Kutu loncat dalam politik modern
di Indonesia menjadi fenomena yang dianggap wajar saja. Fenomena itu
bukan lagi cacat dan aib, melainkan fantasi yang dijadikan hobi. Rakyat
jangan sampai kaget kalau politisi yang dikenalnya bisa memakai banyak
satu jas partai politik. Jas partai yang dipakai bisa berubah setiap
saat, sesuai kepentingan dan keuntungan yang didapatkan. Tahun politik
2013 menyajikan drama kutu loncat seperti film sinetron yang setiap
episode berubah. Ideologi politik sudah selesai sejarahnya (end of ideology) karena ideologi
membuat kaki politik hanya meraih keuntungan yang terbatas.
Praktik kutu loncat menjadi indikasi
bahwa partai politik sekadar institusi administratif politik. Partai
politik bukan lagi organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela, atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita, untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa, dan negara, juga memelihara keutuhan
NKRI berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Itu hanya menurut UU No 2 Tahun
2008, dan itu sudah tidak laku lagi. Partai politik hanya alat untuk
meraih dan mempertahankan kekuasaan.
Tujuan partai politik juga tidak lagi
untuk menjalankan program yang sesuai aspirasi dan kehendak rakyat,
tetapi menjalankan program yang melanggengkan kepentingan dan kekuasaan
kaum elite. Fungsi partai bukan lagi sarana komunikasi politik, sarana
sosialisasi politik, sarana rekrutmen politik, dan sarana pengatur
konflik. Fungsi partai sekarang semata-mata sarana untuk meraih jabatan,
takhta, kekayaan, citra, dan kuasa. Partai hanya menjalankan perintah
kaum elite. Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu saja. Rakyat ibarat
mendorong mobil yang mogok. Setelah melaju, ditinggalkan begitu saja.
Politik kutu loncat mengakhiri sejarah
ideologi politik. Matinya ideologi politik ini melahirkan kutu loncat
yang semakin beringas. Politisi kutu loncat, meminjam istilah Indra
Tranggono, ibarat tukang jual obat. Kerjanya hanya retoris, tidak
substansial. Mutu dan kemanfaatan diri tidak terlalu penting. Yang
diutamakan ialah provokasi publik agar percaya atas politik kutu
loncatnya. Karena retoris, jualannya dibungkus dengan istilah integritas,
komitmen, dan kapabilitas. Tragisnya, istilah itu justru bertabrakan dengan personifikasi dirinya
yang absurd dan vested oriented.
Ada banyak ciri dalam politik kutu
loncat. Pertama, telinga besar, pintar meng olah isu menjadi konflik.
Politik kutu loncat lincah dalam memanfaatkan isu untuk membangun konflik,
dengan ia menjadi pahlawan yang menyelesaikan konflik, atau ia menjadi
sosok suci yang menjauhi konflik. Targetnya sederhana, ia bisa membangun
citra diri, menarik simpati dan kalau pindah partai, seolah mendapatkan
momentum yang sesuai. Kedua, pintar obral senyum dan suara. Alasannya
klise: demi rakyat. Sering kali rakyat hanya dijadikan proposal politik. Atas
nama rakyat, politik kutu loncat dibenarkan untuk kepentingan sesaat.
Ketiga, scapegoatisme; ahli jurus kambing
hitam. Politik kutu loncat tidak akan pernah melihat dirinya salah. Ia
selalu mencari kambing hitam agar ia berada posisi yang selalu
menguntungkan. Kambing hitam dalam politik kutu loncat dilakukan untuk bisa
tampil sebagai pahlawan. Keempat, berpotensi tumbuh buntut; ikon
menghalalkan segala cara. Karena sudah melempar kambing hitam politik,
apa pun dilakukan untuk menyukseskan agenda politiknya. Barter
kepentingan antarelite biasa dilakukan untuk mengamankan posisi
masing-masing. Kelima, bersepatu lars; siap menendang. Karena
menghalalkan segala cara, siapa pun akan ditendang. Tidak pernah peduli
kawan atau saudara, kalau memungkinkan dijadikan korban, tak segan-segan
segera dikorbankan dan ditendang. Cara menendangnya juga dengan banyak
cara, bisa ditendang sendiri, bisa juga nabok nyileh tangan (meminjam tendangan orang lain). Keenam,
berkuku tajam; siap mencakar dari belakang. Politik kutu loncat
sepertinya tampak manis di depan, tetapi di belakang main politik
pembunuhan saudara dan teman sendiri.
Pragmatisme
Politik
Politik kutu loncat lahir karena dunia
politik modern di Indonesia dipenuhi dengan pragmatisme yang sangat akut.
Pragmatisme itu termanifestasi dalam setiap gerak politik selalu identik
dengan uang sehingga jabatan publik yang diraih politisi didesain untuk
mengembalikan uang modal. Politik kutu loncat akan lahir ketika dalam
satu partai seseorang merasa sudah kehabisan atau kehilangan akses (uang)
kekuasaan, atau partai tersebut sudah rendah elektabilitasnya sehingga ia
mencari peruntungan semata: hanya mencari uang dan kekuasaan.
Matinya ideologi partai semakin
mengukuhkan langkah pragmatis politik kutu loncat. Di samping matinya
ideologi partai, menurut Ali Mustofa (2013) ada beberapa sebab lainnya.
Pertama, mencari peluang karier politik yang lebih strategis. Dunia
politik masih dimaknai sebagai pekerjaan utama sehingga masuk dunia
politik tujuannya pasti menaikkan karier. Ketika partai politik lain
dipandang lebih dapat menjamin harta maupun kedudukan, si kutu loncat
akan mengincar.
Kedua, insiden politik. Sebab kedua itu
juga cukup jamak terjadi. Politisi meloncat ke parpol lain karena terjadi
insiden yang melibatkan dirinya dengan partai lama sehingga ia
mengundurkan diri atau diberhentikan lalu pindah parpol lain. Penyebab
kedua itu juga ada benang merahnya dengan penyebab pertama.
Ketiga, pragmatisme politik. Di samping
karena faktor pribadi, sejatinya perihal politisi kutu loncat ini juga
dampak dari sistem struktural parpol. Yakni, buah dari eks perimen
pragmatisme politik yang di lakukan oleh parpol yang kemudian menjalar ke
pragmatisme politisi. Para politikus tersebut memandang paradigma politik
parpol sebelumnya dengan parpol barunya sama saja sehingga ia memandang
tidak ada masalah ideologis dalam berpindah partai.
Pragmatisme politik itu juga tampak
telanjang mata terjadi saat pemilu-pemilu daerah, ketika parpol yang berseberangan
idealisme bahkan bisa duduk bersama mengusung calon kepala daerah mereka.
Dari situ menunjukkan bahwa parpol berasas Islam belum tentu ideologinya
Islam. Bagaimana mau disebut partai berideologi Islam jika kerja nyata
politiknya melanggar syariat Islam. Demikian pula yang mengaku sebagai
partai nasionalis, tetapi ideologinya tidak jelas.
Rakyat
Sudah Cerdas
Ada pesimisme yang luar biasa dari rakyat
melihat adegan politik kutu loncat.
Rakyat sekarang ini sudah cerdas. Buktinya mereka sudah bosan melihat
partai yang hanya diisi oleh individu-individu yang lebih
mempertimbangkan oligarki ketimbang rakyat. Menurut Arie Sudjito (2012),
jati diri partai akan meluntur.
Semua partai di mata rakyat akan terlihat
sama dan monoton. Politisi tidak lagi mempertimbangkan
rakyat, yang paling
penting bagi mereka kepentingan penguasa atau pemodal yang bisa membantu mewujudkan
keinginan mereka.
Peta kekuatan politik akan mengarah pada
kewajaran jika rakyat sebagai pemilih mau lebih selektif
dan tidak
apatis. Karena di tengah kondisi stabilitas politik dengan di namika yang
tinggi, rakyat harus bisa menjalankan fungsi kontrol. Sebelum memilih
calon anggota legislatif atau partai tertentu, rakyat harus melacak rekam
jejak calon yang akan dipilihnya. Kemudian, upaya melakukan kontrak
politik terhadap politisi dan parpol harus mulai dibiasakan.
Di samping itu, rakyat juga harus berani
menagih utang politik dari politikus atas apa yang sudah dikerjakannya. Rakyat
yang cerdas ini akan kembali menjernihkan nalar politik menuju politik adiluhung yang bermartabat dan
teguh memegang ideologi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar