Rabu, 24 April 2013

Antara Subsidi BBM dan Jaminan Sosial


Antara Subsidi BBM dan Jaminan Sosial
Teddy Lesmana ; Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
MEDIA INDONESIA, 23 April 2013


Wacana mengenai penaikan harga BBM kembali mengemuka di tengah tekanan terhadap fiskal yang semakin berat. Bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah neraca transaksi perdagangan mengalami defisit yang salah satunya diakibatkan kenaikan impor minyak. Isu mengenai kenaikan harga BBM itu pun sudah lama mengemuka sejak 2011. Namun, keputusan pemerintah yang terkesan selalu mengambang membuat persoalan subsidi BBM kian berlarut tanpa ada eksekusi yang tegas. Bahkan pemerintah cenderung mengeluarkan kebijakan yang amat sulit dikontrol, yakni dengan penerapan dual price BBM yang direncanakan Mei ini.

Memang patut diakui, menaikkan harga BBM di negara seperti Indonesia dengan sebagian golongan masyarakatnya masih hidup dalam kondisi yang belum sejahtera memiliki dilema tersendiri. Tekanan inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM tersebut dikhawatirkan akan semakin membuat hidup mereka yang sudah sulit menjadi semakin sulit. Sementara itu, selain geliat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang meningkatkan permintaan akan BBM, harga BBM yang sedemikian ‘murah' itu membuat konsumsi makin tak terkendali. Hal itu bisa dibuktikan dengan selalu jebolnya kuota BBM bersubsidi dalam beberapa tahun terakhir ini.

Ketika menaikkan harga BBM pada 2005 dan 2008, pemerintah menyertainya dengan kompensasi dalam bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Namun, BLT yang sifatnya karitatif dan temporer dan tidak menyentuh langsung akar persoalan kemiskinan itu sendiri. Kemudian pertanyaannya, apa yang seharusnya dilakukan untuk melindungi kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Di satu sisi, sebenarnya pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan pengurangan atas subsidi BBM yang tidak produktif dan membebani APBN serta tidak efektif sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan yang inklusif.
Ironisnya, sejak Indonesia merdeka, negara ini belum memiliki jaminan sosial yang menyeluruh bagi rakyatnya. Adapun implementasi jaminan sosial sebagaimana yang diamanahkan dalam UU No 40 Tahun 2004 masih terbatas kepada rakyat yang kebetulan menjadi pekerja formal di sektor swasta dan PNS/TNI/Polri.

Untuk itu, sebagian dari triliunan anggaran yang sedianya dialokasikan untuk subsidi BBM seyogianya bisa dialokasikan untuk mendanai program jaminan sosial bagi kalangan masyarakat yang benar–benar membutuhkan. Kebijakan subsidi BBM yang dikatakan untuk melindungi rakyat kecil masih menganut paradigma the utilitarian theory of justice bahwa semua anggota masyarakat, terlepas dia miskin atau tidak, menikmati subsidi yang sama.

Ketidaktepatan subsidi BBM

Konsumsi BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Laju peningkatan konsumsi BBM meningkat rata-rata 9,7% per tahun. Dalam tiga tahun terakhir, misalnya, sejak 2011 kuota BBM bersubsidi terlampaui akibat konsumsi yang meningkat. Pada 2011 pemerintah mengalokasikan BBM bersubsidi sebanyak 41,69 kiloliter, lalu 43,2 juta kiloliter di 2012, dan semuanya terlampaui. Di 2013, kuota BBM bersubsidi sebanyak 50,2 juta kilo liter pun dikhawatirkan akan terlampaui jika tidak ada kebijakan energi yang afirmatif. Apalagi, populasi kendaraan bermotor terus meningkat tanpa terkendali.

Pada 2007, jumlah kendaraan bermotor sekitar 54,8 juta unit. Kini di 2013, ada sekitar 94,22 juta unit kendaraan bermotor. Dengan kondisi demikian, seperti pada 2012, realisasi subsidi BBM jebol, dari pagu Rp137,5 triliun terlampaui hingga Rp211,9 triliun. Jika kita bertanya ke mana BBM bersubsidi tersebut digunakan, Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Raden Pardede mengemukakan, berdasarkan data yang dimilikinya, penikmat subsidi BBM ialah kendaraan dinas pemerintah sebanyak 160 ribu­170 ribu dan masyarakat pemilik 10,5 juta kendaraan pribadi. Di luar itu ma sih ada pemilik 80 juta­ 90 juta motor, pemilik 2,5 juta­2,8 juta bus, dan pemilik 4,5 juta­5 juta truk baik pelat kuning maupun hitam.

Jadi, jika dikatakan bahwa BBM bersubsidi itu dinikmati rakyat miskin, tidaklah sepenuhnya tepat, sebab sebagaimana fakta yang diungkapkan di atas, BBM bersubsidi justru lebih bersubsidi justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan yang lebih mampu. Di lain pihak, masih banyak sektor produktif termasuk pemenuhan hak­-hak dasar rakyat yang belum optimal terpenuhi.

Perlindungan Sosial

UUD 1945 sebenarnya telah lama mengamanahkan untuk memberikan perhakan perhatian kepada fakir miskin dan anak­-anak terlantar. Ironisnya hingga hingga saat ini belum memiliki sistem jaminan sosial yang inklusif untuk seluruh rakyatnya. Kalaupun ada, masih sebatas pada mereka yang berprofesi sebagai PNS, TNI/Polri, pegawai BUMN, dan pegawai di sektor formal lainnya. Sementara untuk warga bangsa di luar itu belum sepenuhnya memiliki proteksi dalam bentuk jaminan sosial.

Secara umum, perlindungan sosial didefinisikan sebagai salah satu bentuk upaya yang diselenggarakan oleh negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana yang dituangkan dalam Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948 dan konvensi ILO No 102 Tahun 1952. Lebih jauh, jaminan sosial adalah sebuah bentuk dari upaya untuk mewujudkan kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk memberikan perlindungan sosial, atau perlindungan terhadap kondisi yang diketahui sosial, termasuk kemiskinan, usia lanjut, kecacatan, pengangguran, keluarga dan anak-anak, dan lain-lain.

Sementara itu, menurut United Nations Research Institute for Social Development (2010), perlindungan atau proteksi sosial adalah upaya untuk mencegah, mengelola, dan mengatasi situasi yang tidak diinginkan terkait dengan menurunnya kualitas kesejahteraan. Proteksi sosial tersebut terdiri dari kebijakan dan program yang dirancang untuk mengurangi kemiskinan dan kerentanan dengan meningkatkan efisiensi di pasar tenaga kerja, mengurangi exposure terhadap risiko– risiko, dan meningkatkan kapasitas untuk mengelola risiko–risiko ekonomi dan sosial seperti pengangguran, eksklusi, sakit, cacat, dan usia tua. Tipe–tipe umum proteksi sosial di antaranya kebijakan intervensi pasar tenaga kerja, asuransi sosial, dan bantuan sosial.

Jaminan sosial di Indonesia sebagaimana halnya di negara lain terdiri dari jaminan sosial dan bantuan sosial. Jaminan sosial yang merupakan unsur utama dari perlindungan sosial mencakup asuransi kesehatan dan pensiun, kompensasi ketika kehilangan pekerjaan, asuransi kecelakaan kerja, dan tunjangan disabilitas. Pendanaan untuk asuransi umumnya diperoleh dari kontribusi para peserta (Widjaja, 2012).

Perlu dicatat juga bahwa jaminan sosial mencakup penyediaan dana yang tidak berasal dari kontribusi pesertanya seperti tunjangan pensiun untuk PNS dan militer yang bukan merupakan asuransi sosial. Sementara itu, bantuan sosial mencakup program bantuan tanpa kontribusi dari pihak yang menjadi targetnya, yakni kelompok dan individu masyarakat yang rentan seperti orang miskin, lansia, dan penyandang cacat. Pendanaan untuk bantuan sosial itu berasal dari penerimaan pemerintah seperti pajak dan pendapatan yang diperoleh dari BUMN (Widjaja, 2012).

Karena kompleksitas aturan hukum dan peraturan di Indonesia, sampai saat ini Indonesia masih cenderung menjalankan program bantuan sosial seperti raskin, bantuan operasional sekolah (BOS), dan bantuan langsung tunai (BLT).
Sementara jaminan sosial yang mulai dijalankan ialah Jamkesmas sejak 2008. Jika memang pemerintah berniat serius melindungi segenap warga negara, ketimbang menggelontorkan uang ratusan triliunan tiap tahunnya untuk subsidi BBM, seharusnya pemerintah lebih berkonsentrasi untuk membangun sistem jaminan sosial yang inklusif dengan mengedepankan prinsip keadilan ekonomi (economic justice) sebagaimana yang didefinisikan oleh John Rawls (1971) bahwa utilitas kalangan masyarakat yang kurang beruntung lebih diutamakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar