Karena
tidak tahan oleh kekuatan argumentasi bertubi-tubi untuk menghilangkan
distorsi ekonomi yang berasal dari subsidi BBM, pemerintah selain telah
melaksanakan pembatasan kuota BBM bersubsidi, juga berencana untuk segera
memberlakukan kenaikan harga BBM eceran untuk kendaraan pelat hitam pada
Mei tahun ini. Argumentasi mengurangi inefisiensi tersebut dilakukan oleh
IMF, Bank Dunia, dan intelektual prokapitalisme.
Politik
di balik kepentingan ekonomi tersebut adalah meningkatkan pembangunan
infrastruktur dan tidak kalah pentingnya adalah secara langsung
memberikan ruang kepada SPBU asing, supaya mereka dapat menjual BBM di
pasar Indonesia. Sebab, dengan adanya BBM bersubsidi, maka SPBU asing
tetap sepi pembeli. Tanpa adanya pengumuman komitmen pemerintah bahwa
kenaikan harga BBM jenis premium untuk memperbanyak armada angkutan umum
dan kereta api, maka relokasi sumber daya yang terjadi kemungkinan berupa
peningkatan `pengandangan' mobil pelat merah dan peningkatan penggunaan
sepeda motor di jalan raya.
Peningkatan
pembangunan infrastruktur memang mewakili kepentingan suara dari para
kontraktor dan tenaga kerja di sektor bangunan serta perbankan. Walaupun
tentu saja secara jujur hal itu pada akhirnya bermuara pada peningkatan
kesejahteraan penduduk kelas menengah dan atas, mengurangi biaya
infrastruktur, meningkatkan daya saing, meningkatkan investasi di Indonesia,
dan meningkatkan ekspor nonmigas.
Akan
tetapi, harapan terjadinya perbaikan untuk penduduk miskin terkait dengan
peningkatan pembangunan infrastruktur tersebut sungguh tidak dapat dipastikan.
Penduduk miskin sesungguhnya sering kali tidak terlibat dalam proyek
pembangunan infrastruktur dan karena kondisi ekonominya. Karena itu,
penduduk miskin dengan ambang batas miskin pendapatan sebesar satu dolar
AS per kapita per hari seringkali kurang menerima manfaat secara langsung
dari pembangunan infrastruktur dibandingkan penduduk kelas menengah dan
atas.
Dorongan Bersiasat
Menjual
barang dan jasa yang sama dengan harga berbeda (diskriminasi harga) hanya
dapat berjalan dengan sempurna apabila terdapat perbedaan struktur biaya
per wilayah yang benar-benar dapat dipisahkan. Dalam hal rencana
penjualan BBM jenis premium menggunakan dua harga berbeda (Rp 4.500 dan
Rp 6.500 atau Rp 7.000 per liter) itu rupanya pemerintah terkesan membuka
celah untuk lebih mengapresiasi orang-orang yang pandai bersiasat.
Betapa konsumen solar BBM bersubsidi terpaksa antre panjang berjam-jam
hingga menginap di SPBU rupanya dimanfaatkan oleh pemerintah kepada
kelompok penekan efisiensi BBM di atas sebagai drama daya tawar
reargumentasi dengan secara implisit hendak mengatakan bahwa konsumen
menolak untuk membeli BBM nonsubsidi jenis solar. Demikian pula dengan
perluasan demonstrasi yang menolak kenaikan harga BBM dan kejadian
kerusuhan di sebuah SPBU pada 2012 sebagai respons negatif dari
pembatasan BBM bersubsidi.
Namun,
pada sisi lain telah terjadi celah siasat kegiatan penimbunan dan
pembelian BBM bersubsidi dengan meng gunakan kendaraan yang telah dimodifikasi
untuk dapat membeli dalam jumlah besar di SPBU. BBM bersubsidi yang
ditampung tersebut selanjutnya dijual dengan harga yang lebih rendah
dibandingkan BBM nonsubsidi.
Prediksi
kuota yang keliru, justru terkesan dijadikan momentum pembenaran untuk
memperlambat tekanan menjual harga BBM jenis Premium dan solar sama
dengan harga internasional. Ambigu pengorbanan tekanan ekonomi politik
tersebut sangat terasa ketika harga BBM dipaksa dipercepat dijual dengan
harga yang sama dengan di negara-negara maju, yang pendapatan per
kapitanya telah mencapai 10 kali lipat atau lebih.
Sebagaimana
dampak negatif dari pembatasan kuota BBM bersubsidi, penjualan BBM pada
dua harga akan meningkatkan moral
hazard penjualan BBM bersubsidi di bawah harga BBM eceran tertinggi.
Akibatnya, berbagai pekerjaan di sektor informal dapat tergoda sebagai
konvertor BBM bersubsidi jenis Premium dibandingkan untuk bekerja seperti
biasanya, kalaupun pemerintah hendak melengkapi dengan radio berteknologi
tinggi (RFID).
Kasus
kebocoran pupuk bersubsidi, gas elpiji 3 kg terkonversi ke tabung elpiji
12 kg dan 50 kg, kebocoran BBM atas perbedaan harga BBM untuk sektor
industri dan BBM harga eceran, berubahnya mobil pelat merah menjadi mobil
plat hitam, maupun beralihnya konsumen Pertamax ke Premium yang ditambah
zat adiktif menjadi bukti dari adanya penyiasatan. Proses penyiasatan
tersebut karena keterbatasan jenis kebijakan seperti itu.
Alih-alih
hendak menghemat Rp 21 triliun, namun iklim ketidakpastian usaha akan
semakin meningkat. Penghematan APBN sesungguhnya akan jauh lebih besar
untuk menyelamatkan krisis APBN, apabila kapasitas Komisi Pemberantasan
Korupsi diperluas dan dilipatgandakan ke semua provinsi di Indonesia. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar