Gubernur
Sumatera Selatan Alex Noerdin, misalnya, ketika baru lahir ditengok Bung
Karno di rumah sakit. Seakan-akan itu sebuah isyarat bahwa dia akan jadi
pemimpin kalau sudah dewasa nanti. Contoh lain adalah Jero Wacik. Tujuh
saudaranya sakit dan meninggal ketika masih kecil. Dia bisa bertahan
hidup dan harus tinggal dan tumbuh besar di pura. Kini ia menjadi Menteri
Energi dan Sumber Daya Mineral.
Dengan
kisah seperti itu, saya berharap Jero Wacik miskin rasa khawatir. Ia akan
berani membelah kebekuan politik dan melakukan lobi intensif kepada
Presiden agar segera menaikkan harga bahan bakar minyak, perpanjangan
kontrak Blok Mahakam, dan lain-lain. Semua itu demi percepatan
pembangunan infrastruktur, perluasan jaminan sosial, dan peningkatan
pendidikan masyarakat kurang mampu. Meminjam moto Jusuf Kalla, lebih
cepat lebih baik.
Dimensi Konvensi
Siapa
pun nama tokoh nasional yang disebut publik mempunyai peluang tinggi
untuk menjadi presiden pada Pemilihan Umum 2014: apakah itu Megawati
Soekarnoputri, Prabowo Subianto, Wiranto, Jusuf Kalla, Aburizal Bakrie,
Mahfud MD, Joko Widodo, Dahlan Iskan, Gita Wiryawan, maupun Irman Gusman
kemungkinan besar juga mempunyai cerita khusus pada masa kecilnya.
Dalam
perspektif budaya politik, momen hidup masa kecil yang spesial itu adalah
sumber legitimasi politik yang kuat apabila dikapitalisasi secara tepat.
Ia ibarat magnet yang dapat menyedot alam bawah sadar publik, yang pada
umumnya masih dibelenggu mitos, manakala kontestasi politik sedang
berlangsung. Ia ibarat benang-benang halus yang mengikat preferensi dan
pilihan politik masyarakat pada seorang tokoh.
Untuk
menjaring figur semacam itu, konvensi memang menjadi ajang paling mudah
dan rasional. Siapa pun figur yang mumpuni menurut takaran kredibilitas,
akseptabilitas, dan kredibilitas, ia layak memasuki arena pertempuran
terbuka tersebut. Tokoh yang paling kuat, ia akan seperti Jaka Tingkir,
diangkat menjadi putra mahkota setelah menundukkan Kebo Danu, seekor
kerbau gila yang kuat dan kecepatan geraknya seperti anak panah (danu).
Dengan
demikian, secara simbolik bisa dikatakan bahwa Kerbau Danu adalah analogi
dari konvensi yang akan diusung Partai Demokrat dan mungkin partai lain.
Sedangkan seperti Jaka Tingkir, pemenang konvensi adalah kandidat
presidennya.
Langkah
Partai Demokrat membuka konvensi guna menentukan tokoh yang akan mereka
usung dalam Pemilu 2014 menandakan bahwa partai ini mengalami krisis
tokoh. Mereka tidak mempunyai tokoh yang bisa mereka jual kepada publik.
Dengan melakukan konvensi, Demokrat berharap akan menemukan figur yang
mampu menarik benang-benang halus preferensi politik yang terajut di alam
bawah sadar masyarakat seperti Mahfud MD, Gita Wiryawan, Dahlan Iskan,
dan Irman Gusman.
Selain
itu, konvensi juga merupakan tanah gembur bagi Partai Demokrat untuk
membuka sodetan politik yang disebabkan oleh konflik internal selama ini.
Setiap aliran sungai budaya politik yang ada di tubuh partai, apakah itu
kubu Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, maupun Cikeas, masing-masing
mempunyai kesempatan yang sama untuk mengajukan tokoh. Kompetisi terbuka
tersebut secara hipotesis akan menyatukan seluruh aliran yang selama ini
tersumbat. Mereka dengan padu akan mendukung penuh pemenang konvensi
untuk bertempur pada pemilihan presiden nanti.
Bagi
Partai Demokrat, konvensi adalah cara instan untuk menaikkan pamor
politik apabila ia berkehendak tetap memainkan peran politiknya pada
Pemilu 2014. Kasus korupsi yang melibatkan beberapa petinggi partai,
kegaduhan karena pernyataan kader yang bertentangan, dan kinerja
pemerintah yang kurang progresif meskipun ada catatan perbaikan di
beberapa bidang, telah menurunkan bendera Demokrat ke posisi setengah
tiang. Tanpa konvensi, partai ini benar-benar akan terpuruk.
Konvensi
juga menjadi arena terbuka bagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono untuk
mendapatkan figur yang menjamin dilanjutkannya strategi pembangunan yang
sudah dia letakkan selama dua periode pemerintahannya. Siapa pun yang
berkuasa tentu memimpikan kesinambungan ini meskipun sering kali hanya
demi sebuah cerita kebanggaan pribadi.
Terakhir,
siapa pun yang berkuasa tentu ingin menjalani hidup tenang setelah era
kekuasaannya berakhir. Tak terkecuali Presiden Yudhoyono yang kini juga
menjabat sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Konvensi adalah pergumulan
untuk menemukan figur yang dapat menjadi sandaran untuk mendapatkan rasa
aman tersebut.
Namun,
konvensi itu akan menjadi malapetaka apabila dilaksanakan dengan
kepura-puraan. Ia akan seperti Kerbau Danu yang marah tak terkendali,
menerjang, dan merusak permukiman penduduk, dan menggemparkan Kerajaan
Demak ketika itu.
Dengan
bahasa lain, hasil konvensi akan kontraproduktif apabila agendanya
sebatas menaikkan pamor partai dan memanipulasi pilihan publik demi
memunculkan figur yang menjadi preferensi pribadi Yudhoyono. ● |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar