Rabu, 03 April 2013

SBY dan Kegagapan Indonesia


SBY dan Kegagapan Indonesia
M Romandhon MK  ;   Analis Kebudayaan, Fakultas Adab dan Ilmu Budaya,
UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 03 April 2013


Menjelang berakhirnya masa jabatan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), situasi politik di Indonesia kian hari kian riuh.

Berbagai isu dan fenomena ganjil mengiringi akhir perjalanan masa bakti Presiden SBY. Mulai dari KLB (Kongres Luar Biasa) Partai Demokrat di Sanur, Bali (30/3), isu kudeta pada 25 Maret, hingga penyerbuan LP Cebongan, Sleman, DI Yogyakarta pada 23 Maret.

Wibawa negara kian tak bertuah tatkala LP Cebongan disatroni segerombolan orang tak dikenal. Dalam penyerbuan ini, empat tahanan asal NTT tewas dengan kondisi mengenaskan.

Pada bulan yang sama, tanggal 7 Maret, masyarakat disuguhi narasi baku hantam antara TNI AD Armed 76/15 Martapura yang menyerbu kompleks Markas Polres Ogan Komering Ulu (OKU). Serbuan ini membumihanguskan Kantor Polisi OKU serta menewaskan satu warga sipil.

Bersamaan dengan itu, nasib sama juga dialami tentara Indonesia yang berada di bumi Papua, delapan prajurit TNI gugur di Distrik Sinak dan Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya, Papua akibat ditembaki kelompok bersenjata pada 21 Februari. Kondisi ini tentu semakin memperparah kekacauan di negeri ini. Kekerasan dan premanisme terus menjadi momok.

Belum selesai dihadapkan pada masalah ketahanan pangan, berbagai persolan hilir mudik silih berganti. Masih teringat jelas bagaimana kegagalan bangsa ini dalam mengelola impor daging sapi hingga pada “paceklik” bawang putih.

Mimpi berswasembada daging, bumbu, palawija, dan beras hanya ilusi di siang hari. Rentetan peristiwa bersejarah belakangan ini adalah bukti nyata bagaimana situasi yang melanda Indonesia jelang pergantian suksesi pemimpin 2014, membuat negara dihadapkan pada situasi gaduh.

Berbagai wacana publik tumpah ruah menyesaki dinding tebal perkampungan warga. Dunia sepak bola tanah air berduka usai dipermalukan Arab Saudi di Gelora Bung Karno pada 23 Maret, elite politik gaduh, bahkan isu kudeta menjelma menjadi phobia akut di tataran elite pemerintahan.

Ribuan pasukan dikerahkan guna mengantisipasi amukan massa. Seakan segalanya sudah berada di titik nadir. Tidak ada lagi rasa percaya antara TNI dan polisi. Nalar su’uzdhon menjelma menjadi harga mati bagi masyarakat.

Akal sehat tak lagi bisa berpikir rasional. Isu kudeta telah menyebabkan Presiden SBY paranoid. Ketakutan itu mengingatkan penulis pada sosok Amangkurat I tatkala Kerajaan Mataram Islam dikoyak isu pemberontakan dan pembangkangan.

Kisruh Politik Abad ke-17

Good reason and real reason, nampaknya kita perlu menengok sejarah pergolakan politik raja-raja Jawa pada abad ke-17. Kekisruhan politik di tataran elite raja dimanfaatkan tentara Belanda saat mengepung tanah Jawa.Setelah Sultan Agung mangkat, raja Mataram berikutnya diganti Sunan Amangkurat I (1645-1677).

Pada masa pemerintahannya, kejayaan Mataram mulai memudar. Raja-raja berikutnya juga tidak mampu membawa Mataram kembali ke masa jayanya. Daerah-daerah yang berada di bawah kekuasaan Mataram, satu per satu berusaha memisahkan diri.

Akhirnya, setelah dikacaukan dengan berbagai pemberontakan seperti Pangeran Trunojoyo dari Madura yang mendirikan keratonnya di Kediri (1677-1680) dan Untung Surapati yang kemudian berkeraton di Pasuruan (1686-1703), Mataram terjerumus dalam tiga perang suksesi, yang berakhir dengan Perjanjian Giyanti (1755) dan Perjanjian Salatiga (1757) (HJ De Graaf, 1987: 49).

Akibatnya pascapemerintahan Sultan Agung dan Amangkurat I, pada 1675 kerusuhan pecah. Setelah kekisruhan itu, akhirnya raja-raja Mataram gagal memulihkan kekuasaannya atas keseluruhan tanah Jawa. Ketika tahun 1755 perdamaian kembali tercapai, namun ibarat nasi jadi bubur, kerajaan telah pecah. Priangan yang merupakan inti tanah Pasundan, lepas dari pengawasan para sunan.

Tahun 1667, Citarum ditetapkan sebagai perbatasan. Selanjutnya tahun 1705 perbatasan dimundurkan sampai ke Cirebon (Denys lombard, 2006: 45). Dengan demikian dapat dipastikan Jawa Barat sudah berada di luar sistem kerajaan Jawa dan menjadi semacam “tanah tak bertuan”. Saat itulah momentum bagi VOC untuk mengambil alih tanah Pasundan.

Alhasil wilayah inti kesunanan abad ke-17 dibagi menjadi tiga “kerajaan“ terpisah. Keadaan di wilayah Jawa Timur jauh lebih kacau lagi. Daerah bekas jantung Majapahit itu terus-menerus memberontak dan dijadikan basis berbagai pembangkang.

Pada akhirnya meletuslah peristiwa yang terkenal dalam sejarah tradisional sebagai “tiga Perang Suksesi“. Perang Suksesi pertama, ketika Amangkurat II meninggal dunia, dan anaknya, Amangkurat III melawan saudaranya Pangeran Puger, yang bergelar Paku Buwana I. Peristiwa sejarah abad ke-17 menjadi bahan kajian menarik untuk melihat Indonesia dewasa ini.

Diskursus disharmonisasi yang terjadi antarsesama pihak keamanan di negeri ini bisa menjadi bola liar sekaligus menjelma menjadi bom waktu yang setiap saat meledak. Jahdan Ibnu Malik (2013) mengutip Lensky mengatakan, sedikit revolusi di negeri ini yang berhasil tanpa bantuan militer, kecuali militer dalam keadaan disintegrasi dan demoralisasi.

Good reason for clouding real reason, telah datang suatu masa atau situasi yang bagus untuk menutupi kondisi sebenarnya. Bisa diibaratkan fenomena yang melanda negeri ini tak ubahnya wabah anomali.
Yakni suatu masa di mana terjadi penjungkirbalikan nilai atau norma, serta ketidakpastian berbagai hal. Kondisi ini disebut-sebut beberapa pakar sebagai gejala failed state (negara gagal). Lantas, akan dibawa ke mana alur cerita yang bernama Indonesia? Wallahu a’lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar