Pemikiran
pembangunan, seperti juga pemikiran dalam bidang-bidang lain, merupakan
satu ilmu. Diskusi tentang Islamisasi pemikiran tidak bisa lepas dari
diskusi tentang Islamisasi ilmu itu sendiri.
Islamisasi ilmu adalah akarnya, sementara pemikiran pengembangan adalah
buahnya. Atas alasan itulah maka dalam tulisan ini Islamisasi ilmu
dibahas terlebih dahulu sebelum pemikiran pembangunan dibahas. Tulisan
ini sebenarnya hanya mencoba mencari jawaban untuk dua pertanyaan.
Pertama, apakah yang dimaksudkan dengan Islamisasi Ilmu itu, dan kedua,
apakah bisa pemikiran pembangunan di-Islamisasikan. Persoalan pertama
bertujuan membentuk kerangka analisis untuk menganalisis persoalan kedua.
Dengan mengetahui maksud Islamisasi Ilmu, maka posisi pemikiran pembangunan,
apakah bisa di- Islamisasi-kan atau tidak, diharapkan akan terjawab,
Insya Allah.
Islamisasi Ilmu
Islamisasi dapat diartikan sebagai transformasi pandangan alam (worldview) dari yang tidak benar (crooked) atau dari jahil kepada
yang Islami (Danjuma A Maiwada, ny:
275). Dalam sejarah hidup manusia, transformasi seperti ini terjadi
berkali-kali melalui kedatangan nabi-nabi dan rasul-rasul secara
bergiliran. Di Nusantara misalnya, transformasi pandangan alam ini
diusahakan oleh para dai dengan mengubah pandangan alam Buddhist dan
Hindu pada pandangan alam Islami.
Syed Muhammad al-Naquib al-Attas (1969), sarjana pertama yang menggunakan
istilah Islamisasi ini menggambarkan bagaimana Islamisasi di Nusantara
ini terjadi melalui persejarahan dan dampak budaya Islam pada dunia
Melayu. Proses Islamisasi ini merevolusikan visi realitas dan eksistensi
kepada pandangan hidup Islam yang unggul.
Lebih kurang sepuluh tahun setelah itu, Syed Muhammad al-Naquib al-Attas
(1978:41) mendefinisikan Islamisasi sebagai pembebasan (liberasi)
manusia. Dalam bidang pendidikan, Islamisasi ilmu ini didefinisikan
sebagai memasukkan disiplin ilmu ke dalam kurikulum, menyediakan
perspektif Islam terhadap isu-isu dalam silabus, dan menempatkan di mana
perlu disiplin sekuler ke dalam pandangan alam Islam (Suleman Dangor, 2005:519).
Usaha begini telah dilakukan sejak awal 1980-an oleh para sarjana muslim
yang bekerja di Amerika Serikat. Hal paling serius melakukannya adalah
para sarjana yang berpayung di bawah International
Institute of Islamic Thought (IIIT). IIIT ini didi-rikan pada 1981
berbasis di Herndon, Virginia, kini memiliki cabang di seluruh dunia.
Tujuannya untuk menghidupkan kembali dan mempromosikan pemikiran dan ilmu
Islam.
Solusi untuk permasalahan ini, menurut IIIT, dengan mereformasi diri dan
mengubah jiwa muslim itu sendiri. IIIT berusaha melakukan hal ini melalui
proyek Islamisasi ilmu dengan merancang satu reformulasi pemikiran Islam.
Reformulasi pemikiran Islam ini dimulai dengan kepercayaan dan kemanusiaan
Islam, global, dan prinsip peradaban berbasis Tauhid (‘Abdulhamid A. Abusulayman, 2007:14-15).
Untuk merealisasikan rencana ini, maka diusulkan reformasi dalam tiga hal
berikut. Pertama, memperbaiki hubungan antara wahyu (divine revelation) dan alasan (reason). Kedua, mendefinisikan
kembali arti ilmu agar tidak terjadi ambiguitas tentang sesuatu konsep.
Ketiga, mengorganisasi dan mengorientasi kembali metode pendidikan dan
instruksi Islam untuk menghapus dualisme yang keliru yang membagi ilmu
kepada kategori intelektual, sosial, religius, dan hukum (`Abdulhamid A. Abu Sulayman 1985:269).
Proyek Islamisasi ilmu ini telah diterjemahkan secara praktis di
Universitas Islam Internasional Malaysia (UIAM), terutama ketika mantan
Presiden IIIT Abdulhamid A Abu Sulayman menjadi rektor di universitas
tersebut pada tahun 1989 hingga 1999. Sebenarnya ada beberapa sarjana
yang berpikiran bahwa ilmu adalah netral, hanya penyampai ilmu saja yang
perlu di-Islam-kan (Bashir S
Galadanci ny: 272).
Sebagaimana ditanggapi oleh Fazlur Rahman (1988:4), ilmu itu tidak salah.
Yang salah adalah dunia modern yang menyalahgunakan ilmu. Bahkan,
katanya, ilmu sihir yang dikondem oleh Alquran pun adalah juga ilmu,
meskipun praktik dan penggunaannya adalah buruk dan dilarang (Fazlur Rahman 1988:5, 10).
Ilmu-ilmu yang jelas dilarang Islam, misalnya korupsi, pelacuran, sihir,
judi, arak, dan lain-lain sejenisnya tidak dapat di-Islamisasi-kan (Anonymous, NDB: 18).
Menurut Taha Jabir al-Alwani (1994:10), ada tiga hal yang harus jelas dalam
meng-Islamisasi ilmu. Pertama, sumber ilmu perlu dari sumber Islami,
yakni dari wahyu (Alquran dan Sunnah) dan dari alam. Kedua, metode untuk
mendapatkan ilmu harus metode Islami. Ketiga, hasil yang dicapai harus
konsisten dengan sifat alami manusia, hukum alam universal, prinsip dan
perintah ajaran Islami, dan nilai moral dan estetika Islami.
Islamisasi
Pemikiran Pembangunan
Untuk Islamisasi pemikiran pembangunan, diskusi di atas menghasilkan dua
kesimpulan utama. Pertama, berkaitan dengan sifat Islamisasi pemikiran
pembangunan, dan kedua, terkait dengan pemikiran pembangunan yang hendak
di-Islamisasi-kan tersebut. Dalam hal pertama, disimpulkan bahwa
Islamisasi pemikiran pembangunan harus melibatkan transformasi pandangan
alam dari pandangan alam tidak Islami kepada pandangan alam yang Islami
sepenuhnya.
Islamisasi pemikiran pembangunan seperti ini tidak dapat dilakukan
seperti apa yang dilakukan sarjana ekonomi Islam mainstream yang memakai
pendekatan akomodatif-modifikasi dan eklektisme-metodologik. Dalam
pendekatan ini, para sarjana ekonomi Islam mainstream meng-akomodasikan
hal-hal tertentu dari ekonomi konvensional, memodifikasikannya, dan
menyebutnya sebagai ekonomi Islam.
Bagi mereka tidak mengapa hal seperti ini dilakukan selama tidak bertentangan
dengan aqidah dan syariah Islam. Namun, saya berbeda pendapat dengan
pandangan tersebut. Apa yang dikatakan tidak bertentangan dengan aqidah
dan syariah Islam itu hanya dilihat pada tingkat operasional. Pada
tingkat epistemologi dan pandangan alam, pertentangan itu tidak diteliti
dengan sewajarnya.
Mekanisme pembangunan di tingkat operasional mungkin tampak tidak
bertentangan dengan aqidah dan syariah Islam, tetapi ketika di lihat di
tingkat epistemologi dan pandangan alam, itu adalah sebaliknya.
Epistemologi pemikiran pembangunan lazim adalah dari akal, sementara
pandangan alamnya berfokus kepada keduniaan. Islamisasi pemikiran
pembangunan harus melibatkan kedua tingkat, tingkat operasional dan
tingkat pandangan alam agar terjadi transformasi total dari pandangan
alam yang non-Islami kepada pandangan alam yang Islami.
Jika tingkat ini diperhitungkan, tidak ada lagi persoalan adanya unsur
pembangunan lazim yang tidak bertentangan dengan aqidah dan syariah.
Begitulah yang dilakukan Rasulullah SAW. Sebagaimana dinyatakan oleh Mohd
Shukri Hanapi (2012), ketika Rasulullah SAW mengadopsi praktik dari jahiliyyah, Baginda
mentransformasikan pandangan alamnya hingga praktik tersebut menjadi
Islami, bukan mencampuradukkan antara unsur jahiliyyah dengan unsur
Islami.
Kedua, bidang ilmu yang akan di-Islamisasi-kan itu harus bidang ilmu yang
tidak dilarang Islam. Dalam kasus ini, pemikiran pembangunan dapat
di-Islamisasi-kan karena pembangunan merupakan bidang ilmu yang tidak
termasuk dalam bidang ilmu yang dilarang. Bahkan sebaliknya, bidang ilmu
pembangunan adalah merupakan bidang ilmu fardhu kifayah yang harus
dimiliki orang-orang Islam.
Islamisasi pemikiran pembangunan tersebut tidak mungkin sempurna kecuali
dengan memulai dari cetakan dan epistemologi Islam sendiri bersumberkan
wahyu dan sunnah Rasulullah SAW, serta bersifat mencari keridaan Allah
SWT (mardhatillah) agar dengan
itu akan tercapailah kebahagiaan di dunia dan di akhirat (al-Falah). Islamisasi pemikiran
pembangunan ini tidak dapat diakomodasi dan dimodifikasi dari pemikiran
pembangunan konvensional lalu dinamakan pembangunan berbasis Islam,
seperti yang dilakukan sarjana ekonomi Islam selama ini.
Islamisasi pemikiran pembangunan harus membangun pembangunan sentris
Islam dari acuannya sendiri, bukan dari acuan pengembangan konvensional.
Pemikiran pembangunan sentris Islam itu harus lahir sebagai satu
pemikiran pembangunan baru, bukan pemikiran pembangunan yang lahir dari
pemikiran pembangunan konvensional yang cemar dan salah. ● |
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar