reformasi, bahkan revolusi, pendidikan.
Sugata Mitra, profesor penggagas self-organized learning environment, menyatakan, “Sistem pendidikan tidak cacat. Ia bekerja sebagaimana ia dirancang. Namun, saat ini kita tidak memerlukannya lagi. Sistem pendidikan saat ini sudah kuno.“

Lantas bagaimana kita harus mempersiapkan anak agar menjadi bagian dari masyarakat abad ke-21 yang sudah berubah, ketika kita justru mengurung mereka lebih lama di sekolah dan memisahkan persekolahan dari masyarakat? Salah satu kunci pendidikan abad ke-21 ialah integrasi persekolahan dengan masyarakat. Masyarakat perlu mengambil kembali peran dalam mengkritisi dan berkontribusi pada persekolahan formal serta ikut pula menyediakan berbagai model pendidikan bagi anak-anak bangsa. Mungkin karena sistem persekolahan formal kita selama ini bersifat sentralistis, kaku, dan resisten terhadap inovasi dari masyarakat, saat ini telah bermunculan berbagai gerakan dan inovasi pendidikan alternatif dari akar rumput sebagai bentuk perlawanan atau kekecewaan.

Menggeliatnya komunitas sekolah rumah, munculnya jejaring belajar dengan model pendidikan alternatif, sampai berkembangnya fasilitas pembelajaran daring (online) adalah contohnya. Inisiatif semacam itu mungkin masih dianggap sebagai `shadow education' yang muncul akibat ketidakpercayaan pada sistem persekolahan. Namun seiring dengan pertumbuhan dan perkembangannya yang pesat, model-model pendidikan alternatif itu sangat berpotensi menjadi pilihan yang setara di mata orangtua bagi pendidikan anaknya.

Keluarga sebagai Pendidik Utama

Ketika sekolah mendominasi proses pendidikan, bu kan hanya masyarakat yang perannya terambil. Yang lebih menyedihkan justru terambilalihnya peran keluarga. Ki Hadjar Dewantara menyatakan keluarga ialah tempat pendidikan yang sifat dan wujudnya lebih sempurna daripada tempat pendidikan lainnya, utamanya dalam hal pendidikan budi pekerti. Menurutnya pula, alam keluarga pun ialah sebaik-baiknya tempat melakukan pendidikan sosial.

Ki Hadjar Dewantara memperingatkan, apabila rumah pengajaran masih bersifat `sekolahan', yang hanya mendidik kecerdasan dan mencari pengetahuan, tak perlu heran apabila tujuan pendidikan sosial terdesak dan terhambat. Sangat memprihatinkan apabila keluarga membiarkan sekolah mengambil alih pendidikan moral-karakter dan pendidikan sosial kemasyarakatan karena alam keluarga merupakan alam pendidikan yang pertama dan paling utama.

Dalam sebuah diskusi terkait dengan kurikulum 2013, Prof Daniel Rosyid membuat perumpamaan bahwa kurikulum 2013 ialah resep makan siang cepat saji dari Jakarta untuk seluruh anak Indonesia. Sungguh celaka apabila makan siang seperti itu dibiarkan menjadi satu-satunya makanan yang didapat anak sepanjang hari. Sungguh celaka pula apabila keluarga tak melibatkan diri dan hanya melimpahkan sepenuh-penuhnya urusan pendidikan anak kepada sistem persekolahan yang dikelola pemerintah, lebih-lebih dengan tata kelola seperti yang kita saksikan saat ini. Sudah saatnya keluarga dan masyarakat melepaskan diri dari berbagai jebakan focusing illusion, serta menyadari peran mereka sebagai pemain inti dalam pendidikan Indonesia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar