Jumat, 05 April 2013

Pengarang Indonesia yang Hebat


Pengarang Indonesia yang Hebat
L Murbandono Hs  ;   Peminat Peradaban,
Tinggal di Ambarawa Kabupaten Semarang
SUARA MERDEKA, 04 April 2013


"Pengarang yang baik tidak menjadi corong elite politik tetapi menjadi corong kepentingan umum"

Mendengar ada ”proklamasi” Hari Sastra Indonesia di Bukittinggi, saya segera menghubungi beberapa pengarang sahabat untuk menanyakan pendapat mereka. Seorang seniman yang telah mengarang banyak sekali buku, dan banyak menghasilkan beragam jenis karya kesenian menjawab lewat SMS, ”Baik, tapi saya ndak ikut.” Apakah itu berarti setuju? Dia menjawab, ”Kalo itu ya butuh seminar.”

Saya lega, segalanya menjadi terang-benderang, yaitu entitas yang disebut sastra Indonesia itu luas, kompleks, dan selalu kaya akan masalah. Mengapa? Dalam ilmu bumi, sastra Indonesia mestinya meliputi belasan ribu pulau. Dari sudut kekuasaan, ia dirajai oleh adipati-adipati kecil yang acapkali kisruh sebab semua merasa diri maharaja-maharaja.

Dari sudut sejarah (apabila Indonesia adalah bentuk lanjut Nusantara) ia menelan belasan abad. Dalam bentuk ragawi, ia bersangkut paut dengan buku, penerbit, surat kabar, majalah, redaktur, editor, organisasi, lembaga, radio, televisi, film, situs-situs di internet, honorarium, royalti, dan entah apa lagi. Dalam bentuk rohani, ia mengacu akal budi, selera, benci, simpati, pengalaman, penghayatan, dan segala perkara dalam diri orang-orang yang berkecimpung dalam entitas tersebut. Belum dari sudut-sudut ketersangkutpautannya dengan kaveling-kaveling lain.

Singkat kata, mempunyai kekompleksitasan luar biasa dan Hari Sastra Indonesia adalah salah satu kaveling kompleksitas. Namun catatan kecil ini tidak masuk ke dalam kaveling tersebut sebab ia sedang tertarik memasuki kaveling kompleksitas lain yang lebih penting: arti pengarang Indonesia bagi repubik ini.

Mengapa lebih penting? Pasalnya, fondasi sastra Indonesia adalah pengarang Indonesia, baik perempuan maupun lelaki. Pengarang? Bagaimana dengan pujangga, sastrawati, atau sastrawan? Empat kosakata itu adalah sebutan bagi orang yang mengarang. Bahwa ada pengarang yang disebut pujangga, sastrawati atau sastrawan, dan ada yang tidak, sebagai wacana, ini juga kaveling lain dari kompleksitas sastra Indonesia yang mustahil bisa tuntas. Jadi, ini tidak penting pula.

Karena itu, arti pengarang Indonesia jauh lebih penting ketimbang sebutan apa saja. Atau dengan rumusan lain lebih konkret: pengarang Indonesia semacam apa yang dibutuhkan Republik Indonesia sekarang? Padahal, negara kita saat ini juga merupakan entitas yang luas, kompleks, dan selalu kaya akan masalah. Kita bagai masuk ke alam hiperrealitas, titik dua kompleksitas tersebut bertemu dengan indah.

Pertemuan itu indah sebab kebutuhan Republik Indonesia akan pengarang Indonesia itu sudah nyanthel dalam keindonesiaan tanpa soal. Maka pertanyaan itu juga mudah dijawab. Yang dibutuhkan negara kita adalah pengarang Indonesia yang hebat sebab mereka adalah salah satu ”wahyu” pembawa ilham menuju ke sebuah peradaban yang benar dan baik. Lepas dari ihwal perkara kompleksitas sastra Indonesia, di negara kita tersedia banyak pengarang Indonesia yang hebat, dengan paling sedikit tujuh tanda sebagai berikut.

Pertama; pengarang Indonesia yang hebat selalu kaya dengan kata bernilai positif di dalam jiwa raga, semisal benar, baik, jujur, peka, objektif,  jenaka, pintar, mulia, bergairah, cekatan, ekspresif, artistik, rajin, tekun, disiplin, dan sejenisnya.

Pembela Kemerdekaan

Kedua; menjadi Pancasila di dalam praktik adalah perenung segala soal rohani (sila pertama), manusiawi (sila kedua), patriotik (sila ketiga), antikorupsi (sila keempat), dan membuat senang sebanyak mungkin orang (sila kelima) muncul dalam karangan-karangannya.

Ketiga; ia hidup merdeka yang ditandai dengan sikap terbuka, antiklik-klikan, tegas, tegar prinsip tapi lentur cara, berempati kepada semua orang tanpa membedakan SARA, dan selalu usil terhadap segala hal yang tidak beradab.

Keempat; ia mampu menulis secara baik dan benar, sekaligus indah dengan pikiran sendiri dan berpandangan luas, semisal mampu merumuskan kebutuhan umum melalui karya-karyanya yang membuka paham pembaca, pendengar, dan pemirsa ke arah peradaban mulia dunia seisinya.

Kelima; tidak menjadi corong elite politik bagi kepentingan umum tetapi menjadi corong kepentingan umum agar dicerna elite politik. Maka ia mempunyai semangat investigasi yang tinggi terhadap isu-isu sosial dengan terjun langsung di dalamnya, dan bukan cuma ongkang-ongkang menunggu di depan komputer.

Keenam; ia membela kemerdekaan individu secara total dan melawan segala bentuk kejadian yang bermuara pada mengerdilkan jati diri manusia di mana pun dan kapan pun. Ketujuh; membaca (apa saja), berpikir dan menulis menjadi menu hariannya, tidak berbeda dari makan, minum, dan bernapas. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar