Selasa, 23 April 2013

Swasembada Daging Sapi Bukan Mimpi


Swasembada Daging Sapi Bukan Mimpi
Ali Masykur Musa ; Anggota Badan Pemeriksa Keuangan Republik Indonesia (BPK RI)
KORAN SINDO, 23 April 2013


Tahun 2014, satu tahun lagi, merupakan target pemerintah untuk mencapai swasembada daging sapi, yaitu tercapainya pemenuhan kebutuhan daging sapi sebesar 420.000 ton, di mana impor hanya ditargetkan sebesar 10% dari total konsumsi nasional. 

Namun, meski target tersebut sudah di depan mata, masyarakat sempat dihebohkan dengan tingginya harga daging sapi di pasaran yang mencapai 100.000 per kg bahkan 120.000 per kg pada Februari 2013. Sebenarnya kran impor sudah ditekan selama tahun 2012 dan awal 2013, namun malah mengakibatkan lonjakan kenaikan daging sapi karena kelangkaan supply di pasaran. 

Lebih miris lagi, kenaikan harga daging yang memukul konsumen kelas menengah ke bawah tersebut tidak dirasakan peternak di grass root. Karut-marut dunia perdagingan di Indonesia kembali lagi berakar dari penyediaan kebutuhan (supply) dengan tingkat konsumsi. 

Saat ini pemerintah belum memiliki mekanisme yang handal untuk menghitung jumlah kesediaan daging sapi lokal dengan memperhatikan populasi, tingkat kematian dan perkembangan sapi dalam negeri, serta belum pernah menghitung konsumsi riil untuk rumah tangga maupun industri. 

Tahun 2011, pemerintah, yaitu Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH), Kementerian Pertanian (Kementan), bekerja sama dengan Badan Pusat Statistik (BPS) untuk melaksanakan Pendataan Sapi Potong, Sapi Perah, dan Kerbau (PSPK 2011) dengan tujuan untuk mengetahui populasi ternak sapi dan kerbau di Indonesia. 

Hasilnya cukup memuaskan, tercatat 14,82 juta ekor sapi potong. Jika dihitung angka tersebut dengan roadmap swasembada daging sapi 2010–2014, Indonesia sebenarnya sudah mencapai swasembada daging sapi. Namun, mengapa masalah daging sapi kelihatan masih seperti mengurai benang kusut? 

Masalah Utama 

Hasil sensus PSPK 2011 menunjukkan dengan jelas jumlah rumah tangga peternak di Indonesia seluruhnya mencapai 15,24 juta orang. Dari jumlah tersebut, 5,9 juta merupakan peternak sapi, 13,51 juta peternak sapi potong, 529.000 peternak sapi perah, dan rumah tangga peternak kerbau mencapai 1,2 juta. Hal ini dengan jelas menunjukkan bahwa keberadaan populasi sapi potong sebagian besar berada di rumah tangga peternak, yang umumnya hanya memiliki sapi dalam jumlah 2–5 ekor. 

Umumnya rumah tangga peternak memelihara sapi hanya sebagai usaha sampingan, investasi, atau tabungan yang baru akan dijual saat membutuhkan uang. Kondisi suplai seperti ini tidak bisa diandalkan untuk menyediakan daging secara kontinu. Belum lagi sebaran sentra produksi sapi saat ini masih terkotakkotak pada beberapa wilayah seperti Jawa Timur, Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, NTT, Lampung, NTB, Bali, dan Sumatera Utara. 

Transportasi sapi lokal saat ini membutuhkan biaya yang cukup besar untuk memobilisasi sapi hidup, disebabkan upaya pengembangan usaha jual-beli daging sapi beku (frozen beef) antarpulau belum banyak dikembangkan, sehingga merupakan suatu kesulitan sendiri untuk memasok ke sentra-sentra konsumsi seperti Jabodetabek. Ditambah dengan tren masyarakat yang lebih menyukai membeli daging segar daripada daging beku, menyebabkan lebih banyak transaksi jual-beli sapi hidup untuk dipotong rumah potong hewan. 

Saat ini upaya menstimulasi masyarakat untuk beternak sapi hidup sangat terkendala, mengingat tidak efisiennya tata niaga sapi potong akibat panjangnya jaringan distribusi yang dikendalikan pengumpul atau pedagang besar. 

Peternak berskala kecil umumnya terpaksa menjual sapi melalui perantara atau blantik, selanjutnya dikirim ke pengumpul, pengumpul ke pedagang kecil, pedagang kecil ke pedagang besar atau pedagang antarpulau atau dikirim langsung ke rumah potong hewan, selanjutnya didistribusikan ke pedagang eceran atau pasar becek hingga mencapai konsumen. 

Peternak umumnya kesulitan menjual ternaknya ke pasar hewan karena masih tidak meratanya sebaran pasar hewan yang mengakibatkan biaya tinggi, dan masih banyaknya permainan harga yang mengakibatkan peternak menelan ludah, alih-alih mendapat keuntungan malah sebaliknya merugi karena jatuhnya harga sapi di pasaran. 

Keberpihakan pada Peternak 

Melihat benang kusut daging sapi ini, pemerintah seyogianya memiliki rencana yang strategis dan terobosan-terobosan untuk penyelesaian akar masalah. Pemerintah harus mulai berhitung dengan sungguh-sungguh masalah ketersediaan suplai dalam negeri terhadap tuntutan konsumsi. 

Saat ini upaya pengembangan sapi potong seharusnya ditunjang dengan akses kemudahan pinjaman untuk mendorong masyarakat peternak mengarah ke usaha agrobisnis berkelanjutan, termasuk mendorong upaya pengembangan bibitbibit sapi potong untuk menjamin kelangsungan suplai dan mencegah pengurasan sapi potong lokal. 

Mekanisme permodalan saat ini sepenuhnya masih diserahkan pada kebijakan perbankan, sementara pinjaman seperti Kredit Usaha Pembibitan Sapi (KUPS) kurang diminati, meski mendapat subsidi bunga dari pemerintah, karena mensyaratkan agunan dan kurang menguntungkan dari jangka waktu dan kembalinya perputaran uang. Bapak angkat seperti perusahaan penggemukan (feedlotter) harus distimulasi untuk dapat menggandeng usaha kelompok peternak kecil agar bisa mandiri dan bersaing. 

Bantuan sosial (bansos) berupa pemberian langsung sapi hidup yang menghabiskan dana triliunan, sebagai salah satu bentuk campur tangan pemerintah, harus dievaluasi dan selektif ke peternak atau kelompok ternak seperti Lembaga Mandiri Mengakar Masyarakat (LM3) yang bisa menjaga usahanya secara kontinu dan berkelangsungan, bukan dilakukan secara sporadis yang akhirnya gagal bergulir. 

Selain itu, tetap perlu dioptimalkan upaya mencari jenis sapi bibit yang unggul termasuk pola pembibitan (breeding) yang terstruktur dan menghindari in-breeding di antara sapi lokal yang mengakibatkan kualitas sapi potong lokal terus menurun, percepatan pengembangbiakan melalui pola inseminasi buatan (IB), pencegahan penyakit, dan pelarangan pemotongan sapi betina produktif yang disinyalir mencapai 20–30% dan akan memengaruhi perkembangan populasi. 

Peningkatan keterampilan peternak dan perubahan pandangan dari pemeliharaan sapi sebagai sambilan dan investasi sebagai lahan usaha yang berkelanjutan. Kendala sumber pakan ternak yang menyumbang 70–80% usaha sapi dengan semakin terbatasnya lahan, menjaditantangan tersendiri dalam usaha pengembangan sapi potong, harus disiasati dengan pengembangan sumber pakan alternatif seperti integrasi dengan limbah pertanian, penanaman mandiri hijauan makanan ternak, dan penggunaan teknologi pakan olahan yang mudah diakses peternak dan terjangkau. 

Dengan demikian, pengembangan usaha peternak dari sistem tradisional menjadi industri pengembangan sapi potong dapat dipicu ke depannya. Terakhir, namun yang terpenting dari seluruh upaya tersebut, adalah kontinuitas untuk mengawal pengembangan sapi potong di bagian hilir tidak hanya hulunya sehingga menjadi usaha yang prospektif. 

Hal ini harus dilakukan melalui stabilisasi harga sapi potong di pasaran yang berpihak ke peternak, termasuk di antaranya melalui upaya lebih mendekatkan peternak dan konsumen melalui pemotongan panjangnya rantai distribusi yang hanya menguntungkan segelintir pihak. Untuk ini, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan regulasi, namun diperlukan pengawasan dan instrumen lainnya agar fluktuasi harga di peternak termasuk di tingkat konsumen, dapat dikendalikan. 

Harga sapi yang bebas dari spekulan akan langsung dinikmati peternak, otomatis akan mendongkrak gairah peternak-peternak yang sudah ada maupun peternak baru untuk menggenjot produksi usaha sapi potong. Kalau atmosfer ini sudah hadir, tentunya upaya swasembada daging sapi akan terjadi tanpa banyak kesulitan. Maukah kita?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar