Pemilik Sky Garden Lounge di Legian Bali
digugat arsitek asal Inggris Rp 27,8 miliar. Desain tempat hang out di kawasan wisata itu
dianggap menggunakan hasil karyanya tanpa izin (detik.com, 20/3/13). Mendengar arsitek asing merencanakan dan
merancang bangunan dan prasarana perkotaan di kota-kota besar Indonesia,
menimbulkan rasa iri.
Berawal hanya di Jakarta, Bali, tapi
faktanya saat ini beberapa bangunan di Semarang dirancang arsitek asing.
Tidak menutup kemungkinan terjadi di kota besar lain di Jateng. Terlebih
Indonesia telah menandatangani kesepakatan untuk mengikuti dan membuka
pasar bebas ASEAN Mutual
Recognition Arrangement pada 2015.
Realitasnya, embrio ke arah itu sudah
berjalan 5 tahun terakhir ini tanpa bisa kita bendung. Keterpurukan
perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat, menyebabkan pemilik modal di
negara itu mengalihkan perhatian ke Asia, dan negara kita salah satu yang
paling diminati untuk menanamkan investasi.
Kiprah arsitek asing di negara kita itu
berkah atau musibah? Berkah bila kita menempatkan secara arif. Perasaan
iri tak perlu terjadi karena pertama; sebenarnya banyak perencanaan dan
perancangan bangunan di kota-kota Indonesia dilakukan oleh arsitek kita.
Arsitek asing hanya mendesain ''sedikit''
bagunan/gedung. Persoalannya, karya arsitek mancanegara itu adalah
bangunan prestisius. Kedua; momentum introspeksi terkait kompetensi
arsitek Indonesia, terutama Jateng, apakah sudah mencukupi untuk
bersaing?
Dianggap musibah, seandainya kita
menempatkan arsitek asing sebagai ancaman.
Sebenarnya keahlian arsitek kita cukup
mumpuni untuk menyongsong kehadiran arsitek asing. Kurikulum pendidikan
pun sudah berstandar internasional, disepakati oleh Asosiasi Pendidikan
Tinggi Arsitektur Indonesia (Aptari). Kompetensi itu ditambah 1 tahun
pendidikan profesi, dikelola institusi/ asosiasi profesi, antara lain
Ikatan Arsitek Indonesia yang menginduk pada Union Internationale des
Architectes (UIA).
Selain itu ada proses magang 2 tahun bagi
calon arsitek, yang semua itu menjadi dasar untuk menyejajarkan dengan
arsitek luar negeri. Ada beberapa penyebab arsitek Nusantara belum banyak
berbicara dalam persaingan internasional. Pemerintah kita masih setengah
hati mendukung. Undang-undang terkait arsitek yang dirintis beberapa
tahun lalu hingga sekarang belum disahkan.
Jepang, Korea, Thailand, Malaysia,
Filipina, dan Singapura mendukung secara nyata profesi arsitek, dan
mewajibkan arsitek bersertifikat, serta dikenai hak dan kewajiban secara
jelas, sah dan terhormat. Keberadaan regulasi itu sebenarnya memberikan
perlindungan kepada konsumen.
Publikasi
Karya
Tak seperti kondisi saat ini di
Indonesia, jumlah arsitek yang tidak bersertifikat keahlian, jauh lebih
banyak ketimbang yang memiliki
bersertifikat. Semuanya dapat
mengerjakan proyek, bahkan tanpa arsitek pun pembangunan bisa terus
berjalan.
Kedua; sikap profesional yang belum
dimiliki sepenuhnya oleh sebagian arsitek kita. Terutama kualitas produk
dalam memberikan jasa, komitmen sebagai profesional dan melakukan cara
persaingan tidak sehat. Ketiga; kurang berani memublikasikan karya,
baik secara regional maupun internasional. Banyak arsitek di daerah
memiliki karya bagus, baik berupa hunian, kawasan, maupun bangunan
komersial. Bahkan mendapat penghargaan berskala nasional atau
internasional, tetapi tidak terpublikasikan, sehingga masyarakat tak
tahu.
Untuk mempertegas keunggulan, arsitek
kita wajib menguasai arsitektur tradisional, yang pasti tak dimiliki
arsitek asing. Minimal menguasai bagaimana nenek moyang kita menyikapi
iklim tropis pada rancang bangun dan memahami keluhuran filosofi, selaras
dengan budaya Nusantara. Menguasai dan memahami arsitektur lokal dapat
menjadi modal untuk bersaing dan bersinergi dengan arsitek asing. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar