Selasa, 23 April 2013

Kerbau Danu


Kerbau Danu
Sukardi Rinakit  Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 23 April 2013


Gubernur Sumatera Selatan Alex Noerdin, misalnya, ketika baru lahir ditengok Bung Karno di rumah sakit. Seakan-akan itu sebuah isyarat bahwa dia akan jadi pemimpin kalau sudah dewasa nanti. Contoh lain adalah Jero Wacik. Tujuh saudaranya sakit dan meninggal ketika masih kecil. Dia bisa bertahan hidup dan harus tinggal dan tumbuh besar di pura. Kini ia menjadi Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral.

Dengan kisah seperti itu, saya berharap Jero Wacik miskin rasa khawatir. Ia akan berani membelah kebekuan politik dan melakukan lobi intensif kepada Presiden agar segera menaikkan harga bahan bakar minyak, perpanjangan kontrak Blok Mahakam, dan lain-lain. Semua itu demi percepatan pembangunan infrastruktur, perluasan jaminan sosial, dan peningkatan pendidikan masyarakat kurang mampu. Meminjam moto Jusuf Kalla, lebih cepat lebih baik.

Dimensi Konvensi

Siapa pun nama tokoh nasional yang disebut publik mempunyai peluang tinggi untuk menjadi presiden pada Pemilihan Umum 2014: apakah itu Megawati Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie, Mahfud MD, Joko Widodo, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, maupun Irman Gusman kemungkinan besar juga mempunyai cerita khusus pada masa kecilnya.

Dalam perspektif budaya politik, momen hidup masa kecil yang spesial itu adalah sumber legitimasi politik yang kuat apabila dikapitalisasi secara tepat. Ia ibarat magnet yang dapat menyedot alam bawah sadar publik, yang pada umumnya masih dibelenggu mitos, manakala kontestasi politik sedang berlangsung. Ia ibarat benang-benang halus yang mengikat preferensi dan pilihan politik masyarakat pada seorang tokoh.

Untuk menjaring figur semacam itu, konvensi memang menjadi ajang paling mudah dan rasional. Siapa pun figur yang mumpuni menurut takaran kredibilitas, akseptabilitas, dan kredibilitas, ia layak memasuki arena pertempuran terbuka tersebut. Tokoh yang paling kuat, ia akan seperti Jaka Tingkir, diangkat menjadi putra mahkota setelah menundukkan Kebo Danu, seekor kerbau gila yang kuat dan kecepatan geraknya seperti anak panah (danu).

Dengan demikian, secara simbolik bisa dikatakan bahwa Kerbau Danu adalah analogi dari konvensi yang akan diusung Partai Demokrat dan mungkin partai lain. Sedangkan seperti Jaka Tingkir, pemenang konvensi adalah kandidat presidennya.
Langkah Partai Demokrat membuka konvensi guna menentukan tokoh yang akan mereka usung dalam Pemilu 2014 menandakan bahwa partai ini mengalami krisis tokoh. Mereka tidak mempunyai tokoh yang bisa mereka jual kepada publik. Dengan melakukan konvensi, Demokrat berharap akan menemukan figur yang mampu menarik benang-benang halus preferensi politik yang terajut di alam bawah sadar masyarakat seperti Mahfud MD, Gita Wiryawan, Dahlan Iskan, dan Irman Gusman.

Selain itu, konvensi juga merupakan tanah gembur bagi Partai Demokrat untuk membuka sodetan politik yang disebabkan oleh konflik internal selama ini. Setiap aliran sungai budaya politik yang ada di tubuh partai, apakah itu kubu Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, maupun Cikeas, masing-masing mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan tokoh. Kompetisi terbuka tersebut secara hipotesis akan menyatukan seluruh aliran yang selama ini tersumbat. Mereka dengan padu akan mendukung penuh pemenang konvensi untuk bertempur pada pemilihan presiden nanti.

Bagi Partai Demokrat, konvensi adalah cara instan untuk menaikkan pamor politik apabila ia berkehendak tetap memainkan peran politiknya pada Pemilu 2014. Kasus korupsi yang melibatkan beberapa petinggi partai, kegaduhan karena pernyataan kader yang bertentangan, dan kinerja pemerintah yang kurang progresif meskipun ada catatan perbaikan di beberapa bidang, telah menurunkan bendera Demokrat ke posisi setengah tiang. Tanpa konvensi, partai ini benar-benar akan terpuruk.

Konvensi juga menjadi arena terbuka bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk mendapatkan figur yang menjamin dilanjutkannya strategi pembangunan yang sudah dia letakkan selama dua periode pemerintahannya. Siapa pun yang berkuasa tentu memimpikan kesinambungan ini meskipun sering kali hanya demi sebuah cerita kebanggaan pribadi.

Terakhir, siapa pun yang berkuasa tentu ingin menjalani hidup tenang setelah era kekuasaannya berakhir. Tak terkecuali Presiden Yudhoyono yang kini juga menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Konvensi adalah pergumulan untuk menemukan figur yang dapat menjadi sandaran untuk mendapatkan rasa aman tersebut.

Namun, konvensi itu akan menjadi malapetaka apabila dilaksanakan dengan kepura-puraan. Ia akan seperti Kerbau Danu yang marah tak terkendali, menerjang, dan merusak permukiman penduduk, dan menggemparkan Kerajaan Demak ketika itu.
Dengan bahasa lain, hasil konvensi akan kontraproduktif apabila agendanya sebatas menaikkan pamor partai dan memanipulasi pilihan publik demi memunculkan figur yang menjadi preferensi pribadi Yudhoyono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar