Momentum
peringatan Hari Kartini 21 April 2013 terasa kurang bermakna. Ini
lantaran upaya membangun masyarakat modern belum bisa mengubah sikap
masyarakat terhadap perempuan.
Beberapa
perempuan memang telah menjadi presiden, menteri, gubernur,
bupati, dan pengusaha. Tapi berapa presentase perempuan sukses
tersebut? Tidak banyak. Ketertinggalan masih menyertai kaum perempuan
hingga kini, termasuk di pelbagai kawasan pesisir Indonesia.
Seperti perempuan di pesisir Teluk Jakarta yang
terus-menerus terpinggirkan, meski sudah bekerja keras mencari nafkah untuk
keluarga. Hari-hari tanpa tangkapan ikan memiskinkan para nelayan.
Susutnya penghasilan suami membuat keluarga nelayan hidup serba
kekurangan. Hal ini menyadarkan para perempuan akan keharusan bekerja.
Berbagai profesi secara serampangan pun digeluti.
Mereka turut mencari udang rebon untuk bahan baku terasi, yang mereka
kerjakan pula proses pembuatannya, berdagang ikan, menjadi kuli kupas
kerang hijau, hingga jadi pemulung barang-barang bekas. Pagi hingga
siang bekerja mencari uang, jelang sore hingga malam mengurus rumah
tangga.
Nasib nahas yang dialami perempuan di Marunda,
Jakarta Utara juga dirasakan mereka yang bermukim di Pangandaran, Jawa
Barat. Di sana para perempuan nelayan bekerja ekstra keras. Sejak subuh
hingga tengah hari mereka menarik jaring sepanjang 400-500 meter.
Beberapa lelaki turut menjaring ikan dan sebagian kecil mengoperasikan
kapal.
Panas terik matahari diacuhkan. Kulit terbakar dan
telapak tangan mereka kasar. Untuk pekerjaan repot ini, hasilnya bila
mujur Rp 50.000. Kalau sedang apes hanya mendapatkan
Rp 5.000-15.000. Pendapatan di luar itu, mereka peroleh dari
berdagang terasi dan ikan asin keliling kampung.
Meski demikian para perempuan pesisir tetap tidak
digubris dan terus mendapatkan perlakuan beda dalam lingkup keluarga
serta masyarakat. Antara suami dan istri nelayan terdapat pembagian
peran yang tak berimbang, padahal tanggung jawab mencari nafkah telah
mereka bagi bersama.
Istri selalu mendapatkan porsi beban lebih, dari
mengurus rumah tangga sampai menafkahi keluarga (mesin pencari uang)
dengan total jam kerja 16-17 jam per hari.Suami merasa paling berhak
mengatur keluarga, walau bekerja lebih kurang dari 7-12 jam untuk mencari
ikan dan memperbaiki alat tangkap sepulang melaut.
Perempuan di pesisir dengan beban ganda itu belum
pasti mendapatkan pendidikan layak. Masyarakat menganggap pendidikan
sekadar formalitas untuk perempuan di
pesisir. Pada akhirnya mereka akan diposisikan
untuk mengurusi rumah tangga belaka, jadi tidak heran jika remaja perempuan
yang dianggap memenuhi persyaratan umur langsung dinikahkan atau diminta
untuk bekerja. Lagipula, itu semua agar remaja perempuan tidak menjadi
beban keluarga.
Hal lain yang membuat mereka tidak melanjutkan
pendidikan adalah biaya sekolah yang belum sepenuhnya gratis. Buku
pelajaran berganti hampir setiap tahun ajaran baru.
Membaca penjelasan di atas, ada pembuktian perempuan
masih diperlakukan sebagai masyarakat kelas kesekian. Bahkan oleh
industri, situasi ini dimanfaatkan dengan menjadikan mereka sebagai
cadangan buruh murah, sebagai “mesin industri”.
Diskriminasi Hukum
Selain pada lapisan masyarakat, diskriminasi terhadap
perempuan berlangsung dalam peraturan hukum. Pada UU Perikanan
Nomor 31 Tahun 2004, terminologi nelayan meminggirkan perempuan
nelayan dengan menyederhanakan profesi nelayan sebagai penangkap ikan.
“Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan
ikan” Ini praktis mengesampingkan perempuan nelayan yang selama ini
terlibat dalam produksi, pengolahan, dan distribusi produk perikanan.
Implikasinya, kontribusi perempuan nelayan absen
dalam statistik ekonomi nasional. Dampak seterusnya perempuan nelayan di
mana pun mereka berada, tak menerima kartu identitas nelayan. Mereka
bahkan kesulitan mengakses program-program pemerintah.
Tapi di beberapa daerah, praktik diskriminasi tidak
lantas membuat perempuan nelayan patah arang untuk meraih kehidupan yang
lebih baik. Sejak Desember 2005, Kelompok Perempuan Nelayan
Puspita Bahari merintis pengentasan kemiskinan persisnya di Dusun
Morodemak, Kabupaten Demak, Jawa Tengah. Kelompok ini memulai kiprah
dengan usaha simpan pinjam.
Dua tahun kemudian kekuatan kelompok tumbuh dengan
diversifikasi produk olahan berbahan baku ikan seperti abon, bandeng
presto, dan kerupuk. Di samping itu,Puspita Bahari berupaya
menyehatkan pesisir dengan rutin melakukan penanaman mangrove bersama
masyarakat setempat, dan mendaur-ulang sampah plastik bekas kemasan
menjadi barang siap pakai.
Secara khusus, mereka menjalankan pendampingan bagi
korban HIV/AIDS dan korban kekerasan dalam rumah tangga, tanpa luput
mengajak masyarakat lain untuk memahami pentingnya kesetaraan gender.
Masyarakat Desa Morodemak sempat menyepelekan Puspita
Bahari, namun sekarang 100 lebih di antaranya menerima manfaat langsung
kerja kelompok. Di sisi lain pemerintah daerah yang sebelumnya
memalingkan muka, sudah mulai melibatkan Puspita Bahari dalam
implementasi program seperti kewirausahaan.
Jauh di luar Pulau Jawa, tepatnya Desa Sei Nagalawan,
Sumatera Utara, Kelompok Perempuan Nelayan Muara Tanjung mempelopori
rehabilitasi mangrove. Seiring waktu, mereka membuka usaha wisata
mangrove dengan konservasi di atas lahan seluas 7 hektare lebih.
Kelompok ini juga menjalankan usaha simpan pinjam serta pengolahan
beragam produk berbahan baku ikan dan mangrove.
Kekuatan Puspita Bahari dan Muara Tanjung terletak
pada kemampuan mereka mendobrak cara berpikir dan menggerakkan
masyarakat. Perempuan bisa merealisasikan perubahan nyata demi
perbaikan kualitas kesejahteraan. Mereka menjatuhkan pagar-pagar ketidakadilan,
tanpa luput memulihkan lingkungan—yang merupakan langkah ekonomi politik
strategis.
Kalau saja masyarakat umum dan pemerintah mau
mengubah pandangan serta mendukung kesetaraan perempuan dan laki-laki,
kalangan perempuan bisa lebih berdaya. Pembenahan hukum dapat
menjadi langkah awal Pemerintah.
Pada UU Perikanan misalnya, pemerintah memperluas
terminologi nelayan juga dengan mengakui perempuan—guna
merealisasikan payung hukum perlindungan hak perempuan nelayan. Juga
pada peraturan lainnya yang juga harus mengacu pada kesetaraan gender.
Langkah berikutnya, pemerintah baik
pusat maupun daerah juga wajib menyediakan program untuk
meningkatkan kapasitas para perempuan nelayan, mulai dari pendidikan,
permodalan, dan bantuan hukum yang bisa membuat mereka naik kelas.
Pekerjaaan rumah mendatang adalah mengubah paradigma
budaya dan tafsir agama yang berpotensi menimbulkan ketidakadilan gender.
Itu semua harus melewati konvensi antarmasyarakat. Jadi, tidak ada
kata terlambat jika mau berbenah. Mari dukung perjuangan para perempuan
nelayan di tanah air. Selamat Hari
Kartini! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar