Rapat Paripurna DPR di
Jakarta, Selasa (2/4), menyetujui Agus Martowardojo sebagai Gubernur Bank
Indonesia (BI) menggantikan Darmin Nasution yang segera mengakhiri masa
jabatannya pada Mei mendatang. Pimpinan DPR mengharapkan Agus
Martowardojo dapat menjalankan amanah sebagai Gubernur BI dengan baik.
Memang, banyak harapan disandarkan kepada Agus.
Dengan pengalaman besar sebagai profesional di dunia perbankan dan
berpengalaman menjabat pucuk pimpinan beberapa bank besar, Agus kemudian
dipercaya menjadi Menteri Keuangan.
Dua bidang yang dikuasai Agus Martowardojo, perbankan
dan fiskal, sangat diharapkan membuat hubungan antara pengelola perbankan
dan fiskal menjadi sinkron. Harus dihindari, jangan sampai ada
pertentangan besar antara kedua lembaga (Kementerian Keuangan dan BI),
seperti yang pernah terjadi beberapa tahun silam.
Selama menjabat Menteri Keuangan, kinerja Agus
rasanya jauh lebih baik daripada pendahulunya. Beliau lebih taktis, tidak
terlampau textbook, dan lebih membumi. Sikap itu diharapkan menjadi modal
penting untuk menjabat Gubernur BI. Agus diharapkan lebih pro dalam
negeri. Tidak membiarkan pasar keuangan dan perbankan dikuasai asing.
Kenyataan menunjukkan, saat ini asing mendominasi
hampir seluruh sistem keuangan kita. Rezim devisa bebas membuat asing
bercokol dengan sangat leluasa di pasar modal, surat utang, bahkan
Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang seharusnya tak boleh dimiliki asing.
Dengan beroperasinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK),
tugas BI kelak seharusnya akan makin mudah. BI hanya harus menjaga nilai
tukar terhadap harga barang alias menjaga laju inflasi dan nilai tukar
terhadap mata uang lainnya. Namun, kenyataan pun menunjukkan bahwa sejak
kita menganut floating exchange rate (nilai tukar dibebaskan ke pasar),
sejak 1997, tak ada satu pun Gubernur BI yang mampu mengendalikan nilai
tukar rupiah walaupun hanya dalam satu periode atau satu tahun saja.
Pada awal 2012, rupiah masih di kisaran Rp 9.000-an
per dolar AS, namun menjelang akhir tahun sudah terperosok hingga Rp
9.600-an per dolar AS. Saat ini bahkan sudah hampir terjun bebas
melampaui Rp 9.700 per dolar AS.
Saat ini cadangan devisa BI terus melorot habis untuk
intervensi. Negara ini dalam kondisi kekurangan likuiditas dolar.
Peraturan Bank Indonesia yang mengharuskan eksportir memasukkan dananya
di bank dalam negeri pun terkesan sia-sia. Karena, tak lama dana mereka
sudah terbang lagi ke luar negeri karena memang tidak ada aturan berapa
lama dana hasil ekspor harus tinggal.
Satu hal yang mungkin bisa dilakukan Agus
Martowardojo sebagai Gubernur BI adalah menjadi pengelola moneter yang
selalu waspada. Sebab, saat ini kondisi ekonomi global bisa dibilang
buruk. Masalah keuangan dan krisis perbankan yang dialami bank-bank di AS
dan Eropa makin mengkhawatirkan.
Janganlah kita merasa aman. Jangan seperti tahun
1997, saat kita menganggap enteng krisis di Thailand, ternyata belakangan
kitalah yang paling berantakan terkena dampaknya. Gubernur BI harus
melakukan antisipasi yang tepat, bukan hanya menunjukkan reaksi-reaksi,
dan baru kebakaran jenggot saat krisis sudah menghancurkan ekonomi negara
kita. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar