Kamis, 11 April 2013

Politik Kutu Loncat dan Matinya Ideologi Politik


Politik Kutu Loncat dan Matinya Ideologi Politik
Muhammadun  ;  Analis Studi Politik pada Program Pascasarjana UIN Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 10 April 2013


Kutu loncat dalam politik modern di Indonesia menjadi fenomena yang dianggap wajar saja. Fenomena itu bukan lagi cacat dan aib, melainkan fantasi yang dijadikan hobi. Rakyat jangan sampai kaget kalau politisi yang dikenalnya bisa memakai banyak satu jas partai politik. Jas partai yang dipakai bisa berubah setiap saat, sesuai kepentingan dan keuntungan yang didapatkan. Tahun politik 2013 menyajikan drama kutu loncat seperti film sinetron yang setiap episode berubah. Ideologi politik sudah selesai sejarahnya (end of ideology) karena ideologi membuat kaki politik hanya meraih keuntungan yang terbatas.

Praktik kutu loncat menjadi indikasi bahwa partai politik sekadar institusi administratif politik. Partai politik bukan lagi organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela, atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita, untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, juga memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Itu hanya menurut UU No 2 Tahun 2008, dan itu sudah tidak laku lagi. Partai politik hanya alat untuk meraih dan mempertahankan kekuasaan.

Tujuan partai politik juga tidak lagi untuk menjalankan program yang sesuai aspirasi dan kehendak rakyat, tetapi menjalankan program yang melanggengkan kepentingan dan kekuasaan kaum elite. Fungsi partai bukan lagi sarana komunikasi politik, sarana sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur konflik. Fungsi partai sekarang semata-mata sarana untuk meraih jabatan, takhta, kekayaan, citra, dan kuasa. Partai hanya menjalankan perintah kaum elite. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja. Rakyat ibarat mendorong mobil yang mogok. Setelah melaju, ditinggalkan begitu saja.

Politik kutu loncat mengakhiri sejarah ideologi politik. Matinya ideologi politik ini melahirkan kutu loncat yang semakin beringas. Politisi kutu loncat, meminjam istilah Indra Tranggono, ibarat tukang jual obat. Kerjanya hanya retoris, tidak substansial. Mutu dan kemanfaatan diri tidak terlalu penting. Yang diutamakan ialah provokasi publik agar percaya atas politik kutu loncatnya. Karena retoris, jualannya dibungkus dengan istilah integritas, komitmen, dan kapabilitas. Tragisnya, istilah itu justru bertabrakan dengan personifikasi dirinya yang absurd dan vested oriented.

Ada banyak ciri dalam politik kutu loncat. Pertama, telinga besar, pintar meng olah isu menjadi konflik. Politik kutu loncat lincah dalam memanfaatkan isu untuk membangun konflik, dengan ia menjadi pahlawan yang menyelesaikan konflik, atau ia menjadi sosok suci yang menjauhi konflik. Targetnya sederhana, ia bisa membangun citra diri, menarik simpati dan kalau pindah partai, seolah mendapatkan momentum yang sesuai. Kedua, pintar obral senyum dan suara. Alasannya klise: demi rakyat. Sering kali rakyat hanya dijadikan proposal politik. Atas nama rakyat, politik kutu loncat dibenarkan untuk kepentingan sesaat.

Ketiga, scapegoatisme; ahli jurus kambing hitam. Politik kutu loncat tidak akan pernah melihat dirinya salah. Ia selalu mencari kambing hitam agar ia berada posisi yang selalu menguntungkan. Kambing hitam dalam politik kutu loncat dilakukan untuk bisa tampil sebagai pahlawan. Keempat, berpotensi tumbuh buntut; ikon menghalalkan segala cara. Karena sudah melempar kambing hitam politik, apa pun dilakukan untuk menyukseskan agenda politiknya. Barter kepentingan antarelite biasa dilakukan untuk mengamankan posisi masing-masing. Kelima, bersepatu lars; siap menendang. Karena menghalalkan segala cara, siapa pun akan ditendang. Tidak pernah peduli kawan atau saudara, kalau memungkinkan dijadikan korban, tak segan-segan segera dikorbankan dan ditendang. Cara menendangnya juga dengan banyak cara, bisa ditendang sendiri, bisa juga nabok nyileh tangan (meminjam tendangan orang lain). Keenam, berkuku tajam; siap mencakar dari belakang. Politik kutu loncat sepertinya tampak manis di depan, tetapi di belakang main politik pembunuhan saudara dan teman sendiri.

Pragmatisme Politik

Politik kutu loncat lahir karena dunia politik modern di Indonesia dipenuhi dengan pragmatisme yang sangat akut. Pragmatisme itu termanifestasi dalam setiap gerak politik selalu identik dengan uang sehingga jabatan publik yang diraih politisi didesain untuk mengembalikan uang modal. Politik kutu loncat akan lahir ketika dalam satu partai seseorang merasa sudah kehabisan atau kehilangan akses (uang) kekuasaan, atau partai tersebut sudah rendah elektabilitasnya sehingga ia mencari peruntungan semata: hanya mencari uang dan kekuasaan.

Matinya ideologi partai semakin mengukuhkan langkah pragmatis politik kutu loncat. Di samping matinya ideologi partai, menurut Ali Mustofa (2013) ada beberapa sebab lainnya. Pertama, mencari peluang karier politik yang lebih strategis. Dunia politik masih dimaknai sebagai pekerjaan utama sehingga masuk dunia politik tujuannya pasti menaikkan karier. Ketika partai politik lain dipandang lebih dapat menjamin harta maupun kedudukan, si kutu loncat akan mengincar.

Kedua, insiden politik. Sebab kedua itu juga cukup jamak terjadi. Politisi meloncat ke parpol lain karena terjadi insiden yang melibatkan dirinya dengan partai lama sehingga ia mengundurkan diri atau diberhentikan lalu pindah parpol lain. Penyebab kedua itu juga ada benang merahnya dengan penyebab pertama.

Ketiga, pragmatisme politik. Di samping karena faktor pribadi, sejatinya perihal politisi kutu loncat ini juga dampak dari sistem struktural parpol. Yakni, buah dari eks perimen pragmatisme politik yang di lakukan oleh parpol yang kemudian menjalar ke pragmatisme politisi. Para politikus tersebut memandang paradigma politik parpol sebelumnya dengan parpol barunya sama saja sehingga ia memandang tidak ada masalah ideologis dalam berpindah partai.

Pragmatisme politik itu juga tampak telanjang mata terjadi saat pemilu-pemilu daerah, ketika parpol yang berseberangan idealisme bahkan bisa duduk bersama mengusung calon kepala daerah mereka. Dari situ menunjukkan bahwa parpol berasas Islam belum tentu ideologinya Islam. Bagaimana mau disebut partai berideologi Islam jika kerja nyata politiknya melanggar syariat Islam. Demikian pula yang mengaku sebagai partai nasionalis, tetapi ideologinya tidak jelas.

Rakyat Sudah Cerdas

Ada pesimisme yang luar biasa dari rakyat melihat adegan politik kutu loncat.
Rakyat sekarang ini sudah cerdas. Buktinya mereka sudah bosan melihat partai yang hanya diisi oleh individu-individu yang lebih mempertimbangkan oligarki ketimbang rakyat. Menurut Arie Sudjito (2012), jati diri partai akan meluntur.

Semua partai di mata rakyat akan terlihat sama dan monoton. Politisi tidak lagi mempertimbangkan 
rakyat, yang paling penting bagi mereka kepentingan penguasa atau pemodal yang bisa membantu mewujudkan keinginan mereka.

Peta kekuatan politik akan mengarah pada kewajaran jika rakyat sebagai pemilih mau lebih selektif 
dan tidak apatis. Karena di tengah kondisi stabilitas politik dengan di namika yang tinggi, rakyat harus bisa menjalankan fungsi kontrol. Sebelum memilih calon anggota legislatif atau partai tertentu, rakyat harus melacak rekam jejak calon yang akan dipilihnya. Kemudian, upaya melakukan kontrak politik terhadap politisi dan parpol harus mulai dibiasakan.

Di samping itu, rakyat juga harus berani menagih utang politik dari politikus atas apa yang sudah dikerjakannya. Rakyat yang cerdas ini akan kembali menjernihkan nalar politik menuju politik adiluhung yang bermartabat dan teguh memegang ideologi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar