"Pengarang yang baik tidak menjadi corong elite
politik tetapi menjadi corong kepentingan umum"
Mendengar ada ”proklamasi” Hari Sastra Indonesia di
Bukittinggi, saya segera menghubungi beberapa pengarang sahabat untuk
menanyakan pendapat mereka. Seorang seniman yang telah mengarang banyak
sekali buku, dan banyak menghasilkan beragam jenis karya kesenian
menjawab lewat SMS, ”Baik, tapi
saya ndak ikut.” Apakah itu berarti setuju? Dia menjawab, ”Kalo itu ya butuh seminar.”
Saya lega, segalanya menjadi terang-benderang, yaitu
entitas yang disebut sastra Indonesia itu luas, kompleks, dan selalu kaya
akan masalah. Mengapa? Dalam ilmu bumi, sastra Indonesia mestinya
meliputi belasan ribu pulau. Dari sudut kekuasaan, ia dirajai oleh
adipati-adipati kecil yang acapkali kisruh sebab semua merasa diri maharaja-maharaja.
Dari sudut sejarah (apabila Indonesia adalah bentuk
lanjut Nusantara) ia menelan belasan abad. Dalam bentuk ragawi, ia
bersangkut paut dengan buku, penerbit, surat kabar, majalah, redaktur,
editor, organisasi, lembaga, radio, televisi, film, situs-situs di
internet, honorarium, royalti, dan entah apa lagi. Dalam bentuk rohani,
ia mengacu akal budi, selera, benci, simpati, pengalaman, penghayatan,
dan segala perkara dalam diri orang-orang yang berkecimpung dalam entitas
tersebut. Belum dari sudut-sudut ketersangkutpautannya dengan
kaveling-kaveling lain.
Singkat kata, mempunyai kekompleksitasan luar biasa
dan Hari Sastra Indonesia adalah salah satu kaveling kompleksitas. Namun
catatan kecil ini tidak masuk ke dalam kaveling tersebut sebab ia sedang
tertarik memasuki kaveling kompleksitas lain yang lebih penting: arti pengarang Indonesia bagi repubik
ini.
Mengapa lebih penting? Pasalnya, fondasi sastra
Indonesia adalah pengarang Indonesia, baik perempuan maupun lelaki.
Pengarang? Bagaimana dengan pujangga, sastrawati, atau sastrawan? Empat
kosakata itu adalah sebutan bagi orang yang mengarang. Bahwa ada
pengarang yang disebut pujangga, sastrawati atau sastrawan, dan ada yang
tidak, sebagai wacana, ini juga kaveling lain dari kompleksitas sastra
Indonesia yang mustahil bisa tuntas. Jadi, ini tidak penting pula.
Karena itu, arti pengarang Indonesia jauh lebih penting
ketimbang sebutan apa saja. Atau dengan rumusan lain lebih konkret:
pengarang Indonesia semacam apa yang dibutuhkan Republik Indonesia sekarang?
Padahal, negara kita saat ini juga merupakan entitas yang luas, kompleks,
dan selalu kaya akan masalah. Kita bagai masuk ke alam hiperrealitas,
titik dua kompleksitas tersebut bertemu dengan indah.
Pertemuan itu indah sebab kebutuhan Republik Indonesia
akan pengarang Indonesia itu sudah nyanthel
dalam keindonesiaan tanpa soal. Maka pertanyaan itu juga mudah
dijawab. Yang dibutuhkan negara kita adalah pengarang Indonesia yang
hebat sebab mereka adalah salah satu ”wahyu” pembawa ilham menuju ke
sebuah peradaban yang benar dan baik. Lepas dari ihwal perkara
kompleksitas sastra Indonesia, di negara kita tersedia banyak pengarang
Indonesia yang hebat, dengan paling sedikit tujuh tanda sebagai berikut.
Pertama; pengarang Indonesia yang hebat selalu kaya
dengan kata bernilai positif di dalam jiwa raga, semisal benar, baik,
jujur, peka, objektif, jenaka, pintar, mulia, bergairah, cekatan,
ekspresif, artistik, rajin, tekun, disiplin, dan sejenisnya.
Pembela Kemerdekaan
Kedua; menjadi Pancasila di dalam praktik adalah
perenung segala soal rohani (sila pertama), manusiawi (sila kedua),
patriotik (sila ketiga), antikorupsi (sila keempat), dan membuat senang
sebanyak mungkin orang (sila kelima) muncul dalam karangan-karangannya.
Ketiga; ia hidup merdeka yang ditandai dengan sikap
terbuka, antiklik-klikan, tegas, tegar prinsip tapi lentur cara,
berempati kepada semua orang tanpa membedakan SARA, dan selalu usil
terhadap segala hal yang tidak beradab.
Keempat; ia mampu menulis secara baik dan benar,
sekaligus indah dengan pikiran sendiri dan berpandangan luas, semisal
mampu merumuskan kebutuhan umum melalui karya-karyanya yang membuka paham
pembaca, pendengar, dan pemirsa ke arah peradaban mulia dunia seisinya.
Kelima; tidak menjadi corong elite politik bagi
kepentingan umum tetapi menjadi corong kepentingan umum agar dicerna
elite politik. Maka ia mempunyai semangat investigasi yang tinggi
terhadap isu-isu sosial dengan terjun langsung di dalamnya, dan bukan
cuma ongkang-ongkang menunggu di depan komputer.
Keenam; ia membela kemerdekaan individu secara total
dan melawan segala bentuk kejadian yang bermuara pada mengerdilkan jati
diri manusia di mana pun dan kapan pun. Ketujuh; membaca (apa saja),
berpikir dan menulis menjadi menu hariannya, tidak berbeda dari makan, minum,
dan bernapas. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar