Melihat video tentang polisi
di Bali yang meminta uang dari turis Belanda, sebagaimana ditayangkan di Youtube,
maka ada hal yang bisa dipelajari. Pertama, polisi tersebut tidak
canggung menghentikan orang asing. Kedua, yang bersangkutan memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang
lumayan. Dua hal itu tidak dimiliki atau jarang dilakukan para sejawatnya
di tempat-tempat lain.
Di pihak lain, dua hal tersebut justru
merupakan hal wajib jika kepolisian ingin menerapkan pemolisian VIP atau
VIP policing. Jas dan kacamata hitam ialah atribut sehari-hari yang
dipakai saat bertugas. Berbicara bisik-bisik dan mendengar aba-aba dari headset kecil di telinga, sambil
tangan tak lepas dari pinggang, merupakan gaya yang juga lazim saat
bertugas.
Memang, kegiatan pengawalan dalam rangka
pergerakan orang-orang yang dikategorikan penting (disebut dengan very important persons atau bahkan
very very important persons)
ialah salah satu tugas utama satuan tersebut. Jenis kegiatan utama
lainnya ialah, sebagai contoh, pengamanan jarak dekat (close protection), pengintaian
tertutup dan terbuka (covert and
overt surveillance), demikian pula kegiatan sterilisasi ruangan dari
kemungkinan terpasangnya bom atau gangguan-gangguan lain.
Pemolisian
untuk Elite
Dari namanya saja sudah terlihat, yang
menjadi fokus dari kegiatan pemolisian itu ialah agar mereka yang
dikategorikan sebagai VIP (apalagi yang VVIP) dapat menjalankan tugas
dengan baik selaku eksekutif, tanpa gangguan berarti. Pemolisian VIP juga
sering disebut pemolisian elite. Pertama-tama karena subjeknya memang
para elite masyarakat, khususnya elite politik yang memiliki jabatan tinggi
secara kenegaraan.
Mengapa kegiatan itu disebut pemolisian?
Secara teoretis, outcome atau
hasil kerjanya memang tidak melulu penegakan hukum, tetapi kondisi aman
dan tertib (public order) yang
dicapai melalui kombinasi di antara satuan-satuan fungsional dan
kewilayahan. Itu pula yang menyebabkan pemolisian jenis itu juga bisa
dilakukan satuan kepolisian. Pasukan Pengawal Presiden (Paswalpres)--kini
Paspampres-misalnya, pada dasarnya melakukan kegiatan itu pula terkait
dengan kemaslahatan presiden dan wakil presiden beserta keluarganya.
Dalam konteks Polri, pemolisian VIP lebih
sering dikaitkan dengan konteks operasional terkait dengan kegiatan
khusus. Diperlukan format sumber daya yang khusus pula (dari segi fungsi
yang dikedepankan, tujuan yang ingin dicapai, personel yang terlibat,
saranaprasarana yang digunakan, dan sebagainya). Masalahnya, apabila
untuk suatu kegiatan rutin telah terdapat dukungan anggaran
yang--walaupun belum sepenuhnya mencukupi-telah terencanakan sebelumnya,
tidak demikian halnya dengan pemolisian VIP. Itu sudah sering kali
berlangsung tak terencana (mengingat segalanya tergantung keputusan dari
VIP itu sendiri untuk jadi berangkat/datang atau tidak b terkait dengan
kegiatan tert tentu). Kegiatan pemolisian VIP itu sendiri juga kerap
diwarnai persoalan tidak tersedianya anggaran memadai terkait dengan
kebutuhan yang kerap tak terduga datangnya.
Penulis juga melihat kecenderungan
kepolisian untuk menjadikan pemolisian VIP dilaksanakan satuan atau unit
khusus tertentu. Kecenderungannya sudah terasa. Sebagai contoh, ada
satuan pengawal protokol terkait dengan transportasi VIP dan ada pula
Satuan Pengaman Objek Vital (Pam Obvit). Jika itu terus terjadi, akan
menambah fragmentasi dalam kepolisian hingga menimbulkan unit-unit spesialis
yang hanya mengurusi kegiatan tertentu saja.
Polda
Bali
Untuk konteks Indonesia, maka tampaknya Kepolisian
Daerah Bali merupakan satuan wilayah yang paling terbiasa melakukan
pemolisian VIP dalam skala besar dan dalam waktu panjang. Terlepas dari
adanya satu-dua oknum yang menyimpang, sebagaimana ditayangkan di
Youtube, Bali sebenarnya merupakan gambaran terbaik kepolisian Indonesia.
Setelah Bali, Polda Metro Jaya yang juga
paling sering kerepotan menghadapi VIP/VVIP. Di Denpasar kerap digelar event berskala internasional yang
menuntut Polri melakukan kegiatan kepolisian yang bersifat khusus.
Mengapa memerlukan kegiatan kepolisian yang khusus? Delegasi atau
partisipan yang datang umumnya dari mancanegara dan berjumlah puluhan
hingga ribuan orang. Dari segi status, delegasi yang datang mulai
pengusaha hingga presiden/kepala negara. Dengan demikian, tentu bisa
dibayangkan tingkat pengamanan yang dibutuhkan.
Dalam rangka menjalankan VIP policing di Bali, sudah bisa
diduga, terasa ada kekurangan yang bersifat khas, mulai alarm door hingga
helikopter. Keterbatasan jumlah anggaran yang bisa dipergunakan untuk
menjalankan kegiatan khas VIP policing juga dikeluhkan. Kelihatannya,
dengan kerja sama yang baik antara polisi, pihak swasta, dan pemerintah
daerah, keterbatasan terkait dengan sarana-prasarana dan anggaran mulai
dapat dipenuhi sehingga gelar kekuatan dapat berjalan dengan baik.
Saking sibuknya melakukan pemolisian VIP,
bagaimana dengan pelaksanaan tugas-tugas rutin? Di sini timbul
permasalahan baru. Terserapnya personel dalam jumlah besar untuk kegiatan
pengamanan VIP/VVIP menyebabkan kepolisian setempat kelihatannya
kelabakan melakukan kegiatan pemeliharaan keamanan dan ketertiban
(harkamtibmas) yang secara rutin perlu dilakukan.
Beberapa indikasi sudah kelihatan.
Kepolisian tampak tertinggal saat menangani fenomena konflik antarkelompok
pemuda yang mulai marak di Bali. Walaupun demikian, terdapat juga suatu
situasi blessing in disguise
(di balik hal yang negatif terdapat negatif terdapat hal yang positif)
yang hanya terdapat di Pulau Bali.
Sebenarnya, kemampuan kepolisian setempat
melakukan pemolisian VIP dan `menelantarkan' pemolisian yang rutin dan
bersifat komunitas juga terkait dengan kondisi masyarakat Bali sendiri.
Situasi masyarakat Bali yang kohesif dan kehadiran para pecalang (sebagai
penjaga adat masyarakat Bali) amat membantu kepolisian dalam rangka
menjalankan kegiatan harkamtibmas. Bahkan, secara kasar dapat dikatakan,
tanpa kehadiran polisi pun, situasi kamtibmas di Bali
sebenarnya berlangsung baik.
Segelintir/Banyak
Orang?
Secara substansial, pemolisian VIP sebenarnya
mengandung implikasi amat serius saat dijalankan di negara demokratis
seperti Indonesia. Seperti disadari, namanya saja sudah pemolisian VIP,
maka kegiatan pemolisian yang dilakukan tentu amat berbeda dengan
pemolisian masyarakat (polmas), misalnya. Jika pada polmas konteks
banyaknya orang yang terlibat menjadi penting (bahkan semakin banyak
semakin bagus), tidak demikian halnya dengan pemolisian VIP.
Pada pemolisian VIP, kalangan yang hendak
diamankan sebenarnya segelintir orang saja, sedangkan yang mungkin
diminta berkorban ialah publik pada umumnya. Publik bisa dianggap sebagai
sumber problema (baik dalam bentuk ancaman, ketidaktertiban, atau bahkan
sekadar kesibukan dari publik itu sendiri). Hirukpikuk demonstrasi
ataupun aksi protes dari sekalang an orang yang bisa dianggap sebagai
tolok ukur demokrasi di suatu masyarakat, cenderung dilihat para
pelaksana pemolisian VIP sebagai sesuatu yang mengganggu, atau bahkan
membahayakan orang yang harus diamankan.
Saat ada mobil atau motor polisi yang
membelah kemacetan melalui sirene demi memberikan jalan kepada,
katakanlah seorang menteri, pada dasarnya hal itu bisa disikapi sebagai
pengusiran terhadap sesama pengguna jalan. Kepentingan pengguna jalan
yang sama-sama membayar pajak dan sama kedudukannya di depan hukum harus
dikalahkan.
Pertanyaan filosofis mengenai privasi dan
kemerdekaan diri juga bisa dimunculkan ketika orang harus mau digeledah
menunjukkan identitas atau dilarang memasuki ruangan, terkait dengan
kedatangan seorang VIP/VVIP. Untunglah, masyarakat Indonesia tidak
termasuk masyarakat yang ‘rewel’ terkait dengan hal itu.
Situasi paradoks itulah yang membuat
kepolisian harus bertindak bijaksana saat melakukan pemolisian VIP. Walau
kegiatan mendahulukan VIP merupakan sesuatu yang dilindungi UU, dalam
pelaksanaan bisa berbeda. Jika pemolisian VIP dijalankan terlalu sering,
melibatkan kekuatan yang besar, terlalu kaku dengan juklak dan juknis
serta tidak sensitif pada situasi yang ada, bisa muncul kesan over-acting, heboh, lebay, atau
bahkan sikap sok kuasa dari polisi.
Masyarakat bisa merasa tidak simpatik
baik kepada elite yang sedang diamankan (atau didahulukan) maupun kepada
kepolisian sendiri. Masyarakat yang jenuh, kesal, dan marah terkait
dengan tampilan perilaku polisi saat mengawal VIP, misalnya, sering sulit
melihat kenyataan bahwa memang ada kepentingan yang harus didahulukan dan
ada orang yang harus mengalah. Sebaliknya, yang muncul ialah kemauan
untuk ‘mengerjai’ para VIP tersebut. Salah satu bentuk resistensi
masyarakat yaitu tidak mau memberi jalan saat konvoi pejabat lewat.
Jika kembali pada konteks masyarakat
Bali, masyarakat setempat juga bisa protes mengingat kepolisian lebih
asyik mengurusi pengamanan para VIP, tapi ‘lupa’ dengan kemaslahatan
masyarakat. Alihalih kepolisian, bahkan sesama elemen masyarakat
sendirilah (maksudnya, para pecalang) yang harus menjadi polisi atas yang
lain.
Hal lain yang juga mesti diwaspadai yaitu
kecenderungan kalangan yang tidak berhak untuk ikut menikmati fasilitas
elite tersebut. Dewasa ini, perlu ada kejelasan siapa saja yang termasuk
orang yang disebut VIP/VVIP sehingga berhak atas fasilitas pemolisian
yang khusus tersebut. Diduga, dewasa ini baik keluarga pejabat ataupun
teman pejabat juga ingin diistimewakan terkait dengan pengamanan. Para
pengusaha atau mantan orang-orang penting juga ingin memperoleh jasa
pengawalan di jalan. Singkatnya, pemolisian VIP menjadi murahan, massal,
dan, ujung-ujungnya, mengesalkan banyak orang. Kepolisian harus membuat
kendali yang ketat mengingat implikasinya pada kehidupan demokrasi di
masyarakat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar