Menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY), situasi politik di Indonesia kian hari kian
riuh.
Berbagai isu dan fenomena ganjil mengiringi akhir
perjalanan masa bakti Presiden SBY. Mulai dari KLB (Kongres Luar Biasa)
Partai Demokrat di Sanur, Bali (30/3), isu kudeta pada 25 Maret, hingga
penyerbuan LP Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta pada 23 Maret.
Wibawa negara kian tak bertuah tatkala LP Cebongan
disatroni segerombolan orang tak dikenal. Dalam penyerbuan ini, empat
tahanan asal NTT tewas dengan kondisi mengenaskan.
Pada bulan yang sama, tanggal 7 Maret, masyarakat
disuguhi narasi baku hantam antara TNI AD Armed 76/15 Martapura yang
menyerbu kompleks Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU). Serbuan ini
membumihanguskan Kantor Polisi OKU serta menewaskan satu warga sipil.
Bersamaan dengan itu, nasib sama juga dialami tentara
Indonesia yang berada di bumi Papua, delapan prajurit TNI gugur di
Distrik Sinak dan Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua akibat
ditembaki kelompok bersenjata pada 21 Februari. Kondisi ini tentu semakin
memperparah kekacauan di negeri ini. Kekerasan dan premanisme terus
menjadi momok.
Belum selesai dihadapkan pada masalah ketahanan
pangan, berbagai persolan hilir mudik silih berganti. Masih teringat
jelas bagaimana kegagalan bangsa ini dalam mengelola impor daging sapi
hingga pada “paceklik” bawang putih.
Mimpi berswasembada daging, bumbu, palawija, dan
beras hanya ilusi di siang hari. Rentetan peristiwa bersejarah belakangan
ini adalah bukti nyata bagaimana situasi yang melanda Indonesia jelang
pergantian suksesi pemimpin 2014, membuat negara dihadapkan pada situasi
gaduh.
Berbagai wacana publik tumpah ruah menyesaki dinding
tebal perkampungan warga. Dunia sepak bola tanah air berduka usai
dipermalukan Arab Saudi di Gelora Bung Karno pada 23 Maret, elite politik
gaduh, bahkan isu kudeta menjelma menjadi phobia akut di tataran elite
pemerintahan.
Ribuan pasukan dikerahkan guna mengantisipasi amukan
massa. Seakan segalanya sudah berada di titik nadir. Tidak ada lagi rasa
percaya antara TNI dan polisi. Nalar su’uzdhon menjelma menjadi harga
mati bagi masyarakat.
Akal sehat tak lagi bisa berpikir rasional. Isu
kudeta telah menyebabkan Presiden SBY paranoid. Ketakutan itu
mengingatkan penulis pada sosok Amangkurat I tatkala Kerajaan Mataram
Islam dikoyak isu pemberontakan dan pembangkangan.
Kisruh Politik Abad ke-17
Good reason and real reason, nampaknya kita perlu
menengok sejarah pergolakan politik raja-raja Jawa pada abad ke-17.
Kekisruhan politik di tataran elite raja dimanfaatkan tentara Belanda
saat mengepung tanah Jawa.Setelah Sultan Agung mangkat, raja Mataram
berikutnya diganti Sunan Amangkurat I (1645-1677).
Pada masa pemerintahannya, kejayaan Mataram mulai
memudar. Raja-raja berikutnya juga tidak mampu membawa Mataram kembali ke
masa jayanya. Daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Mataram, satu
per satu berusaha memisahkan diri.
Akhirnya, setelah dikacaukan dengan berbagai
pemberontakan seperti Pangeran Trunojoyo dari Madura yang mendirikan
keratonnya di Kediri (1677-1680) dan Untung Surapati yang kemudian
berkeraton di Pasuruan (1686-1703), Mataram terjerumus dalam tiga perang
suksesi, yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian
Salatiga (1757) (HJ De Graaf, 1987: 49).
Akibatnya pascapemerintahan Sultan Agung dan
Amangkurat I, pada 1675 kerusuhan pecah. Setelah kekisruhan itu, akhirnya
raja-raja Mataram gagal memulihkan kekuasaannya atas keseluruhan tanah
Jawa. Ketika tahun 1755 perdamaian kembali tercapai, namun ibarat nasi
jadi bubur, kerajaan telah pecah. Priangan yang merupakan inti tanah
Pasundan, lepas dari pengawasan para sunan.
Tahun 1667, Citarum ditetapkan sebagai perbatasan.
Selanjutnya tahun 1705 perbatasan dimundurkan sampai ke Cirebon (Denys
lombard, 2006: 45). Dengan demikian dapat dipastikan Jawa Barat sudah
berada di luar sistem kerajaan Jawa dan menjadi semacam “tanah tak
bertuan”. Saat itulah momentum bagi VOC untuk mengambil alih tanah
Pasundan.
Alhasil wilayah inti kesunanan abad ke-17 dibagi
menjadi tiga “kerajaan“ terpisah. Keadaan di wilayah Jawa Timur jauh
lebih kacau lagi. Daerah bekas jantung Majapahit itu terus-menerus
memberontak dan dijadikan basis berbagai pembangkang.
Pada akhirnya meletuslah peristiwa yang terkenal
dalam sejarah tradisional sebagai “tiga Perang Suksesi“. Perang Suksesi
pertama, ketika Amangkurat II meninggal dunia, dan anaknya, Amangkurat
III melawan saudaranya Pangeran Puger, yang bergelar Paku Buwana
I. Peristiwa sejarah abad ke-17 menjadi bahan kajian menarik untuk
melihat Indonesia dewasa ini.
Diskursus disharmonisasi yang terjadi antarsesama
pihak keamanan di negeri ini bisa menjadi bola liar sekaligus menjelma
menjadi bom waktu yang setiap saat meledak. Jahdan Ibnu Malik (2013)
mengutip Lensky mengatakan, sedikit revolusi di negeri ini yang berhasil
tanpa bantuan militer, kecuali militer dalam keadaan disintegrasi dan
demoralisasi.
Good reason for clouding real reason, telah datang
suatu masa atau situasi yang bagus untuk menutupi kondisi sebenarnya.
Bisa diibaratkan fenomena yang melanda negeri ini tak ubahnya wabah
anomali.
Yakni suatu masa di mana terjadi penjungkirbalikan
nilai atau norma, serta ketidakpastian berbagai hal. Kondisi ini
disebut-sebut beberapa pakar sebagai gejala failed state (negara gagal).
Lantas, akan dibawa ke mana alur cerita yang bernama Indonesia? Wallahu a’lam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar