Rabu, 24 April 2013

Siasat Orang-Orang Kalah


Siasat Orang-Orang Kalah
Sugiyono Madelan ; Peneliti INDEF
REPUBLIKA, 23 April 2013


Karena tidak tahan oleh kekuatan argumentasi bertubi-tubi untuk menghilangkan distorsi ekonomi yang berasal dari subsidi BBM, pemerintah selain telah melaksanakan pembatasan kuota BBM bersubsidi, juga berencana untuk segera memberlakukan kenaikan harga BBM eceran untuk kendaraan pelat hitam pada Mei tahun ini. Argumentasi mengurangi inefisiensi tersebut dilakukan oleh IMF, Bank Dunia, dan intelektual prokapitalisme. 

Politik di balik kepentingan ekonomi tersebut adalah meningkatkan pembangunan infrastruktur dan tidak kalah pentingnya adalah secara langsung memberikan ruang kepada SPBU asing, supaya mereka dapat menjual BBM di pasar Indonesia. Sebab, dengan adanya BBM bersubsidi, maka SPBU asing tetap sepi pembeli. Tanpa adanya pengumuman komitmen pemerintah bahwa kenaikan harga BBM jenis premium untuk memperbanyak armada angkutan umum dan kereta api, maka relokasi sumber daya yang terjadi kemungkinan berupa peningkatan `pengandangan' mobil pelat merah dan peningkatan penggunaan sepeda motor di jalan raya.

Peningkatan pembangunan infrastruktur memang mewakili kepentingan suara dari para kontraktor dan tenaga kerja di sektor bangunan serta perbankan. Walaupun tentu saja secara jujur hal itu pada akhirnya bermuara pada peningkatan kesejahteraan penduduk kelas menengah dan atas, mengurangi biaya infrastruktur, meningkatkan daya saing, meningkatkan investasi di Indonesia, dan meningkatkan ekspor nonmigas. 

Akan tetapi, harapan terjadinya perbaikan untuk penduduk miskin terkait dengan peningkatan pembangunan infrastruktur tersebut sungguh tidak dapat dipastikan. Penduduk miskin sesungguhnya sering kali tidak terlibat dalam proyek pembangunan infrastruktur dan karena kondisi ekonominya. Karena itu, penduduk miskin dengan ambang batas miskin pendapatan sebesar satu dolar AS per kapita per hari seringkali kurang menerima manfaat secara langsung dari pembangunan infrastruktur dibandingkan penduduk kelas menengah dan atas. 

Dorongan Bersiasat

Menjual barang dan jasa yang sama dengan harga berbeda (diskriminasi harga) hanya dapat berjalan dengan sempurna apabila terdapat perbedaan struktur biaya per wilayah yang benar-benar dapat dipisahkan. Dalam hal rencana penjualan BBM jenis premium menggunakan dua harga berbeda (Rp 4.500 dan Rp 6.500 atau Rp 7.000 per liter) itu rupanya pemerintah terkesan membuka celah untuk lebih mengapresiasi orang-orang yang pandai bersiasat.
Betapa konsumen solar BBM bersubsidi terpaksa antre panjang berjam-jam hingga menginap di SPBU rupanya dimanfaatkan oleh pemerintah kepada kelompok penekan efisiensi BBM di atas sebagai drama daya tawar reargumentasi dengan secara implisit hendak mengatakan bahwa konsumen menolak untuk membeli BBM nonsubsidi jenis solar. Demikian pula dengan perluasan demonstrasi yang menolak kenaikan harga BBM dan kejadian kerusuhan di sebuah SPBU pada 2012 sebagai respons negatif dari pembatasan BBM bersubsidi. 

Namun, pada sisi lain telah terjadi celah siasat kegiatan penimbunan dan pembelian BBM bersubsidi dengan meng gunakan kendaraan yang telah dimodifikasi untuk dapat membeli dalam jumlah besar di SPBU. BBM bersubsidi yang ditampung tersebut selanjutnya dijual dengan harga yang lebih rendah dibandingkan BBM nonsubsidi. 

Prediksi kuota yang keliru, justru terkesan dijadikan momentum pembenaran untuk memperlambat tekanan menjual harga BBM jenis Premium dan solar sama dengan harga internasional. Ambigu pengorbanan tekanan ekonomi politik tersebut sangat terasa ketika harga BBM dipaksa dipercepat dijual dengan harga yang sama dengan di negara-negara maju, yang pendapatan per kapitanya telah mencapai 10 kali lipat atau lebih.

Sebagaimana dampak negatif dari pembatasan kuota BBM bersubsidi, penjualan BBM pada dua harga akan meningkatkan moral hazard penjualan BBM bersubsidi di bawah harga BBM eceran tertinggi. Akibatnya, berbagai pekerjaan di sektor informal dapat tergoda sebagai konvertor BBM bersubsidi jenis Premium dibandingkan untuk bekerja seperti biasanya, kalaupun pemerintah hendak melengkapi dengan radio berteknologi tinggi (RFID). 

Kasus kebocoran pupuk bersubsidi, gas elpiji 3 kg terkonversi ke tabung elpiji 12 kg dan 50 kg, kebocoran BBM atas perbedaan harga BBM untuk sektor industri dan BBM harga eceran, berubahnya mobil pelat merah menjadi mobil plat hitam, maupun beralihnya konsumen Pertamax ke Premium yang ditambah zat adiktif menjadi bukti dari adanya penyiasatan. Proses penyiasatan tersebut karena keterbatasan jenis kebijakan seperti itu. 

Alih-alih hendak menghemat Rp 21 triliun, namun iklim ketidakpastian usaha akan semakin meningkat. Penghematan APBN sesungguhnya akan jauh lebih besar untuk menyelamatkan krisis APBN, apabila kapasitas Komisi Pemberantasan Korupsi diperluas dan dilipatgandakan ke semua provinsi di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar