Kamis, 25 April 2013

Sikap Brunei untuk Laut China


Sikap Brunei untuk Laut China
Ludiro Madu ;  Dosen Jurusan Ilmu Hubungan Internasional
UPN "Veteran" Yogyakarta
SUARA MERDEKA, 24 April 2013


"Brunei harus menunjukkan ASEAN memegang posisi sentral dalam penyelesaian konflik Laut China Selatan"
Pertemuan menteri luar negeri Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (Association of South East Asia Nations/ASEAN) akan diadakan beberapa hari menjelang Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-22 ASEAN di Bandar Seri Begawan Brunei Darussalam mulai hari ini hingga besok. Sebagai Ketua ASEAN 2013, Brunei mengusung tema ''Our People, Our Future Together''. 
Tema itu mencerminkan semangat baru, yaitu mendorong kerja sama ASEAN yang lebih memberi manfaat bagi masyarakat di Asia Tenggara. Tema ini sangat strategis mengingat urgensi menuju Komunitas ASEAN 2015. Sebagai ketua, Brunei memiliki potensi strategis untuk memainkan peran visioner bagi masa depan pakta itu. 
Salah satu isu terpenting adalah keyakinan dan jaminan bahwa ASEAN mampu meletakkan landasan yang kokoh menuju komunitas pada 2015. Dua tahun menjelang pemberlakuan komunitas itu, ASEAN harus menghadapi berbagai tantangan dan potensi ancaman, baik menyangkut keamanan tradisional maupun nontradisional. 
Persoalan konflik batas antarnegara, krisis Sabah, etnis Rohingya, hingga risiko  penyebaran virus H7N9 ke Asia Tenggara perlu menjadi perhatian Brunei sebagai tuan rumah dan ketua. Di antara berbagai isu itu, sengketa klaim Laut China Selatan diyakini menjadi salah satu agenda pembicaraan terpenting pada KTT 2013.
Sebagai salah satu negara anggota ASEAN, peran dan pengaruh Brunei relatif kurang menonjol. Sejak bergabung, ia cenderung mengambil sikap sebagai follower. Bahkan terkait sengketa klaim Laut China Selatan (LCS), sebagai salah satu negara pengklaim, ia  justru kurang menunjukkan posisi dan sikap politik. 
Kenyataan ini sangat berbeda dari Vietnam dan Filipina yang berani bersikap frontal terhadap provokasi China. Perbedaan sikap tersebut dapat berlanjut berkaitan dengan kebijakan terakhir China membuka Kepulauan Paracel (Cina menyebutnya Kepulauan Xisha) sebagai daerah tujuan wisata (7/4/13). 
Kemampuan Brunei mendefinisikan posisi di antara berbagai kekuatan global dan regional (termasuk ASEAN) akan menentukan perilaku diplomasi sebagai ketua tahun ini. Kegagalan Kamboja menghasilkan komunike bersama di antara negara-negara ASEAN (Brunei, Malaysia, Filipina, dan Vietnam) atas Laut China Selatan pada Juni 2012 merupakan realitas politik regional yang tidak ingin diulang oleh Brunei dan negara-negara anggota lain. 
Alih-alih bersikap netral, Kamboja justru cenderung mengambil sikap menguntungkan posisi China atas perairan tersebut. Pada KTT ke-21 di Pnom Phenh, Filipina memprotes pidato penutupan Kamboja. Karena itu, sikap Brunei yang selama ini kurang jelas telah mendorong Amerika Serikat (AS), China, dan Indonesia, untuk menegaskan posisi Brunei dalam konflik klaim perairan tersebut.
Sebagaimana KTT sebelumnya, Brunei akan mengadakan serangkaian pertemuan, dari tingkat pejabat senior (senior official meeting/SOM), antarmenteri (ASEAN ministrial meeting/AMM), pertemuan puncak antarkepala negara/pemerintahan (konferensi tingkat tinggi/KTT atau summit). 
Pada pertemuan puncak itu, Brunei --seperti negara-negara lain yang menjadi ketua-- akan memperlihatkan kemampuan kerja sama untuk menghasilkan keputusan atau persetujuan mengenai agenda utama konferensi. Persetujuan bersama ini biasanya menjadi kerangka dasar kerja sama masa selanjutnya. Tentu saja Brunei tidak ingin mengulang kegagalan Kamboja sebagai ketua 2012.
Saling Pengertian
Setelah KTT ke-21 di Pnom Phenh pada 18-19 November lalu, ASEAN tetap menghadapi persoalan konflik klaim Laut China Selatan. Draf nol (zero draft) mengenai tata perilaku (code of conduct/COC) telah diajukan pihak Indonesia. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar