Wacana
mengenai penaikan harga BBM kembali mengemuka di tengah tekanan terhadap
fiskal yang semakin berat. Bahkan untuk pertama kalinya dalam sejarah
neraca transaksi perdagangan mengalami defisit yang salah satunya
diakibatkan kenaikan impor minyak. Isu mengenai kenaikan harga BBM itu
pun sudah lama mengemuka sejak 2011. Namun, keputusan pemerintah yang
terkesan selalu mengambang membuat persoalan subsidi BBM kian berlarut
tanpa ada eksekusi yang tegas. Bahkan pemerintah cenderung mengeluarkan
kebijakan yang amat sulit dikontrol, yakni dengan penerapan dual price BBM yang direncanakan
Mei ini.
Memang patut diakui,
menaikkan harga BBM di negara seperti Indonesia dengan sebagian golongan
masyarakatnya masih hidup dalam kondisi yang belum sejahtera memiliki
dilema tersendiri. Tekanan inflasi yang diakibatkan oleh kenaikan harga
BBM tersebut dikhawatirkan akan semakin membuat hidup mereka yang sudah
sulit menjadi semakin sulit. Sementara itu, selain geliat pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang meningkatkan permintaan akan BBM, harga BBM yang
sedemikian ‘murah' itu membuat konsumsi makin tak terkendali. Hal itu
bisa dibuktikan dengan selalu jebolnya kuota BBM bersubsidi dalam
beberapa tahun terakhir ini.
Ketika menaikkan harga
BBM pada 2005 dan 2008, pemerintah menyertainya dengan kompensasi dalam
bentuk bantuan langsung tunai (BLT). Namun, BLT yang sifatnya karitatif
dan temporer dan tidak menyentuh langsung akar persoalan kemiskinan itu
sendiri. Kemudian pertanyaannya, apa yang seharusnya dilakukan untuk
melindungi kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan.
Di satu sisi,
sebenarnya pemerintah telah berkomitmen untuk melakukan pengurangan atas
subsidi BBM yang tidak produktif dan membebani APBN serta tidak efektif
sebagai mekanisme distribusi kesejahteraan yang inklusif.
Ironisnya, sejak Indonesia merdeka, negara ini belum memiliki jaminan
sosial yang menyeluruh bagi rakyatnya. Adapun implementasi jaminan sosial
sebagaimana yang diamanahkan dalam UU No 40 Tahun 2004 masih terbatas
kepada rakyat yang kebetulan menjadi pekerja formal di sektor swasta dan
PNS/TNI/Polri.
Untuk itu, sebagian
dari triliunan anggaran yang sedianya dialokasikan untuk subsidi BBM
seyogianya bisa dialokasikan untuk mendanai program jaminan sosial bagi
kalangan masyarakat yang benar–benar membutuhkan. Kebijakan subsidi BBM
yang dikatakan untuk melindungi rakyat kecil masih menganut paradigma the utilitarian theory of justice bahwa
semua anggota masyarakat, terlepas dia miskin atau tidak, menikmati
subsidi yang sama.
Ketidaktepatan
subsidi BBM
Konsumsi
BBM terus mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Laju peningkatan konsumsi
BBM meningkat rata-rata 9,7% per tahun. Dalam tiga tahun terakhir,
misalnya, sejak 2011 kuota BBM bersubsidi terlampaui akibat konsumsi yang
meningkat. Pada 2011 pemerintah mengalokasikan BBM bersubsidi sebanyak 41,69
kiloliter, lalu 43,2 juta kiloliter di 2012, dan semuanya terlampaui. Di
2013, kuota BBM bersubsidi sebanyak 50,2
juta kilo liter pun dikhawatirkan akan terlampaui jika tidak ada
kebijakan energi yang afirmatif. Apalagi, populasi kendaraan bermotor
terus meningkat tanpa terkendali.
Pada 2007, jumlah
kendaraan bermotor sekitar 54,8 juta unit. Kini di 2013, ada sekitar
94,22 juta unit kendaraan bermotor. Dengan kondisi demikian, seperti pada
2012, realisasi subsidi BBM jebol, dari pagu Rp137,5 triliun terlampaui
hingga Rp211,9 triliun. Jika kita bertanya ke mana BBM bersubsidi
tersebut digunakan, Wakil Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN) Raden
Pardede mengemukakan, berdasarkan data yang dimilikinya, penikmat subsidi
BBM ialah kendaraan dinas pemerintah sebanyak 160 ribu170 ribu dan
masyarakat pemilik 10,5 juta kendaraan pribadi. Di luar itu ma sih ada
pemilik 80 juta 90 juta motor, pemilik 2,5 juta2,8 juta bus, dan
pemilik 4,5 juta5 juta truk baik pelat kuning maupun hitam.
Jadi, jika dikatakan
bahwa BBM bersubsidi itu dinikmati rakyat miskin, tidaklah sepenuhnya
tepat, sebab sebagaimana fakta yang diungkapkan di atas, BBM bersubsidi
justru lebih bersubsidi justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan yang
lebih mampu. Di lain pihak, masih banyak sektor produktif termasuk
pemenuhan hak-hak dasar rakyat yang belum optimal terpenuhi.
Perlindungan Sosial
UUD 1945 sebenarnya
telah lama mengamanahkan untuk memberikan perhakan perhatian kepada fakir
miskin dan anak-anak terlantar. Ironisnya hingga hingga saat ini belum
memiliki sistem jaminan sosial yang inklusif untuk seluruh rakyatnya. Kalaupun
ada, masih sebatas pada mereka yang berprofesi sebagai PNS, TNI/Polri,
pegawai BUMN, dan pegawai di sektor formal lainnya. Sementara untuk warga
bangsa di luar itu belum sepenuhnya memiliki proteksi dalam bentuk
jaminan sosial.
Secara umum,
perlindungan sosial didefinisikan sebagai salah satu bentuk upaya yang
diselenggarakan oleh negara guna menjamin warga negaranya untuk memenuhi
kebutuhan hidup dasar yang layak, sebagaimana yang dituangkan dalam
Deklarasi PBB tentang HAM Tahun 1948 dan konvensi ILO No 102 Tahun 1952. Lebih
jauh, jaminan sosial adalah sebuah bentuk dari upaya untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk memberikan perlindungan sosial,
atau perlindungan terhadap kondisi yang diketahui sosial, termasuk
kemiskinan, usia lanjut, kecacatan, pengangguran, keluarga dan anak-anak,
dan lain-lain.
Sementara itu, menurut
United Nations Research Institute
for Social Development (2010), perlindungan atau proteksi sosial
adalah upaya untuk mencegah, mengelola, dan mengatasi situasi yang tidak
diinginkan terkait dengan menurunnya kualitas kesejahteraan. Proteksi
sosial tersebut terdiri dari kebijakan dan program yang dirancang untuk
mengurangi kemiskinan dan kerentanan dengan meningkatkan efisiensi di
pasar tenaga kerja, mengurangi exposure
terhadap risiko– risiko, dan meningkatkan kapasitas untuk mengelola
risiko–risiko ekonomi dan sosial seperti pengangguran, eksklusi, sakit,
cacat, dan usia tua. Tipe–tipe umum proteksi sosial di antaranya
kebijakan intervensi pasar tenaga kerja, asuransi sosial, dan bantuan
sosial.
Jaminan sosial di
Indonesia sebagaimana halnya di negara lain terdiri dari jaminan sosial
dan bantuan sosial. Jaminan sosial yang merupakan unsur utama dari
perlindungan sosial mencakup asuransi kesehatan dan pensiun, kompensasi
ketika kehilangan pekerjaan, asuransi kecelakaan kerja, dan tunjangan
disabilitas. Pendanaan untuk asuransi umumnya diperoleh dari kontribusi
para peserta (Widjaja, 2012).
Perlu dicatat juga
bahwa jaminan sosial mencakup penyediaan dana yang tidak berasal dari
kontribusi pesertanya seperti tunjangan pensiun untuk PNS dan militer
yang bukan merupakan asuransi sosial. Sementara itu, bantuan sosial
mencakup program bantuan tanpa kontribusi dari pihak yang menjadi
targetnya, yakni kelompok dan individu masyarakat yang rentan seperti
orang miskin, lansia, dan penyandang cacat. Pendanaan untuk bantuan
sosial itu berasal dari penerimaan pemerintah seperti pajak dan
pendapatan yang diperoleh dari BUMN (Widjaja, 2012).
Karena kompleksitas
aturan hukum dan peraturan di Indonesia, sampai saat ini Indonesia masih
cenderung menjalankan program bantuan sosial seperti raskin, bantuan
operasional sekolah (BOS), dan bantuan langsung tunai (BLT).
Sementara jaminan sosial yang mulai dijalankan ialah Jamkesmas sejak
2008. Jika memang pemerintah berniat serius melindungi segenap warga
negara, ketimbang menggelontorkan uang ratusan triliunan tiap tahunnya
untuk subsidi BBM, seharusnya pemerintah lebih berkonsentrasi untuk
membangun sistem jaminan sosial yang inklusif dengan mengedepankan
prinsip keadilan ekonomi (economic
justice) sebagaimana yang didefinisikan oleh John Rawls (1971) bahwa
utilitas kalangan masyarakat yang kurang beruntung lebih diutamakan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar