Tahun 2014, satu tahun lagi, merupakan target pemerintah
untuk mencapai swasembada daging sapi, yaitu tercapainya pemenuhan
kebutuhan daging sapi sebesar 420.000 ton, di mana impor hanya
ditargetkan sebesar 10% dari total konsumsi nasional.
Namun, meski target tersebut sudah di depan mata, masyarakat sempat
dihebohkan dengan tingginya harga daging sapi di pasaran yang mencapai
100.000 per kg bahkan 120.000 per kg pada Februari 2013. Sebenarnya kran
impor sudah ditekan selama tahun 2012 dan awal 2013, namun malah
mengakibatkan lonjakan kenaikan daging sapi karena kelangkaan supply di pasaran.
Lebih miris lagi, kenaikan harga daging yang memukul konsumen kelas
menengah ke bawah tersebut tidak dirasakan peternak di grass root. Karut-marut dunia
perdagingan di Indonesia kembali lagi berakar dari penyediaan kebutuhan (supply) dengan tingkat konsumsi.
Saat ini pemerintah belum memiliki mekanisme yang handal untuk menghitung
jumlah kesediaan daging sapi lokal dengan memperhatikan populasi, tingkat
kematian dan perkembangan sapi dalam negeri, serta belum pernah
menghitung konsumsi riil untuk rumah tangga maupun industri.
Tahun 2011, pemerintah, yaitu Direktorat Jenderal Peternakan dan
Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), bekerja
sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melaksanakan Pendataan Sapi
Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK 2011) dengan tujuan untuk mengetahui
populasi ternak sapi dan kerbau di Indonesia.
Hasilnya cukup memuaskan, tercatat 14,82 juta ekor sapi potong. Jika
dihitung angka tersebut dengan roadmap swasembada daging sapi 2010–2014,
Indonesia sebenarnya sudah mencapai swasembada daging sapi. Namun,
mengapa masalah daging sapi kelihatan masih seperti mengurai benang
kusut?
Masalah Utama
Hasil sensus PSPK 2011 menunjukkan dengan jelas jumlah rumah tangga
peternak di Indonesia seluruhnya mencapai 15,24 juta orang. Dari jumlah
tersebut, 5,9 juta merupakan peternak sapi, 13,51 juta peternak sapi
potong, 529.000 peternak sapi perah, dan rumah tangga peternak kerbau
mencapai 1,2 juta. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa keberadaan
populasi sapi potong sebagian besar berada di rumah tangga peternak, yang
umumnya hanya memiliki sapi dalam jumlah 2–5 ekor.
Umumnya rumah tangga peternak memelihara sapi hanya sebagai usaha
sampingan, investasi, atau tabungan yang baru akan dijual saat
membutuhkan uang. Kondisi suplai seperti ini tidak bisa diandalkan untuk
menyediakan daging secara kontinu. Belum lagi sebaran sentra produksi
sapi saat ini masih terkotakkotak pada beberapa wilayah seperti Jawa
Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NTT, Lampung, NTB, Bali, dan
Sumatera Utara.
Transportasi sapi lokal saat ini membutuhkan biaya yang cukup besar untuk
memobilisasi sapi hidup, disebabkan upaya pengembangan usaha jual-beli
daging sapi beku (frozen beef)
antarpulau belum banyak dikembangkan, sehingga merupakan suatu kesulitan
sendiri untuk memasok ke sentra-sentra konsumsi seperti Jabodetabek.
Ditambah dengan tren masyarakat yang lebih menyukai membeli daging segar
daripada daging beku, menyebabkan lebih banyak transaksi jual-beli sapi
hidup untuk dipotong rumah potong hewan.
Saat ini upaya menstimulasi masyarakat untuk beternak sapi hidup sangat
terkendala, mengingat tidak efisiennya tata niaga sapi potong akibat
panjangnya jaringan distribusi yang dikendalikan pengumpul atau pedagang
besar.
Peternak berskala kecil umumnya terpaksa menjual sapi melalui perantara
atau blantik, selanjutnya dikirim ke pengumpul, pengumpul ke pedagang
kecil, pedagang kecil ke pedagang besar atau pedagang antarpulau atau
dikirim langsung ke rumah potong hewan, selanjutnya didistribusikan ke
pedagang eceran atau pasar becek hingga mencapai konsumen.
Peternak umumnya kesulitan menjual ternaknya ke pasar hewan karena masih
tidak meratanya sebaran pasar hewan yang mengakibatkan biaya tinggi, dan
masih banyaknya permainan harga yang mengakibatkan peternak menelan
ludah, alih-alih mendapat keuntungan malah sebaliknya merugi karena
jatuhnya harga sapi di pasaran.
Keberpihakan pada
Peternak
Melihat benang kusut daging sapi ini, pemerintah seyogianya memiliki
rencana yang strategis dan terobosan-terobosan untuk penyelesaian akar
masalah. Pemerintah harus mulai berhitung dengan sungguh-sungguh masalah
ketersediaan suplai dalam negeri terhadap tuntutan konsumsi.
Saat ini upaya pengembangan sapi potong seharusnya ditunjang dengan akses
kemudahan pinjaman untuk mendorong masyarakat peternak mengarah ke usaha
agrobisnis berkelanjutan, termasuk mendorong upaya pengembangan
bibitbibit sapi potong untuk menjamin kelangsungan suplai dan mencegah
pengurasan sapi potong lokal.
Mekanisme permodalan saat ini sepenuhnya masih diserahkan pada kebijakan
perbankan, sementara pinjaman seperti Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS)
kurang diminati, meski mendapat subsidi bunga dari pemerintah, karena mensyaratkan
agunan dan kurang menguntungkan dari jangka waktu dan kembalinya
perputaran uang. Bapak angkat seperti perusahaan penggemukan (feedlotter) harus distimulasi
untuk dapat menggandeng usaha kelompok peternak kecil agar bisa mandiri
dan bersaing.
Bantuan sosial (bansos) berupa pemberian langsung sapi hidup yang
menghabiskan dana triliunan, sebagai salah satu bentuk campur tangan
pemerintah, harus dievaluasi dan selektif ke peternak atau kelompok
ternak seperti Lembaga Mandiri Mengakar Masyarakat (LM3) yang bisa
menjaga usahanya secara kontinu dan berkelangsungan, bukan dilakukan
secara sporadis yang akhirnya gagal bergulir.
Selain itu, tetap perlu dioptimalkan upaya mencari jenis sapi bibit yang
unggul termasuk pola pembibitan (breeding)
yang terstruktur dan menghindari in-breeding
di antara sapi lokal yang mengakibatkan kualitas sapi potong lokal terus
menurun, percepatan pengembangbiakan melalui pola inseminasi buatan (IB),
pencegahan penyakit, dan pelarangan pemotongan sapi betina produktif yang
disinyalir mencapai 20–30% dan akan memengaruhi perkembangan populasi.
Peningkatan keterampilan peternak dan perubahan pandangan dari
pemeliharaan sapi sebagai sambilan dan investasi sebagai lahan usaha yang
berkelanjutan. Kendala sumber pakan ternak yang menyumbang 70–80% usaha
sapi dengan semakin terbatasnya lahan, menjaditantangan tersendiri dalam
usaha pengembangan sapi potong, harus disiasati dengan pengembangan
sumber pakan alternatif seperti integrasi dengan limbah pertanian,
penanaman mandiri hijauan makanan ternak, dan penggunaan teknologi pakan
olahan yang mudah diakses peternak dan terjangkau.
Dengan demikian, pengembangan usaha peternak dari sistem tradisional
menjadi industri pengembangan sapi potong dapat dipicu ke depannya.
Terakhir, namun yang terpenting dari seluruh upaya tersebut, adalah
kontinuitas untuk mengawal pengembangan sapi potong di bagian hilir tidak
hanya hulunya sehingga menjadi usaha yang prospektif.
Hal ini harus dilakukan melalui stabilisasi harga sapi potong di pasaran
yang berpihak ke peternak, termasuk di antaranya melalui upaya lebih
mendekatkan peternak dan konsumen melalui pemotongan panjangnya rantai
distribusi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Untuk ini,
pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, namun diperlukan
pengawasan dan instrumen lainnya agar fluktuasi harga di peternak
termasuk di tingkat konsumen, dapat dikendalikan.
Harga sapi yang bebas dari spekulan akan langsung dinikmati peternak,
otomatis akan mendongkrak gairah peternak-peternak yang sudah ada maupun
peternak baru untuk menggenjot produksi usaha sapi potong. Kalau atmosfer
ini sudah hadir, tentunya upaya swasembada daging sapi akan terjadi tanpa
banyak kesulitan. Maukah kita? ● |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar