Kemunculan
pemimpin muda Korea Utara, Kim Jong-un, yang menggantikan presiden sebelumnya,
Kim Jong-il, membawa suasana berbeda bagi Korea Utara (Korut). Kali ini,
negara tersebut membuat banyak reaksi dunia semakin khawatir dengan aksi
militernya yang keras. Korut akhirnya resmi menyatakan perang. Negara
yang dipimpin Kim Jong-un itu telah menyatakan akan berperang melawan
negara tetangganya, Korea Selatan (Korsel).
Korut
membatalkan Pakta Nonagresi dengan Korsel yang disepakati pada 1991.
Langkah ini merupakan reaksi atas sanksi terbaru yang lebih keras dari
Dewan Keamanan PBB. Pakta Non agresi antara Korut dan Korsel yang
disepakati pada 1991 tersebut ditegaskan pengaturan damai perbedaan
pendapat kedua negara untuk membantu mencegah terjadinya bentrokan
militer di perbatasan kedua Korea.
Sementara,
hotline telepon yang merupakan penghubung tetap antara Pyongyang dan
Seoul disepakati pada 1971. Korut berulang kali mengancam pemutusan
hotline ini dan sudah dua kali mewujudkan ancaman itu.
Ancaman
perang yang disampaikan oleh Kim Jong-un seperti yang dilansir kantor
berita Korut, KCNA, menekankan bahwa komentarnya sebaiknya tidak dianggap
hanya sebagai retorika kosong.
"Dia
melanjutkan bahwa telah hilang saatnya hanya berkata-kata dan menekankan
pentingnya menghancurkan musuh tanpa ampun sehingga tak ada manusia yang
selamat guna menandatangani dokumen penyerahan diri ketika pertempuran
dimulai," tulis KCNA.
Memanasnya
Korut dimulai ketika negara tersebut meluncurkan roket Unha-3 pada awal
Maret. Rencana peluncuran tersebut sebelumnya mendapat banyak kecaman
internasional, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pemerintah Korut berdalih, peluncuran ini dalam rangka memperingati ulang
tahun pendiri Korut, Kim II-sung, yang akan jatuh pada 15 April dan ini
adalah ulang tahun yang ke-100.
Reaksi Dunia
Aksi
dunia beragam, terutama AS, yang selama ini menjadi negara yang paling
dimusuhi oleh Korut. Apa reaksi dunia dalam menghadapi Korut yang
bersikap seolah tidak mau lagi diajak berdialog tersebut?
Dalam
hukum internasional diatur dua jenis mekanisme yang selama ini banyak digunakan
oleh masyarakat internasional, yaitu melalui cara diplomasi dan jalan
hukum. Dalam diplomasi, misalnya, bisa melalui cara negosiasi,
konsiliasi, dan seterusnya. Sedangkan, jalan hukum bisa ditempuh melalui
arbitrase dan pengadilan internasional.
Ada
beberapa pendekatan yang mungkin akan dilakukan, baik oleh PBB maupun
yang lainnya, seperti AS, Cina, dan Korsel, yaitu soft power, hard power, dan smart power. Ketiga konsep tersebut dikenalkan oleh Joseph
Ney (1990) dari Harvard University.
Pertama,
soft power, yaitu kemampuan
menarik dan mengooptasi atau tidak menggunakan kekerasan atau tindakan coercive dalam menghadapi negara
lain. Soft power menjadi
alat utama dip lomasi masa kini yang disebut soft diplomacy dengan pendekatan ekonomi, politik, maupun
budaya. Kecenderungan pelaksanaan soft diplomacy menggunakan
aplikasi soft power dianggap
efektif dan efisien sehingga mudah untuk dilakukan tanpa harus menelan
korban dan menghabiskan biaya besar. Pendekatan soft power biasanya memakan waktu yang lama.
Kedua,
hard power, yaitu suatu kekuatan
dari negara yang bersifat paksaan dan bahkan terkadang melalui kekerasan. Contohnya,
perang dan embargo ekonomi. Negara-negara besar sering memakai cara
ini dalam menghadapi negara lain, seperti AS, dalam perang Vietnam.
Sedangkan,
yang ketiga, smart power adalah
kombinasi antara hard power dan
soft power. Maksudnya,
selain melalui paksaan atau perang, negara yang bersangkutan juga
menempuh jalur diplomasi untuk menyelesaikan permasalahannya dengan
memanfaatkan national power-nya. Contohnya,
Amerika yang menyerang Timur Tengah, namun dalam perjalanannya tetap
menempuh jalur diplomasi.
Tindakan
Korut yang menggunakan kekuatan militernya mungkin tidak akan didukung
oleh Cina yang selama ini menjadi sekutu dekatnya. Dalam Kongres Nasional
Rakyat Cina pada awal Maret lalu, beberapa anggota delegasi berdebat
tentang politik negara itu menghadapi Korut. Wakil Direktur Kantor Pusat
Urusan Luar Negeri Qiu Yuanping menyatakan, yang jadi perdebatan adalah
apakah Cina perlu terus mendukung Korut atau sudah saatnya menarik dukungan.
Cina
yang menjadikan Korut sebagai daerah penyangga dalam menghadapi AS bila
ada konfrontasi melalui darat, menjadi dilematis untuk mengambil tindakan
kepada Korut. Yang paling terancam adalah Korsel walaupun negara tersebut
didukung oleh AS dengan kekuatan militer dan pengaruhnya yang besar di
dunia.
AS
kemungkinan akan menggunakan pendekatan secara smart power seperti apa yang pernah mereka lakukan dalam
kasus di Irak 10 tahun lalu. Ini terlihat salah satunya dengan adanya
latihan gabungan antara AS dan Korsel yang semakin meningkat akhir-akhir
ini.
Bagaimana
dengan Indonesia? Pemerintah Indonesia harus aktif mengampanyekan
diplomasi damai dalam menghadapi Korut. Ini bisa dilakukan salah satunya
dengan mengirim delegasi khusus ke negara tersebut untuk membujuk agar
tidak pecah konflik. Mungkin Pemerintah Indonesia bisa mengirimkan mantan
pre siden Megawati yang pernah dekat dengan mendiang presiden Korea Utara
sebelumnya, yakni Kim Jong-ill selaku ayah dari presiden Kim Jong-un.
Keterlibatan
dalam perdamaian dunia sangat penting bagi Indonesia sekaligus meneguhkan
perannya di mata internasional. Selama ini, Indonesia dikenal dengan
kenetralannya dalam menghadapi beberapa konflik dunia.
Naiknya
eskalasi di semenanjung Korea mendesak untuk segera ditangani dengan
pendekatan yang terbaik dan menghindari kerugian dari semua pihak,
terutama korban sipil. Perdamaian dan stabilitas dunia adalah tujuan
utama bagi terciptanya dunia yang harmonis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar