Rabu, 03 April 2013

Tata Kelola Stabilitas Harga


Tata Kelola Stabilitas Harga
Anton A Setyawan  ;   Kepala Pusat Studi Penelitian Pengembangan Manajemen dan Bisnis (PPMB) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
SUARA MERDEKA, 03 April 2013


BEBERAPA bulan terakhir ini Indonesia mengalami beberapa kali ketidakstabilan harga beberapa komoditas penting. Saat ini pun masyarakat kebingungan dengan harga bawang merah dan bawang putih yang melonjak tinggi. Harga bawang putih saat ini berada pada kisaran Rp 55.000-Rp.60.000/ kg, sementara harga bawang merah melonjak menjadi Rp 75.000. 

Sebelumnya, masyarakat mengalami guncangan karena kenaikan harga daging sapi yang sampai saat ini stabil pada harga Rp 90.000/ kg. Ketidakstabilan harga komoditas tersebut dipicu oleh kebijakan pemerintah, melalui Kementerian Perdagangan dan Kementerian Pertanian yang mengendalikan impor beberapa komoditas pertanian. 

Keputusan mengendalikan impor beberapa komoditas itu mendasarkan pada fakta tahun 2012 ketika neraca perdagangan Indonesia (NPI) mengalami defisit. Defisit pada Juli sebesar 6,9 miliar dolar AS (3,1% dari PDB). Defisit itu mengalami penurunan pada Oktober 2012 dengan angka 1,55 miliar dolar AS. Secara kumulatif defisit pada Januari-Oktober 2012 mencapai 516 juta dolar AS.  

Kondisi itu kali pertama dalam 30 tahun terakhir. Defisit ini terjadi karena impor komoditas lebih banyak ketimbang ekspor. Defisit neraca perdagangan tak jadi masalah selama barang yang diimpor adalah yang digunakan untuk produksi. Persoalannya, defisit tahun 2012 disebabkan oleh impor barang konsumtif. Salah satunya, minyak bumi guna menutup kekurangan subsidi BBM. 

Kenaikan atau kemenurunan harga komoditas di Indonesia memicu ketidakpastian dalam bisnis. Usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) menjadi korban pertama dari ketidakpastian harga komoditas pangan ini karena mereka menggunakannya untuk bahan mentah. Hal ini mengakibatkan mereka mengalami kesulitan menentukan harga jual produk.

Kebijakan Industri

Pengendalian impor adalah bagian dari kebijakan industri guna membangun daya saing di  dalam negeri. Logikanya, konsumen dari industri dalam negeri adalah masyarakat Indonesia. Populasi yang lebih dari 200 juta jiwa, serta jumlah kelas menengah yang besar dan konsumtif menyebabkan negara ini jadi pasar yang menggiurkan bagi produk-produk global. 

Kemembanjiran produk global secara masif berdapak positif bagi perekonomian nasional, namun merugikan bagi pembangunan industri nasional yang kuat. Contoh, kemelimpahan pasokan buah impor yang menyebabkan buah lokal kehilangan pasar. Apel washington lebih mudah dijumpai di pasar daripada apel malang, kelengkeng bangkok lebih gampang dijumpai dan murah dibanding kelengkeng lokal. 

Mengapa demikian? Produk global mempunyai struktur harga, standar kualitas, dan distribusi lebih baik dibanding produk lokal kita, karena kebijakan industri pemerintah mereka. Contoh, pemerintah Thailand memberikan asistensi dan fasilitas kepada petani yang mengembangkan produk unggulan, sejak pembibitan hingga mekanisme ekspor tanpa dipungut biaya, sampai mereka mandiri. 

Kondisi berbeda dari petani lokal kita, dari produk pertanian sampai industri pengolahan dan jasa, mengalami masalah yang sama, yaitu ekonomi biaya tinggi yang disebabkan  kualitas infrastruktur, biaya tenaga kerja, dan pungutan liar. Ditambah persoalan internal, dari produksi hingga pemasaran dan distribusi yang menyebabkan produk lokal berdaya saing rendah.
Apakah kebijakan melarang impor lebih tepat? Kebijakan melarang impor sebuah komoditas mengandung beberapa risiko. Pertama; kebijakan ini bertentangan dengan ratifikasi WTO yang sudah diteken  pemerintah sehingga pasti memunculkan tuntutan dari negara lain. Beleid itu juga akan memicu perang dagang dengan negara lain yang justru merugikan perekonomian nasional. 

Kedua; pelarangan impor justru tidak mendidik industri dalam negeri karena mereka tidak biasa bersaing dengan pesaing global sehingga tidak ada inovasi yang dilakukan. Industri tanpa inovasi lambat laun mati. Ketiga; pelarangan impor juga berisiko memunculkan pasar gelap barang selundupan yang justru merugikan negara karena kehilangan  potensi penerimaan pajak. 

Keputusan pemerintah mengendalikan impor merupakan langkah tepat karena mekanisme ini paling realistis guna melindungi kepentingan industri dalam negeri. Pengendalian sebenarnya hanya dilakukan untuk produk yang sudah bisa diproduksi di Indonesia, dan impor hanya dilakukan seandainya pasokan dalam negeri kurang. Contoh, saat jumlah bawang merah dan bawang putih cukup untuk memasok pasar nasional maka impor tidak dilakukan, begitu sebaliknya. Kebijakan pengendalian impor harus diimbangi dengan pemberian fasilitas bagi industri dalam negeri guna  membangun daya saing sehingga mereka lebih mampu bersaing dengan produk global. 

Hanya, kebijakan pengendalian impor ini berisiko gagal karena banyak oportunis memanfaatkan situasi demi kepentingan jangka pendek mereka. Kasus terbongkarnya puluhan kontainer bawang merah dan bawang putih di pelabuhan, memberikan gambaran besarnya kekuatan oportunis yang mendapatkan keuntungan dari kehancuran ekonomi nasional. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar