Rabu, 10 April 2013

Menghadapi Korut


Menghadapi Korut
Ahmad Syaifuddin Zuhri  ;  Mahasiswa Pascasarjana China Scholarship Council (CSC) Jurusan Hubungan Internasional, Universitas Nanchang, Cina 
REPUBLIKA, 10 April 2013


Kemunculan pemimpin muda Korea Utara, Kim Jong-un, yang menggantikan presiden sebelumnya, Kim Jong-il, membawa suasana berbeda bagi Korea Utara (Korut). Kali ini, negara tersebut membuat banyak reaksi dunia semakin khawatir dengan aksi militernya yang keras. Korut akhirnya resmi menyatakan perang. Negara yang dipimpin Kim Jong-un itu telah menyatakan akan berperang melawan negara tetangganya, Korea Selatan (Korsel).

Korut membatalkan Pakta Nonagresi dengan Korsel yang disepakati pada 1991. Langkah ini merupakan reaksi atas sanksi terbaru yang lebih keras dari Dewan Keamanan PBB. Pakta Non agresi antara Korut dan Korsel yang disepakati pada 1991 tersebut ditegaskan pengaturan damai perbedaan pendapat kedua negara untuk membantu mencegah terjadinya bentrokan militer di perbatasan kedua Korea.

Sementara, hotline telepon yang merupakan penghubung tetap antara Pyongyang dan Seoul disepakati pada 1971. Korut berulang kali mengancam pemutusan hotline ini dan sudah dua kali mewujudkan ancaman itu.

Ancaman perang yang disampaikan oleh Kim Jong-un seperti yang dilansir kantor berita Korut, KCNA, menekankan bahwa komentarnya sebaiknya tidak dianggap hanya sebagai retorika kosong. 
"Dia melanjutkan bahwa telah hilang saatnya hanya berkata-kata dan menekankan pentingnya menghancurkan musuh tanpa ampun sehingga tak ada manusia yang selamat guna menandatangani dokumen penyerahan diri ketika pertempuran dimulai," tulis KCNA.

Memanasnya Korut dimulai ketika negara tersebut meluncurkan roket Unha-3 pada awal Maret. Rencana peluncuran tersebut sebelumnya mendapat banyak kecaman internasional, termasuk dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Pemerintah Korut berdalih, peluncuran ini dalam rangka memperingati ulang tahun pendiri Korut, Kim II-sung, yang akan jatuh pada 15 April dan ini adalah ulang tahun yang ke-100.

Reaksi Dunia

Aksi dunia beragam, terutama AS, yang selama ini menjadi negara yang paling dimusuhi oleh Korut. Apa reaksi dunia dalam menghadapi Korut yang bersikap seolah tidak mau lagi diajak berdialog tersebut? 

Dalam hukum internasional diatur dua jenis mekanisme yang selama ini banyak digunakan oleh masyarakat internasional, yaitu melalui cara diplomasi dan jalan hukum. Dalam diplomasi, misalnya, bisa melalui cara negosiasi, konsiliasi, dan seterusnya. Sedangkan, jalan hukum bisa ditempuh melalui arbitrase dan pengadilan internasional.

Ada beberapa pendekatan yang mungkin akan dilakukan, baik oleh PBB maupun yang lainnya, seperti AS, Cina, dan Korsel, yaitu soft power, hard power, dan smart power. Ketiga konsep tersebut dikenalkan oleh Joseph Ney (1990) dari Harvard University. 

Pertama, soft power, yaitu kemampuan menarik dan mengooptasi atau tidak menggunakan kekerasan atau tindakan coercive dalam menghadapi negara lain.  Soft power menjadi alat utama dip lomasi masa kini yang disebut soft diplomacy dengan pendekatan ekonomi, politik, maupun budaya.  Kecenderungan pelaksanaan soft diplomacy menggunakan aplikasi soft power dianggap efektif dan efisien sehingga mudah untuk dilakukan tanpa harus menelan korban dan menghabiskan biaya besar. Pendekatan soft power biasanya memakan waktu yang lama.

Kedua, hard power, yaitu suatu kekuatan dari negara yang bersifat paksaan dan bahkan terkadang melalui kekerasan. Contohnya, perang dan embargo ekonomi. Negara-negara besar sering memakai cara ini dalam menghadapi negara lain, seperti AS, dalam perang Vietnam.

Sedangkan, yang ketiga, smart power adalah kombinasi antara hard power dan soft power. Maksudnya, selain melalui paksaan atau perang, negara yang bersangkutan juga menempuh jalur diplomasi untuk menyelesaikan permasalahannya dengan memanfaatkan national power-nya. Contohnya, Amerika yang menyerang Timur Tengah, namun dalam perjalanannya tetap menempuh jalur diplomasi.

Tindakan Korut yang menggunakan kekuatan militernya mungkin tidak akan didukung oleh Cina yang selama ini menjadi sekutu dekatnya. Dalam Kongres Nasional Rakyat Cina pada awal Maret lalu, beberapa anggota delegasi berdebat tentang politik negara itu menghadapi Korut. Wakil Direktur Kantor Pusat Urusan Luar Negeri Qiu Yuanping menyatakan, yang jadi perdebatan adalah apakah Cina perlu terus mendukung Korut atau sudah saatnya menarik dukungan.

Cina yang menjadikan Korut sebagai daerah penyangga dalam menghadapi AS bila ada konfrontasi melalui darat, menjadi dilematis untuk mengambil tindakan kepada Korut. Yang paling terancam adalah Korsel walaupun negara tersebut didukung oleh AS dengan kekuatan militer dan pengaruhnya yang besar di dunia. 

AS kemungkinan akan menggunakan pendekatan secara smart power seperti apa yang pernah mereka lakukan dalam kasus di Irak 10 tahun lalu. Ini terlihat salah satunya dengan adanya latihan gabungan antara AS dan Korsel yang semakin meningkat akhir-akhir ini. 

Bagaimana dengan Indonesia? Pemerintah Indonesia harus aktif mengampanyekan diplomasi damai dalam menghadapi Korut. Ini bisa dilakukan salah satunya dengan mengirim delegasi khusus ke negara tersebut untuk membujuk agar tidak pecah konflik. Mungkin Pemerintah Indonesia bisa mengirimkan mantan pre siden Megawati yang pernah dekat dengan mendiang presiden Korea Utara sebelumnya, yakni Kim Jong-ill selaku ayah dari presiden Kim Jong-un.

Keterlibatan dalam perdamaian dunia sangat penting bagi Indonesia sekaligus meneguhkan perannya di mata internasional. Selama ini, Indonesia dikenal dengan kenetralannya dalam menghadapi beberapa konflik dunia.

Naiknya eskalasi di semenanjung Korea mendesak untuk segera ditangani dengan pendekatan yang terbaik dan menghindari kerugian dari semua pihak, terutama korban sipil. Perdamaian dan stabilitas dunia adalah tujuan utama bagi terciptanya dunia yang harmonis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar