Jumat, 12 April 2013

Pemolisian Very Important Person


Pemolisian Very Important Person
Adrianus Meliala  ;  Kriminolog dan Guru Besar FISIP UI,  
Komisioner pada Komisi Kepolisian Nasional
MEDIA INDONESIA, 12 April 2013
  

Melihat video tentang polisi di Bali yang meminta uang dari turis Belanda, sebagaimana ditayangkan di Youtube, maka ada hal yang bisa dipelajari. Pertama, polisi tersebut tidak canggung menghentikan orang asing. Kedua, yang bersangkutan memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang lumayan. Dua hal itu tidak dimiliki atau jarang dilakukan para sejawatnya di tempat-tempat lain.

Di pihak lain, dua hal tersebut justru merupakan hal wajib jika kepolisian ingin menerapkan pemolisian VIP atau VIP policing. Jas dan kacamata hitam ialah atribut sehari-hari yang dipakai saat bertugas. Berbicara bisik-bisik dan mendengar aba-aba dari headset kecil di telinga, sambil tangan tak lepas dari pinggang, merupakan gaya yang juga lazim saat bertugas.

Memang, kegiatan pengawalan dalam rangka pergerakan orang-orang yang dikategorikan penting (disebut dengan very important persons atau bahkan very very important persons) ialah salah satu tugas utama satuan tersebut. Jenis kegiatan utama lainnya ialah, sebagai contoh, pengamanan jarak dekat (close protection), pengintaian tertutup dan terbuka (covert and overt surveillance), demikian pula kegiatan sterilisasi ruangan dari kemungkinan terpasangnya bom atau gangguan-gangguan lain.

Pemolisian untuk Elite

Dari namanya saja sudah terlihat, yang menjadi fokus dari kegiatan pemolisian itu ialah agar mereka yang dikategorikan sebagai VIP (apalagi yang VVIP) dapat menjalankan tugas dengan baik selaku eksekutif, tanpa gangguan berarti. Pemolisian VIP juga sering disebut pemolisian elite. Pertama-tama karena subjeknya memang para elite masyarakat, khususnya elite politik yang memiliki jabatan tinggi secara kenegaraan.

Mengapa kegiatan itu disebut pemolisian? Secara teoretis, outcome atau hasil kerjanya memang tidak melulu penegakan hukum, tetapi kondisi aman dan tertib (public order) yang dicapai melalui kombinasi di antara satuan-satuan fungsional dan kewilayahan. Itu pula yang menyebabkan pemolisian jenis itu juga bisa dilakukan satuan kepolisian. Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres)--kini Paspampres-misalnya, pada dasarnya melakukan kegiatan itu pula terkait dengan kemaslahatan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya.

Dalam konteks Polri, pemolisian VIP lebih sering dikaitkan dengan konteks operasional terkait dengan kegiatan khusus. Diperlukan format sumber daya yang khusus pula (dari segi fungsi yang dikedepankan, tujuan yang ingin dicapai, personel yang terlibat, saranaprasarana yang digunakan, dan sebagainya). Masalahnya, apabila untuk suatu kegiatan rutin telah terdapat dukungan anggaran yang--walaupun belum sepenuhnya mencukupi-telah terencanakan sebelumnya, tidak demikian halnya dengan pemolisian VIP. Itu sudah sering kali berlangsung tak terencana (mengingat segalanya tergantung keputusan dari VIP itu sendiri untuk jadi berangkat/datang atau tidak b terkait dengan kegiatan tert tentu). Kegiatan pemolisian VIP itu sendiri juga kerap diwarnai persoalan tidak tersedianya anggaran memadai terkait dengan kebutuhan yang kerap tak terduga datangnya.

Penulis juga melihat kecenderungan kepolisian untuk menjadikan pemolisian VIP dilaksanakan satuan atau unit khusus tertentu. Kecenderungannya sudah terasa. Sebagai contoh, ada satuan pengawal protokol terkait dengan transportasi VIP dan ada pula Satuan Pengaman Objek Vital (Pam Obvit). Jika itu terus terjadi, akan menambah fragmentasi dalam kepolisian hingga menimbulkan unit-unit spesialis yang hanya mengurusi kegiatan tertentu saja.

Polda Bali

Untuk konteks Indonesia, maka tampaknya Kepolisian Daerah Bali merupakan satuan wilayah yang paling terbiasa melakukan pemolisian VIP dalam skala besar dan dalam waktu panjang. Terlepas dari adanya satu-dua oknum yang menyimpang, sebagaimana ditayangkan di Youtube, Bali sebenarnya merupakan gambaran terbaik kepolisian Indonesia.

Setelah Bali, Polda Metro Jaya yang juga paling sering kerepotan menghadapi VIP/VVIP. Di Denpasar kerap digelar event berskala internasional yang menuntut Polri melakukan kegiatan kepolisian yang bersifat khusus. Mengapa memerlukan kegiatan kepolisian yang khusus? Delegasi atau partisipan yang datang umumnya dari mancanegara dan berjumlah puluhan hingga ribuan orang. Dari segi status, delegasi yang datang mulai pengusaha hingga presiden/kepala negara. Dengan demikian, tentu bisa dibayangkan tingkat pengamanan yang dibutuhkan.

Dalam rangka menjalankan VIP policing di Bali, sudah bisa diduga, terasa ada kekurangan yang bersifat khas, mulai alarm door hingga helikopter. Keterbatasan jumlah anggaran yang bisa dipergunakan untuk menjalankan kegiatan khas VIP policing juga dikeluhkan. Kelihatannya, dengan kerja sama yang baik antara polisi, pihak swasta, dan pemerintah daerah, keterbatasan terkait dengan sarana-prasarana dan anggaran mulai dapat dipenuhi sehingga gelar kekuatan dapat berjalan dengan baik.

Saking sibuknya melakukan pemolisian VIP, bagaimana dengan pelaksanaan tugas-tugas rutin? Di sini timbul permasalahan baru. Terserapnya personel dalam jumlah besar untuk kegiatan pengamanan VIP/VVIP menyebabkan kepolisian setempat kelihatannya kelabakan melakukan kegiatan pemeliharaan keamanan dan ketertiban (harkamtibmas) yang secara rutin perlu dilakukan.

Beberapa indikasi sudah kelihatan. Kepolisian tampak tertinggal saat menangani fenomena konflik antarkelompok pemuda yang mulai marak di Bali. Walaupun demikian, terdapat juga suatu situasi blessing in disguise (di balik hal yang negatif terdapat negatif terdapat hal yang positif) yang hanya terdapat di Pulau Bali.

Sebenarnya, kemampuan kepolisian setempat melakukan pemolisian VIP dan `menelantarkan' pemolisian yang rutin dan bersifat komunitas juga terkait dengan kondisi masyarakat Bali sendiri. Situasi masyarakat Bali yang kohesif dan kehadiran para pecalang (sebagai penjaga adat masyarakat Bali) amat membantu kepolisian dalam rangka menjalankan kegiatan harkamtibmas. Bahkan, secara kasar dapat dikatakan, tanpa kehadiran polisi pun, situasi kamtibmas di Bali sebenarnya berlangsung baik.

Segelintir/Banyak Orang?

Secara substansial, pemolisian VIP sebenarnya mengandung implikasi amat serius saat dijalankan di negara demokratis seperti Indonesia. Seperti disadari, namanya saja sudah pemolisian VIP, maka kegiatan pemolisian yang dilakukan tentu amat berbeda dengan pemolisian masyarakat (polmas), misalnya. Jika pada polmas konteks banyaknya orang yang terlibat menjadi penting (bahkan semakin banyak semakin bagus), tidak demikian halnya dengan pemolisian VIP.

Pada pemolisian VIP, kalangan yang hendak diamankan sebenarnya segelintir orang saja, sedangkan yang mungkin diminta berkorban ialah publik pada umumnya. Publik bisa dianggap sebagai sumber problema (baik dalam bentuk ancaman, ketidaktertiban, atau bahkan sekadar kesibukan dari publik itu sendiri). Hirukpikuk demonstrasi ataupun aksi protes dari sekalang an orang yang bisa dianggap sebagai tolok ukur demokrasi di suatu masyarakat, cenderung dilihat para pelaksana pemolisian VIP sebagai sesuatu yang mengganggu, atau bahkan membahayakan orang yang harus diamankan.

Saat ada mobil atau motor polisi yang membelah kemacetan melalui sirene demi memberikan jalan kepada, katakanlah seorang menteri, pada dasarnya hal itu bisa disikapi sebagai pengusiran terhadap sesama pengguna jalan. Kepentingan pengguna jalan yang sama-sama membayar pajak dan sama kedudukannya di depan hukum harus dikalahkan.

Pertanyaan filosofis mengenai privasi dan kemerdekaan diri juga bisa dimunculkan ketika orang harus mau digeledah menunjukkan identitas atau dilarang memasuki ruangan, terkait dengan kedatangan seorang VIP/VVIP. Untunglah, masyarakat Indonesia tidak termasuk masyarakat yang ‘rewel’ terkait dengan hal itu.

Situasi paradoks itulah yang membuat kepolisian harus bertindak bijaksana saat melakukan pemolisian VIP. Walau kegiatan mendahulukan VIP merupakan sesuatu yang dilindungi UU, dalam pelaksanaan bisa berbeda. Jika pemolisian VIP dijalankan terlalu sering, melibatkan kekuatan yang besar, terlalu kaku dengan juklak dan juknis serta tidak sensitif pada situasi yang ada, bisa muncul kesan over-acting, heboh, lebay, atau bahkan sikap sok kuasa dari polisi.

Masyarakat bisa merasa tidak simpatik baik kepada elite yang sedang diamankan (atau didahulukan) maupun kepada kepolisian sendiri. Masyarakat yang jenuh, kesal, dan marah terkait dengan tampilan perilaku polisi saat mengawal VIP, misalnya, sering sulit melihat kenyataan bahwa memang ada kepentingan yang harus didahulukan dan ada orang yang harus mengalah. Sebaliknya, yang muncul ialah kemauan untuk ‘mengerjai’ para VIP tersebut. Salah satu bentuk resistensi masyarakat yaitu tidak mau memberi jalan saat konvoi pejabat lewat.

Jika kembali pada konteks masyarakat Bali, masyarakat setempat juga bisa protes mengingat kepolisian lebih asyik mengurusi pengamanan para VIP, tapi ‘lupa’ dengan kemaslahatan masyarakat. Alihalih kepolisian, bahkan sesama elemen masyarakat sendirilah (maksudnya, para pecalang) yang harus menjadi polisi atas yang lain.

Hal lain yang juga mesti diwaspadai yaitu kecenderungan kalangan yang tidak berhak untuk ikut menikmati fasilitas elite tersebut. Dewasa ini, perlu ada kejelasan siapa saja yang termasuk orang yang disebut VIP/VVIP sehingga berhak atas fasilitas pemolisian yang khusus tersebut. Diduga, dewasa ini baik keluarga pejabat ataupun teman pejabat juga ingin diistimewakan terkait dengan pengamanan. Para pengusaha atau mantan orang-orang penting juga ingin memperoleh jasa pengawalan di jalan. Singkatnya, pemolisian VIP menjadi murahan, massal, dan, ujung-ujungnya, mengesalkan banyak orang. Kepolisian harus membuat kendali yang ketat mengingat implikasinya pada kehidupan demokrasi di masyarakat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar