Kamis, 25 April 2013

Potensi Keunggulan Arsitek


Potensi Keunggulan Arsitek
Agung Dwiyanto ;  Dosen Arsitektur Fakultas Teknik Undip,
Ketua Ikatan Arsitektur Indonesia (IAI) Jawa Tengah
SUARA MERDEKA, 24 April 2013

  
Pemilik Sky Garden Lounge di Legian Bali digugat arsitek asal Inggris Rp 27,8 miliar. Desain tempat hang out di kawasan wisata itu dianggap menggunakan hasil karyanya tanpa izin (detik.com, 20/3/13). Mendengar arsitek asing merencanakan dan merancang bangunan dan prasarana perkotaan di kota-kota besar Indonesia, menimbulkan rasa iri.

Berawal hanya di Jakarta, Bali, tapi faktanya saat ini beberapa bangunan di Semarang dirancang arsitek asing. Tidak menutup kemungkinan terjadi di kota besar lain di Jateng. Terlebih Indonesia telah menandatangani kesepakatan untuk mengikuti dan membuka pasar bebas ASEAN Mutual Recognition Arrangement pada 2015.

Realitasnya, embrio ke arah itu sudah berjalan 5 tahun terakhir ini tanpa bisa kita bendung. Keterpurukan perekonomian di Eropa dan Amerika Serikat, menyebabkan pemilik modal di negara itu mengalihkan perhatian ke Asia, dan negara kita salah satu yang paling diminati untuk menanamkan investasi.

Kiprah arsitek asing di negara kita itu berkah atau musibah? Berkah bila kita menempatkan secara arif. Perasaan iri tak perlu terjadi karena pertama; sebenarnya banyak perencanaan dan perancangan bangunan di kota-kota Indonesia dilakukan oleh arsitek kita.

Arsitek asing hanya mendesain ''sedikit'' bagunan/gedung. Persoalannya, karya arsitek mancanegara itu adalah bangunan prestisius. Kedua; momentum introspeksi terkait kompetensi arsitek Indonesia, terutama Jateng, apakah sudah mencukupi untuk bersaing?

Dianggap musibah, seandainya kita menempatkan arsitek asing sebagai ancaman.
Sebenarnya keahlian arsitek kita cukup mumpuni untuk menyongsong kehadiran arsitek asing. Kurikulum pendidikan pun sudah berstandar internasional, disepakati oleh Asosiasi Pendidikan Tinggi Arsitektur Indonesia (Aptari). Kompetensi itu ditambah 1 tahun pendidikan profesi, dikelola institusi/ asosiasi profesi, antara lain Ikatan Arsitek Indonesia yang menginduk pada Union Internationale des Architectes (UIA).

Selain itu ada proses magang 2 tahun bagi calon arsitek, yang semua itu menjadi dasar untuk menyejajarkan dengan arsitek luar negeri. Ada beberapa penyebab arsitek Nusantara belum banyak berbicara dalam persaingan internasional. Pemerintah kita masih setengah hati mendukung. Undang-undang terkait arsitek yang dirintis beberapa tahun lalu hingga sekarang belum disahkan.
Jepang, Korea, Thailand, Malaysia, Filipina, dan Singapura mendukung secara nyata profesi arsitek, dan mewajibkan arsitek bersertifikat, serta dikenai hak dan kewajiban secara jelas, sah dan  terhormat. Keberadaan regulasi itu sebenarnya memberikan perlindungan kepada konsumen.

Publikasi Karya

Tak seperti kondisi saat ini di Indonesia, jumlah arsitek yang tidak bersertifikat keahlian, jauh lebih banyak ketimbang yang memiliki bersertifikat. Semuanya dapat mengerjakan proyek, bahkan tanpa arsitek pun pembangunan bisa terus berjalan.

Kedua; sikap profesional yang belum dimiliki sepenuhnya oleh sebagian arsitek kita. Terutama kualitas produk dalam memberikan jasa, komitmen sebagai profesional dan melakukan cara persaingan tidak sehat.  Ketiga; kurang berani memublikasikan karya, baik secara regional maupun internasional. Banyak arsitek di daerah memiliki karya bagus, baik berupa hunian, kawasan, maupun bangunan komersial. Bahkan mendapat penghargaan berskala nasional atau internasional, tetapi tidak terpublikasikan, sehingga masyarakat tak tahu.

Untuk mempertegas keunggulan, arsitek kita wajib menguasai arsitektur tradisional, yang pasti tak dimiliki arsitek asing. Minimal menguasai bagaimana nenek moyang kita menyikapi iklim tropis pada rancang bangun dan memahami keluhuran filosofi, selaras dengan budaya Nusantara. Menguasai dan memahami arsitektur lokal dapat menjadi modal untuk bersaing dan bersinergi dengan arsitek asing. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar