Selasa, 23 April 2013

Islamisasi Pemikiran Pembangunan


Islamisasi Pemikiran Pembangunan
Muhammad Syukri Salleh ; Direktur Pusat Kajian Manajemen Pembangunan Islam (ISDEV) Universitas Sains Malaysia (USM), Malaysia
KORAN SINDO, 23 April 2013



Pemikiran pembangunan, seperti juga pemikiran dalam bidang-bidang lain, merupakan satu ilmu. Diskusi tentang Islamisasi pemikiran tidak bisa lepas dari diskusi tentang Islamisasi ilmu itu sendiri. 

Islamisasi ilmu adalah akarnya, sementara pemikiran pengembangan adalah buahnya. Atas alasan itulah maka dalam tulisan ini Islamisasi ilmu dibahas terlebih dahulu sebelum pemikiran pembangunan dibahas. Tulisan ini sebenarnya hanya mencoba mencari jawaban untuk dua pertanyaan. 

Pertama, apakah yang dimaksudkan dengan Islamisasi Ilmu itu, dan kedua, apakah bisa pemikiran pembangunan di-Islamisasikan. Persoalan pertama bertujuan membentuk kerangka analisis untuk menganalisis persoalan kedua. Dengan mengetahui maksud Islamisasi Ilmu, maka posisi pemikiran pembangunan, apakah bisa di- Islamisasi-kan atau tidak, diharapkan akan terjawab, Insya Allah. 

Islamisasi Ilmu 

Islamisasi dapat diartikan sebagai transformasi pandangan alam (worldview) dari yang tidak benar (crooked) atau dari jahil kepada yang Islami (Danjuma A Maiwada, ny: 275). Dalam sejarah hidup manusia, transformasi seperti ini terjadi berkali-kali melalui kedatangan nabi-nabi dan rasul-rasul secara bergiliran. Di Nusantara misalnya, transformasi pandangan alam ini diusahakan oleh para dai dengan mengubah pandangan alam Buddhist dan Hindu pada pandangan alam Islami. 

Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (1969), sarjana pertama yang menggunakan istilah Islamisasi ini menggambarkan bagaimana Islamisasi di Nusantara ini terjadi melalui persejarahan dan dampak budaya Islam pada dunia Melayu. Proses Islamisasi ini merevolusikan visi realitas dan eksistensi kepada pandangan hidup Islam yang unggul. 

Lebih kurang sepuluh tahun setelah itu, Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (1978:41) mendefinisikan Islamisasi sebagai pembebasan (liberasi) manusia. Dalam bidang pendidikan, Islamisasi ilmu ini didefinisikan sebagai memasukkan disiplin ilmu ke dalam kurikulum, menyediakan perspektif Islam terhadap isu-isu dalam silabus, dan menempatkan di mana perlu disiplin sekuler ke dalam pandangan alam Islam (Suleman Dangor, 2005:519). 

Usaha begini telah dilakukan sejak awal 1980-an oleh para sarjana muslim yang bekerja di Amerika Serikat. Hal paling serius melakukannya adalah para sarjana yang berpayung di bawah International Institute of Islamic Thought (IIIT). IIIT ini didi-rikan pada 1981 berbasis di Herndon, Virginia, kini memiliki cabang di seluruh dunia. Tujuannya untuk menghidupkan kembali dan mempromosikan pemikiran dan ilmu Islam. 

Solusi untuk permasalahan ini, menurut IIIT, dengan mereformasi diri dan mengubah jiwa muslim itu sendiri. IIIT berusaha melakukan hal ini melalui proyek Islamisasi ilmu dengan merancang satu reformulasi pemikiran Islam. Reformulasi pemikiran Islam ini dimulai dengan kepercayaan dan kemanusiaan Islam, global, dan prinsip peradaban berbasis Tauhid (‘Abdulhamid A. Abusulayman, 2007:14-15). 

Untuk merealisasikan rencana ini, maka diusulkan reformasi dalam tiga hal berikut. Pertama, memperbaiki hubungan antara wahyu (divine revelation) dan alasan (reason). Kedua, mendefinisikan kembali arti ilmu agar tidak terjadi ambiguitas tentang sesuatu konsep. Ketiga, mengorganisasi dan mengorientasi kembali metode pendidikan dan instruksi Islam untuk menghapus dualisme yang keliru yang membagi ilmu kepada kategori intelektual, sosial, religius, dan hukum (`Abdulhamid A. Abu Sulayman 1985:269). 

Proyek Islamisasi ilmu ini telah diterjemahkan secara praktis di Universitas Islam Internasional Malaysia (UIAM), terutama ketika mantan Presiden IIIT Abdulhamid A Abu Sulayman menjadi rektor di universitas tersebut pada tahun 1989 hingga 1999. Sebenarnya ada beberapa sarjana yang berpikiran bahwa ilmu adalah netral, hanya penyampai ilmu saja yang perlu di-Islam-kan (Bashir S Galadanci ny: 272). 

Sebagaimana ditanggapi oleh Fazlur Rahman (1988:4), ilmu itu tidak salah. Yang salah adalah dunia modern yang menyalahgunakan ilmu. Bahkan, katanya, ilmu sihir yang dikondem oleh Alquran pun adalah juga ilmu, meskipun praktik dan penggunaannya adalah buruk dan dilarang (Fazlur Rahman 1988:5, 10). Ilmu-ilmu yang jelas dilarang Islam, misalnya korupsi, pelacuran, sihir, judi, arak, dan lain-lain sejenisnya tidak dapat di-Islamisasi-kan (Anonymous, NDB: 18). 

Menurut Taha Jabir al-Alwani (1994:10), ada tiga hal yang harus jelas dalam meng-Islamisasi ilmu. Pertama, sumber ilmu perlu dari sumber Islami, yakni dari wahyu (Alquran dan Sunnah) dan dari alam. Kedua, metode untuk mendapatkan ilmu harus metode Islami. Ketiga, hasil yang dicapai harus konsisten dengan sifat alami manusia, hukum alam universal, prinsip dan perintah ajaran Islami, dan nilai moral dan estetika Islami. 

Islamisasi Pemikiran Pembangunan 

Untuk Islamisasi pemikiran pembangunan, diskusi di atas menghasilkan dua kesimpulan utama. Pertama, berkaitan dengan sifat Islamisasi pemikiran pembangunan, dan kedua, terkait dengan pemikiran pembangunan yang hendak di-Islamisasi-kan tersebut. Dalam hal pertama, disimpulkan bahwa Islamisasi pemikiran pembangunan harus melibatkan transformasi pandangan alam dari pandangan alam tidak Islami kepada pandangan alam yang Islami sepenuhnya. 

Islamisasi pemikiran pembangunan seperti ini tidak dapat dilakukan seperti apa yang dilakukan sarjana ekonomi Islam mainstream yang memakai pendekatan akomodatif-modifikasi dan eklektisme-metodologik. Dalam pendekatan ini, para sarjana ekonomi Islam mainstream meng-akomodasikan hal-hal tertentu dari ekonomi konvensional, memodifikasikannya, dan menyebutnya sebagai ekonomi Islam. 

Bagi mereka tidak mengapa hal seperti ini dilakukan selama tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam. Namun, saya berbeda pendapat dengan pandangan tersebut. Apa yang dikatakan tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam itu hanya dilihat pada tingkat operasional. Pada tingkat epistemologi dan pandangan alam, pertentangan itu tidak diteliti dengan sewajarnya. 

Mekanisme pembangunan di tingkat operasional mungkin tampak tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, tetapi ketika di lihat di tingkat epistemologi dan pandangan alam, itu adalah sebaliknya. Epistemologi pemikiran pembangunan lazim adalah dari akal, sementara pandangan alamnya berfokus kepada keduniaan. Islamisasi pemikiran pembangunan harus melibatkan kedua tingkat, tingkat operasional dan tingkat pandangan alam agar terjadi transformasi total dari pandangan alam yang non-Islami kepada pandangan alam yang Islami. 

Jika tingkat ini diperhitungkan, tidak ada lagi persoalan adanya unsur pembangunan lazim yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah. Begitulah yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebagaimana dinyatakan oleh Mohd Shukri Hanapi (2012), ketika Rasulullah SAW mengadopsi praktik dari jahiliyyah, Baginda mentransformasikan pandangan alamnya hingga praktik tersebut menjadi Islami, bukan mencampuradukkan antara unsur jahiliyyah dengan unsur Islami. 

Kedua, bidang ilmu yang akan di-Islamisasi-kan itu harus bidang ilmu yang tidak dilarang Islam. Dalam kasus ini, pemikiran pembangunan dapat di-Islamisasi-kan karena pembangunan merupakan bidang ilmu yang tidak termasuk dalam bidang ilmu yang dilarang. Bahkan sebaliknya, bidang ilmu pembangunan adalah merupakan bidang ilmu fardhu kifayah yang harus dimiliki orang-orang Islam. 

Islamisasi pemikiran pembangunan tersebut tidak mungkin sempurna kecuali dengan memulai dari cetakan dan epistemologi Islam sendiri bersumberkan wahyu dan sunnah Rasulullah SAW, serta bersifat mencari keridaan Allah SWT (mardhatillah) agar dengan itu akan tercapailah kebahagiaan di dunia dan di akhirat (al-Falah). Islamisasi pemikiran pembangunan ini tidak dapat diakomodasi dan dimodifikasi dari pemikiran pembangunan konvensional lalu dinamakan pembangunan berbasis Islam, seperti yang dilakukan sarjana ekonomi Islam selama ini. 

Islamisasi pemikiran pembangunan harus membangun pembangunan sentris Islam dari acuannya sendiri, bukan dari acuan pengembangan konvensional. Pemikiran pembangunan sentris Islam itu harus lahir sebagai satu pemikiran pembangunan baru, bukan pemikiran pembangunan yang lahir dari pemikiran pembangunan konvensional yang cemar dan salah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar