SECARA cepat melalui voting, Agus Martowardojo terpilih
menjadi Gubernur Bank Indonesia (BI) menggantikan Darmin Nasution yang
telah berakhir masa jabatannya. Patut mengapresiasi keputusan cepat DPR
mengingat dunia usaha dan pelaku pasar pun butuh kepastian yang cepat
mengenai hal itu.
Ada beberapa tantangan yang dihadapi BI
ke depan, di bawah kepemimpinan Agus. Pertama; pembagian tugas
antara BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Dalam salah satu pernyataan,
Agus mengatakan tugas OJK menjaga dan mengawasi sistem keuangan dan bank
secara mikro prudential, sedangkan BI bertugas mengawasi dan menjaga
stabilitas sistem keuangan secara makro prudential.
Secara teori itu mudah, dalam dalam
praktik sulit karena ada wilayah abu-abu antara stabilitas sistem
keuangan dan perbankan secara mikro prudential serta makro prudential.
Apalagi proses pembentukan OJK mendapat tentangan BI yang merasa
dipereteli kewenangannya. Bukan tidak mungkin bank sentral tergoda untuk
merebut kewenangan yang beralih ke OJK.
Tantangan kedua adalah menjaga tingkat
inflasi tetap rendah. Akhir-akhir ini tingkat inflasi cenderung
meningkat, semisal pada Januari-Februari 2013, sudah 1,79%. Persentase
itu tertinggi dalam 5 tahun terakhir, mengingat sebelum itu maksimal
1,28%. Angka tinggi inflasi akhir-akhir ini lebih disebabkan oleh
fluktuasi harga berbagai bahan pangan.
Fluktuasi harga tersebut lebih disebabkan
oleh ulah spekulan yang bermain-main dalam jalur distribusi. Bila BI
berniat mengendalikan inflasi, mau tidak mau harus bekerja sama dengan
pemerintah dan banyak pihak. Pada lingkup daerah sudah ada tim
pengendalian dan pengawasan harga, yang terdiri atas berbagai instansi.
Terkait ulah spekulan, yang terpenting
justru penegakan hukum dengan melibatkan aparat penegak hukum, salah
satunya Polri. Sebenarnya sudah ada UU tentang Pergudangan yang
memayungi penindakan oleh aparat hukum terhadap ulah spekulan yang
menimbun berbagai bahan pangan. Regulasi itu menyebutkan, yang mempunyai
hak menimbun barang adalah mereka yang punya izin pergudangan.
Penyebab lain fluktuasi harga pangan
adalah spekulasi akibat masuknya bahan pangan pada pasar komoditas
berjangka. Hal itu sesuai dengan sifat pasar komoditas berjangka
yang fluktuatif dan spekulatif. Ke depan, BI dan pemerintah perlu
memikirkan untuk tidak memasukkan pangan ke dalam pasar komoditas
berjangka karena bisa menyebabkan harga berfluktuasi secara tajam
seperti sekarang.
Tugas yang tidak kalah penting adalah
menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, terutama terhadap dolar AS.
Yang terjadi selama ini, kurs atau nilai tukar rupiah terhadap
dolar AS mengalami penurunan atau terdepresiasi. Sebenarnya, ada dua sisi
jika rupiah terdepresiasi terhadap dolar AS. Pertama; kemungkinan rupiah
yang beredar terlalu banyak, dan kedua; permintaan dolar AS terlalu
tinggi atau bisa juga stok (supply)
dolar berkurang.
Selama ini, kebijakan BI untuk
mengendalikan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terlalu memandang
faktor penyebab kelebihan peredaran rupiah. Karena itu, menghadapi
depresiasi rupiah terhadap dolar AS, BI selalu memilih menaikkan suku
bunga, yaitu BI rate. Akibatnya, suku bunga kredit pun ikut naik sehingga
sektor riil paling terpukul dengan berbagai konsekuensi.
Penegakan Hukum
Ke depan, BI bisa melihat fenomena
depresiasi rupiah terhadap dolar AS dari sisi dolar. Dari sisi itu,
permintaan terhadap dolar AS cenderung tinggi, di samping untuk kebutuhan
impor dan pembayaran utang luar negeri, juga untuk spekulasi. Maka
diperlukan kebijakan mendeteksi pembelian dolar AS untuk spekulasi. Saat
ini ada ketentuan untuk mencantumkan tujuan pembelian dolar AS
dalam batas nominal tertentu. Tetapi aspek penegakan hukum di
negara kita masih lemah.
Tantangan lain, yaitu meningkatkan
pelayanan perbankan, terutama untuk wilayah terpencil dan belum terjamah
pelayanan perbankan. Survei Bank Dunia (2010) menemukan fakta bahwa lebih
dari separuh penduduk Indonesia belum terlayani sektor perbankan formal.
Di samping itu, tantangan meningkatkan
pelayanan perbankan untuk sektor UMKM. Untuk ”memaksa”, BI sudah
mengeluarkan peraturan supaya perbankan menyalurkan kredit minimal 20%
kepada UMKM, dan target ini harus dicapai pada 2018. Tahapannya adalah 5%
tahun 2014, 10% tahun 2016, 15% tahun 2017, dan 20% tahun 2018.
Lagi-lagi, bagaimana pemerintah konsisten menegakkan peraturan itu.
Pekerjaan rumah lain yang juga penting
adalah menarik ”dana di bawah bantal” yang kerap dihimpun oleh penipu
melalui modus investasi bodong. Salah satu kasus besar investasi bodong
adalah praktik yang melibatkan PT Golden Traders Indonesia Syariah
(GTIS), yang bisa menghimpun dana nasabah sampai Rp 2 triliun.
Di Kota Semarang, masyarakat juga
dikejutkan oleh penipuan yang dilakukan oleh PT Iqro Management, dengan
omzet besar. Jika digabungkan dengan kasus serupa di banyak daerah maka
”dana di bawah bantal” itu bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Bila
pemerintah bisa menarik itu ke perbankan formal maka dana tersebut bisa
digunakan untuk hal-hal yang lebih bermanfaat, semisal menggerakkan
sektor riil, terutama UMKM. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar