"Brunei harus menunjukkan ASEAN
memegang posisi sentral dalam penyelesaian konflik Laut China
Selatan"
Pertemuan
menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association
of South East Asia Nations/ASEAN) akan diadakan beberapa hari menjelang
Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-22 ASEAN di Bandar Seri Begawan Brunei
Darussalam mulai hari ini hingga besok. Sebagai Ketua ASEAN 2013, Brunei
mengusung tema ''Our People, Our
Future Together''.
Tema
itu mencerminkan semangat baru, yaitu mendorong kerja sama ASEAN yang
lebih memberi manfaat bagi masyarakat di Asia Tenggara. Tema ini sangat
strategis mengingat urgensi menuju Komunitas ASEAN 2015. Sebagai ketua,
Brunei memiliki potensi strategis untuk memainkan peran visioner bagi
masa depan pakta itu.
Salah
satu isu terpenting adalah keyakinan dan jaminan bahwa ASEAN mampu
meletakkan landasan yang kokoh menuju komunitas pada 2015. Dua tahun
menjelang pemberlakuan komunitas itu, ASEAN harus menghadapi berbagai
tantangan dan potensi ancaman, baik menyangkut keamanan tradisional
maupun nontradisional.
Persoalan
konflik batas antarnegara, krisis Sabah, etnis Rohingya, hingga
risiko penyebaran virus H7N9 ke Asia Tenggara perlu menjadi
perhatian Brunei sebagai tuan rumah dan ketua. Di antara berbagai isu
itu, sengketa klaim Laut China Selatan diyakini menjadi salah satu agenda
pembicaraan terpenting pada KTT 2013.
Sebagai
salah satu negara anggota ASEAN, peran dan pengaruh Brunei relatif kurang
menonjol. Sejak bergabung, ia cenderung mengambil sikap sebagai follower.
Bahkan terkait sengketa klaim Laut China Selatan (LCS), sebagai salah
satu negara pengklaim, ia justru kurang menunjukkan posisi dan
sikap politik.
Kenyataan
ini sangat berbeda dari Vietnam dan Filipina yang berani bersikap frontal
terhadap provokasi China. Perbedaan sikap tersebut dapat berlanjut
berkaitan dengan kebijakan terakhir China membuka Kepulauan Paracel (Cina
menyebutnya Kepulauan Xisha) sebagai daerah tujuan wisata (7/4/13).
Kemampuan
Brunei mendefinisikan posisi di antara berbagai kekuatan global dan
regional (termasuk ASEAN) akan menentukan perilaku diplomasi sebagai
ketua tahun ini. Kegagalan Kamboja menghasilkan komunike bersama di
antara negara-negara ASEAN (Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam) atas
Laut China Selatan pada Juni 2012 merupakan realitas politik regional
yang tidak ingin diulang oleh Brunei dan negara-negara anggota lain.
Alih-alih
bersikap netral, Kamboja justru cenderung mengambil sikap menguntungkan
posisi China atas perairan tersebut. Pada KTT ke-21 di Pnom Phenh,
Filipina memprotes pidato penutupan Kamboja. Karena itu, sikap Brunei
yang selama ini kurang jelas telah mendorong Amerika Serikat (AS), China,
dan Indonesia, untuk menegaskan posisi Brunei dalam konflik klaim
perairan tersebut.
Sebagaimana
KTT sebelumnya, Brunei akan mengadakan serangkaian pertemuan, dari
tingkat pejabat senior (senior
official meeting/SOM), antarmenteri (ASEAN ministrial meeting/AMM), pertemuan puncak antarkepala
negara/pemerintahan (konferensi tingkat tinggi/KTT atau summit).
Pada
pertemuan puncak itu, Brunei --seperti negara-negara lain yang menjadi
ketua-- akan memperlihatkan kemampuan kerja sama untuk menghasilkan
keputusan atau persetujuan mengenai agenda utama konferensi. Persetujuan
bersama ini biasanya menjadi kerangka dasar kerja sama masa selanjutnya.
Tentu saja Brunei tidak ingin mengulang kegagalan Kamboja sebagai ketua
2012.
Saling Pengertian
Setelah
KTT ke-21 di Pnom Phenh pada 18-19 November lalu, ASEAN tetap menghadapi
persoalan konflik klaim Laut China Selatan. Draf nol (zero draft) mengenai tata perilaku
(code of conduct/COC) telah
diajukan pihak Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar