Potensi pertambangan emas di hutan jati Kecamatan
Pesanggaran, Kabupaten Banyuwangi, telah memicu dua masalah penting.
Pertama, terjadi perebutan konsesi eksplorasi dan produksi tambang oleh
beberapa perusahaan besar nasional dan internasional. Perebutan di
wilayah hutan Perhutani itu menyeret bupati Banyuwangi sebagai tergugat
di peradilan tata usaha negara.
Kedua, di wilayah yang sama, juga berlangsung penambangan emas tanpa izin
(PETI). Penambang jenis ini sering disebut "penambang liar"
atau, bahkan, "penjarah" karena memang tanpa izin. Pada 2011
Polres Banyuwangi melakukan penertiban besar-besaran. Jumlah penambang
menyusut dari 3.000 menjadi 600 orang. Kini jumlahnya meningkat lagi dan
Polres Banyuwangi dikabarkan akan kembali menertibkannya.
Terlepas dari perebutan bisnis pertambangan oleh industri besar di
pengadilan, kemaslahatan rakyat banyak pada masalah kedua memerlukan
penanganan. Konon, ada banyak potensi pertambangan di Banyuwangi. Pemda
setempat harus mampu mengelola hak-hak rakyat untuk memanfaatkan potensi
sumber daya alam bagi kesejahteraan mereka. Bagaimana pendekatan
kesejahteraan sebaiknya ditempuh?
Faktor ekonomi, seperti kemiskinan, sering mendorong masyarakat untuk
menggali bahan tambang demi menafkahi hidupnya meski tanpa izin. Pada
umumnya PETI dilakukan dalam skala kecil (small-scale mining), karena itu
dikategorikan sebagai pertambangan rakyat. Pertambangan ini memiliki
karakteristik lain: dukungan modal yang kecil, bersifat padat karya,
berteknologi sederhana, mengabaikan standar keselamatan dan kesehatan,
serta membawa dampak lingkungan.
Pertambangan rakyat sering tidak ditangani secara baik, misalnya, karena
lemahnya kemampuan aparat pemerintah lokal tentang praktik penambangan
yang benar (good
mining practices). Kondisi ini diperparah oleh hubungan yang
tidak harmonis antara penambang tradisional dan perusahaan besar berizin
atau oleh kecenderungan pemerintah menerapkan kebijakan represif untuk
mengusir penambang.
Sebetulnya PETI membuka lapangan kerja dan mendorong perekonomian lokal.
Namun, dampak negatifnya juga perlu ditangani. Ada beberapa dampak
penting. Pertama, dampak ekonomi makro karena berkurangnya pendapatan
daerah atau negara. Sebaliknya, penambang berizin dibebani berbagai
kewajiban finansial, seperti pajak perusahaan dan royalti. Kedua, karena
dilakukan masyarakat berpengetahuan terbatas, PETI berdampak negatif pada
lingkungan. Kegiatannya sering kurang memperhatikan tata laksana
penambangan yang benar, mengabaikan kaidah lingkungan dan keselamatan
kerja, tidak menangani limbah padat dan cair, serta merusak sumber air
bawah tanah. Ketiga, potensial terjadi masalah umum keamanan dan
ketertiban masyarakat (kamtibmas).
Melegalisasi
Penambang "Liar"
Pengusiran atau penutupan paksa PETI tanpa disertai kebijakan untuk
mengatasi masalah yang kompleks itu tidak akan berhasil mengurangi PETI.
Penertibannya oleh kepolisian sering menghadapi perlawanan masyarakat,
bahkan memicu kerusuhan sosial yang cukup luas.
Praktik internasional tidak merekomendasikan untuk memberantasnya secara
total, melainkan menerapkan pendekatan kesejahteraan dengan menghormati
hak-hak rakyat. Orientasinya adalah mengurangi kemiskinan melalui
pembukaan aktivitas ekonomi, sekaligus mengurangi dampak pada lingkungan
dan melaksanakan konservasi sumber daya alam.
Maka, penanganan penambangan emas tanpa izin disarankan menerapkan
pendekatan teknis pertambangan, ekonomi, dan sosial dengan kerja sama di
antara para pemangku kepentingan. Berdasar UU 32/2004 tentang Pemda dan
PP 38/2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan, pemerintah
kabupaten/kota dapat menangani urusan energi dan sumber daya mineral.
Lebih khusus, UU 4/2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba)
memberikan kewenangan kepada kabupaten/kota untuk mengelola pertambangan
minerba sampai 4 (empat) mil wilayah laut, termasuk mengizinkan
pertambangan rakyat.
Secara teknis, pemda dapat melegalisasi dengan memberi izin pertambangan
rakyat. Melalui izin pertambangan rakyat, penambang yang memenuhi syarat
diberi insentif, misalnya pelatihan dan pembinaan bahkan permodalan. Nah,
penambang yang mengabaikan praktik penambangan yang benar dan ketertiban
publik perlu ditindak tegas.
Kerja sama para pemangku kepentingan melibatkan peran pemerintah pusat
dan daerah, lembaga swadaya masyarakat, lembaga riset dan perguruan
tinggi, serta industri pertambangan berskala besar. Di sini
perusahaan-perusahaan besar pertambangan dituntut untuk menjalin hubungan
yang bersifat kolaboratif dengan pertambangan rakyat, bukan sekadar
berbentuk tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).
Implementasi pendekatan di atas memerlukan instrumen hukum. Apabila
instrumen hukumnya mendukung, arah kebijakan ini akan memperjelas status
penambang, memberikan pemasukan bagi daerah agar dapat dialokasikan untuk
fasilitas kesehatan dan pengelolaan lingkungan, menuntut pemerintah daerah
melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat, serta membantu penyelenggaraan
kamtibmas. Komponen penting kamtibmas bukan hanya upaya represif dalam
sistem peradilan pidana (criminal
justice system), termasuk mengusir penambang tanpa izin,
melainkan mencakup upaya preventif.
Pemda dapat menyusun kebijakan yang berorientasi kesejahteraan rakyat
dalam menangani penambang tanpa izin, yaitu mengembangkan pertambangan
rakyat. Orientasi ini memerlukan perumusan kebijakan yang cukup
komprehensif, termasuk menyiapkan perangkat hukum dan kelembagaan untuk
implementasinya. Peluang otonomi daerah ini seharusnya dimanfaatkan
pemda, sebelum UU Pemda 2004 direvisi oleh DPR dan pemerintah. Kewenangan
atas sektor pertambangan direncanakan ditarik dari kabupaten/kota ke provinsi.
Karena dikategorikan berdampak ekologis dan pengelolaannya dinilai sering
menyimpang, kewenangan itu dicabut; bukan pembinaan, pengawasan, dan
sanksi terhadap kabupaten/kota yang diperkuat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar