Kamis, 11 April 2013

Tata Niaga, Inflasi Tinggi, dan Pemburu Rente


Tata Niaga, Inflasi Tinggi, dan Pemburu Rente
Titik Anas  ;  Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta
MEDIA INDONESIA, 10 April 2013


TATA niaga menjadi alat proteksi yang sering digunakan pemerintah saat ini. Mulai tata niaga ekspor produk tambang sampai impor daging sapi, bawang putih, dan bawang merah. Bila diselisik, semua tata niaga tersebut melibatkan surat persetujuan dan surat rekomendasi yang dapat diurus secara langsung (bukan online system) oleh eksportir atau importir.

Dalam beberapa kasus, surat rekomendasi tidak hanya pada satu level birokrasi, melainkan beberapa level, seperti pada kasus impor daging sapi. Untuk dapat mengimpor daging sapi, importir harus mendapatkan surat persetujuan dari Kementerian Perdagangan dan rekomendasi persetujuan pemasukan (RPP) dari Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan atas rekomendasi dari Dinas Pertanian Provinsi. Selain itu, atas impor daging sapi diberlakukan kuota impor yang jumlahnya ditetapkan dalam rapat koordinasi yang dipimpin oleh Menteri Koordiantor Bidang Perekonomian.

Pembagian jatah kuota, ditetapkan Kementerian Pertanian (Kompas,5/2/2013). Ada dugaan terjadinya penyimpangan dalam alokasi kuota impor pascapenangkapan KPK terhadap beberapa orang, termasuk petinggi salah satu partai politik di Indonesia yang diduga terkait dengan kasus suap kuota impor daging sapi. Kasus lainnya, tata niaga impor hortikultura tidak jauh berbeda dengan daging sapi. Untuk dapat melakukan impor, harus mendapatkan surat persetujuan, dan rekomendasi impor produk hortikultura. Tata niaga yang dikelola dengan cara yang tidak transparan dan kurang perhitungan telah mengakibatkan harga-harga barang tersebut meroket.

Kuota dan tata niaga impor memang sering digunakan untuk melindungi produsen domestik, dalam kasus impor daging sapi dan bawang ada lah peternak sapi dan petani bawang. Namun, di sisi lain, pembeli, baik rumah tangga maupun katering, rumah makan dan restoran, terabaikan. Tata niaga tersebut telah mengakibatkan langkanya barang dan kenaikan harga.

Pada Maret 2013, inflasi yang selama ini terjaga baik, jadi melonjak tajam pada tingkatan 0,65%, dengan kenaikan harga bawang merah berkontribusi sebesar 0,44% dan bawang putih berkontribusi sebesar 0,2%. Secara keseluruhan, inflasi tahunan pada Maret lalu adalah 5,9%, yang berarti sudah di atas batas dari target infl asi Bank Indonesia dan pemerintah.

Apa makna kenaikan hargaharga ini bagi pembeli? Sudah pasti kenaikan harga-harga ini paling menyesakkan bagi rumah tangga berpenghasilan rendah. Pembeli rumah tangga sudah pasti menyiasati pemakaian bahan-bahan tersebut dalam kebutuhan sehariharinya. Daging sapi, bawang merah, dan bawang putih menjadi barang. Katering, rumah makan, dan restoran juga harus menyiasati daftar harga dan komposisi bahan dalam menunya. Tidak sampai di sini, inflasi yang tinggi akan memengaruhi sektor-sektor lain dalam perekonomian, sebut saja nilai tukar rupiah yang melemah dan tingkat bunga riil yang akan menipis sehingga investor akan menarik modalnya dan mengalihkan ke negara lain yang memberikan pengembalian yang lebih tinggi.

Selain peningkatan harga-harga, tata niaga akan menarik pemburu rente. Kerja sama dengan pihak pembuat kebijakan untuk mendapatkan hak impor atau pemalsuan dokumen akan sangat mungkin terjadi. Audit awal BPK melaporkan adanya pemalsuan surat persetujuan impor daging sapi. KPK telah terlebih dahulu menetapkan tersangka atas beberapa orang yang terlibat suap impor daging sapi ini. Tata niaga, berupa perizinan atau persetujuan yang tidak otomatis, tidak dapat dipakai untuk menunjang perekonomian yang efisien. Bayangkan saja bila perbedaan harga hingga Rp40 ribu per kilogram, berapa besar rente yang didapat pemburu rente yang mendapatkan jatah impor?

Kisruh impor tiga produk pertanian itu hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah bahwa kebijakan yang tidak transparan, birokratis, terlebih lagi tidak didukung data yang akurat berakibat fatal bagi perekonomian secara keseluruhan. Iktikad baik pemerintah untuk merevisi kebijakan importasi patut dihargai, namun perlu terus dikawal supaya pemerintah membuat kebijakan yang transparan dan terukur.

Salah satu alternatif yang dapat dilakukan untuk membuat kebijakan importasi ini lebih transparan adalah dengan mengganti kebijakan kuota dan lisensi impor dengan kebijakan tarif yang berdampak sama terhadap pembatasan impor yang ingin dilakukan pemerintah. Sehingga harga pangan bisa lebih transparan dan pasar menjadi lebih kompetitif. Bilamana pada suatu masa suplai domestik terganggu karena faktor cuaca dan lainnya, tarif impor dapat diturunkan secara otomatis dengan berpatokan pada warning harga untuk menentukan kapan tarif impor diturunkan. Namun, pengetahuan yang up-to-date atas kondisi pasar akan sangat penting peranannya untuk menghindari lonjakan harga-harga. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar