Masa
pendaftaran calon anggota legislatif yang dibuka sejak 9 April 2013 dan
ditutup pada 22 April 2013 berpotensi menjadi ajang pencalonan para
koruptor masa depan. Betapa tidak, beberapa partai politik
"memajang" muka lama yang diduga bermasalah hukum, terutama
korupsi, dalam jajaran calon anggota legislatif. Bahkan sejumlah
legislator yang kerap dikaitkan dengan berbagai kasus dugaan korupsi
kembali dicalonkan dalam Pemilu 2014 (Koran
Tempo, 15/4).
Di
tengah sulitnya partai politik menghadirkan calon alternatif, momentum
pencalegan ini berpotensi untuk dibajak oleh elite yang memiliki kekuatan
modal yang kuat. Kekuatan pembaru dari kalangan internal yang menghendaki
perubahan di dalam partai politik sendiri juga tidak bisa berbuat banyak,
karena sangat bergantung pada struktur kepengurusan yang mendominasi
dalam setiap pengambilan keputusan. Proses pencalonan ini patut terus
dikawal oleh publik guna menjegal para politikus busuk yang menggunakan
mesin politik untuk kepentingan koruptif. Salah satunya dengan cara
memperkuat pengetahuan publik akan rekam jejak calon tersebut.
Jika
merujuk pada Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilihan Umum
Anggota DPR, DPD, dan DPRD, Pasal 51 hanya merumuskan persyaratan umum.
Misalnya, hanya terkait dengan usia calon, kecakapan berbicara, menulis
dan membaca, berpendidikan minimal sekolah menengah atas, dan seterusnya.
Undang-undang sama sekali tidak menyebutkan persyaratan spesifik yang
ditujukan untuk mendukung pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya di
lembaga legislatif.
Padahal
pelaksanaan tugas di lembaga legislatif membutuhkan spesifikasi keilmuan
dan pemahaman tentang tugas-tugas legislasi, setidaknya dalam ranah
pembuatan dan perumusan undang-undang (legislation), penganggaran (budgeting), dan pengawasan. Jika merujuk pada hal tersebut,
persyaratan yang diatur dalam undang-undang sangat jelas tidak memenuhi
kualifikasi seorang anggota legislatif.
Di
sisi yang lain, hal yang berhubungan dengan integritas calon anggota
legislatif tidak dicantumkan sebagai syarat utama. Dalam undang-undang,
persyaratan hanya memuat tiga hal umum yang berhubungan dengan (i)
ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa; (ii) setia kepada Pancasila sebagai
dasar negara, UUD 1945, dan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945; dan
(iii) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Persyaratan
ini jelas tidak memberikan kepastian mengenai ukuran apa yang digunakan
untuk menilai sejauh apa seorang calon memenuhi kriteria tersebut,
kecuali terhadap prasyarat soal penjatuhan pidana. Undang-undang
menyerahkan penafsiran sepenuhnya kepada partai politik dan penyelenggara
pemilu untuk menafsirkan persyaratan tersebut. Maka perdebatan yang
muncul kemudian adalah, apakah partai politik dan penyelenggara pemilu
memiliki kapasitas untuk menilai misalnya soal tingkat ketakwaan
seseorang?
Maka
hampir bisa dipastikan bahwa semua persyaratan calon anggota legislatif
yang dimandatkan dalam undang-undang hanya memuat standar minimalis
personal yang sama sekali tidak menjamin soal kapasitas intelektual dan
integritas untuk menjalankan fungsi-fungsi di lembaga legislatif. Maka
apa yang bisa diharapkan terhadap para calon legislator ketika mereka
terpilih dan menduduki jabatan sebagai wakil rakyat?
Calon
Koruptor
Rendahnya
standar atau persyaratan untuk menjadi anggota legislatif seakan
menyiratkan kondisi lembaga legislatif saat ini. Bobroknya kinerja dan
moral anggota legislatif seakan berbanding lurus dengan kapasitas
intelektual dan moral anggotanya. Untuk itu, perlu dilakukan
langkah-langkah strategis untuk mendorong, agar para calon anggota
legislatif betul-betul dipilih dan ditetapkan berdasarkan kapasitas dan
kapabilitasnya. Maka partai politik sebagai sarana rekrutmen politik
warga memiliki peran yang sangat besar untuk menghasilkan calon anggota
legislatif yang mumpuni tersebut.
Partai
politik sudah semestinya membuka ruang bagi publik untuk bisa menilai
bakal calon anggota legislatif sebelum ditetapkan sebagai calon anggota
legislatif. Mekanisme ini harus disusun untuk membuktikan bahwa partai
politik telah terbuka dalam melakukan seleksi. Di lain pihak, partai
politik juga harus menetapkan standar yang ketat, baik dari sisi
kemampuan intelektual yang terkait dengan tugas-tugas legislasi maupun
yang berkaitan dengan standar moral. Selama ini calon anggota legislatif
yang tidak memahami tugasnya di kemudian hari akan berimbas pada
rendahnya kinerja mereka di lembaga legislatif.
Rekam
jejak (track record) calon juga
patut ditelusuri untuk melihat apakah calon anggota legislatif memiliki
pengalaman yang berhubungan dengan tugas-tugas kemasyarakatan atau tidak.
Karena pada prinsipnya akan sangat tidak mungkin seseorang yang tidak
memiliki pengalaman berinteraksi secara intens dengan masyarakat, akan
menempati jabatan sebagai representasi publik.
Terakhir, partai politik harus membuat komitmen di awal proses
pencalonan ini dengan para calon anggota legislatif. Komitmen tersebut
berkaitan dengan standar etika dan moral apabila yang bersangkutan
dijadikan tersangka atas sebuah tidak pidana, terutama korupsi. Penetapan
status tersangka harus diikuti dengan pemberhentian tetap yang
bersangkutan dari partai politik. Maka dengan sendirinya jabatan anggota
legislatif yang diemban harus ditinggalkan. Selama ini standar moral dan
etika partai politik menjadi sangat rendah, terutama ketika berhadapan
dengan kasus korupsi. Maka partai mesti membenahi semua hal di atas agar
daftar calon anggota legislatif yang disodorkan ke hadapan publik
bukanlah daftar calon koruptor. Semoga! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar