Rabu, 03 April 2013

Tantangan Gubernur BI


Tantangan Gubernur BI
Farial Anwar  ;   Direktur Currency Management
SUARA KARYA, 03 April 2013


Rapat Paripurna DPR di Jakarta, Selasa (2/4), menyetujui Agus Martowardojo sebagai Gubernur Bank Indonesia (BI) menggantikan Darmin Nasution yang segera mengakhiri masa jabatannya pada Mei mendatang. Pimpinan DPR mengharapkan Agus Martowardojo dapat menjalankan amanah sebagai Gubernur BI dengan baik.

Memang, banyak harapan disandarkan kepada Agus. Dengan pengalaman besar sebagai profesional di dunia perbankan dan berpengalaman menjabat pucuk pimpinan beberapa bank besar, Agus kemudian dipercaya menjadi Menteri Keuangan.

Dua bidang yang dikuasai Agus Martowardojo, perbankan dan fiskal, sangat diharapkan membuat hubungan antara pengelola perbankan dan fiskal menjadi sinkron. Harus dihindari, jangan sampai ada pertentangan besar antara kedua lembaga (Kementerian Keuangan dan BI), seperti yang pernah terjadi beberapa tahun silam.

Selama menjabat Menteri Keuangan, kinerja Agus rasanya jauh lebih baik daripada pendahulunya. Beliau lebih taktis, tidak terlampau textbook, dan lebih membumi. Sikap itu diharapkan menjadi modal penting untuk menjabat Gubernur BI. Agus diharapkan lebih pro dalam negeri. Tidak membiarkan pasar keuangan dan perbankan dikuasai asing.

Kenyataan menunjukkan, saat ini asing mendominasi hampir seluruh sistem keuangan kita. Rezim devisa bebas membuat asing bercokol dengan sangat leluasa di pasar modal, surat utang, bahkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) yang seharusnya tak boleh dimiliki asing.

Dengan beroperasinya Otoritas Jasa Keuangan (OJK), tugas BI kelak seharusnya akan makin mudah. BI hanya harus menjaga nilai tukar terhadap harga barang alias menjaga laju inflasi dan nilai tukar terhadap mata uang lainnya. Namun, kenyataan pun menunjukkan bahwa sejak kita menganut floating exchange rate (nilai tukar dibebaskan ke pasar), sejak 1997, tak ada satu pun Gubernur BI yang mampu mengendalikan nilai tukar rupiah walaupun hanya dalam satu periode atau satu tahun saja.

Pada awal 2012, rupiah masih di kisaran Rp 9.000-an per dolar AS, namun menjelang akhir tahun sudah terperosok hingga Rp 9.600-an per dolar AS. Saat ini bahkan sudah hampir terjun bebas melampaui Rp 9.700 per dolar AS.

Saat ini cadangan devisa BI terus melorot habis untuk intervensi. Negara ini dalam kondisi kekurangan likuiditas dolar. Peraturan Bank Indonesia yang mengharuskan eksportir memasukkan dananya di bank dalam negeri pun terkesan sia-sia. Karena, tak lama dana mereka sudah terbang lagi ke luar negeri karena memang tidak ada aturan berapa lama dana hasil ekspor harus tinggal.

Satu hal yang mungkin bisa dilakukan Agus Martowardojo sebagai Gubernur BI adalah menjadi pengelola moneter yang selalu waspada. Sebab, saat ini kondisi ekonomi global bisa dibilang buruk. Masalah keuangan dan krisis perbankan yang dialami bank-bank di AS dan Eropa makin mengkhawatirkan.

Janganlah kita merasa aman. Jangan seperti tahun 1997, saat kita menganggap enteng krisis di Thailand, ternyata belakangan kitalah yang paling berantakan terkena dampaknya. Gubernur BI harus melakukan antisipasi yang tepat, bukan hanya menunjukkan reaksi-reaksi, dan baru kebakaran jenggot saat krisis sudah menghancurkan ekonomi negara kita. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar