Kamis, 18 April 2013

Siap Mental Jejaring Sosial SBY


Siap Mental Jejaring Sosial SBY
Tasroh   Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis (FEB) Undip Semarang
SUARA MERDEKA, 17 April 2013

Bandingkan dengan artikel dari penulis yang sama di MEDIA INDONESIA 16 April 2013

  
"Membaca isi Twitter, jangan sampai sedikit-sedikit dimaknai penghinaan atau pelecehan terhadap SBY."

Setelah lama menunggu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memiliki akun jejaring sosial Twitter: @SBYudhoyono.  Konon gagasan itu sudah lama, baik selalu pribadi maupun kelembagaan presiden. Jubir kepresidenan Julian Pasha menyebutkan pilihan itu bukan latah atau hendak bernarsis ria ala sebagian masyarakat kita lewat pelbagai jejaring sosial, melainkan semata-mata ingin membangun komunikasi dengan seluruh rakyat secara online, interaktif. 

Mau mengakui atau tidak, pengaruh jejaring sosial di dunia maya telah mewabah ke semua relung kebutuhan pribadi manusia di berbagai belahan dunia. Presiden Barack Obama adalah sosok figur global yang bisa disebut pemimpin pertama dunia yang dipopulerkan, bahkan diubah nasibnya berkat peran Facebook.

Pakar pemasaran dari Amerika Serikat John Spencer bahkan menyebut 70% produk kebijakan dan bisnis investasi di negeri itu memanfaatkan jejaring sosial untuk mengembangkan produk (barang jasa) kepada pelanggan/ masyarakat  (New York Times, 14/3/13).

Cerita sukses pemanfaatan jejaring sosial amat ditentukan oleh kondisi ’’mental sosial’’ pengguna. Pakar teknologi informatika dari Northern Illinois University Sigmund Murray dalam Beyond Unli­mited Information (2009) menyebut masyarakat-bangsa yang cerdas secara komunikasi-informasi telah mengambil manfaat luar biasa atas perkembangan jejaring sosial. Terbukti, temuan baru itu tak hanya mampu mendongkrak aset dan laju investasi di berbagai bidang, tetapi juga menjadi media pema­saran yang amat mujarab.

Sebaliknya, jejaring sosial yang tumbuh subur di tengah masyarakat-bangsa dengan mental terbelakang secara teknologi, tak hanya jadi media perusak mental sosial, tapi juga menjadi media paling produktif memicu kekacauan, konflik, kekerasan, fitnah, hingga pemicu disharmoni pribadi dan sosial. Risiko negatif ini, seperti disebutkan Murray, jauh lebih mudah tumbuh subur, dibanding kemudahan dan kemanfaatan sosialnya. 

Karena itu, negara-negara maju di Asia Selatan, seperti Jepang dan Korea Selatan, ’’membatasi’’  je­ja­ring sosial hanya untuk kepentingan individu, tanpa melibatkan simbol, label, dan wibawa kelembagaan, apalagi selevel pejabat negara/ pemerintahan.

Berpijak dari realitas itu, peluncuran Twitter SBY semestinya jangan menjadi ’’milik negara/pemerintah’’ tetapi sekadar menjadi media pembantu (additional medium of communication) Presiden dalam membaca, memahami, dan menerapkan prinsip-prinsip keterbukaan informasi dan komunikasi pada  era digital sekarang ini.

Klarifikasi ini menjadi penting bagi SBY dan lingkarannya, karena mau mengakui atau tidak, bila seseorang sudah berani bermain-main dalam dunia maya, digital surfing maka ia harus mempersiapkan mental sosial ’’tanpa busana’’ (naked information). Artinya, pelaku harus merelakan diri dan identitas pribadinya menjadi konsumsi publik, termasuk rela dicaci-maki, dicemooh, bahkan dinistakan (Murray, 2009).

Pakar komunikasi dari UI, Effendy Ghazali bahkan mewanti-wanti SBY untuk menyiapkan mental bila status diri sosialnya diacak-acak khas gaya komunikasi rakyat kebanyakan Indonesia yang kini telah berada dalam gelombang dunia maya. Hal ini harus disadari oleh SBY dan lingkarannya sehingga bisa merespons positif dan dengan sikap dewasa semua berita, data, dan informasi secara lebih sosial (baca: rakyat kebanyakan), bukan sedikit-sedikit curhat, atau ngambek.

Format Ulang

Persiapan ’’mental’’ presiden jauh lebih urgen dilakukan ketimbang sibuk mempersiapkan jawaban sporadis dari para pembantunya.

Ada dua langkah mendesak terkait persiapan mental ketika SBY berani memutuskan berselancar di dunia maya. Pertama; sesuai fungsi dasar sebagai jembatan pribadi, meskipun isi jejaring sosial itu bernada fitnah dan caci-maki sekalipun, SBY harus menerjemahkannya sebagai risiko politik diri sosok yang kebetulan menjadi orang nomor 1 di Indonesia. 

Kedua; terkait dengan keberanian berselancar tanpa batas (borderless) dalam jejaring sosial maka regulasi dan aneka aturan protokoler dalam sistem pemerintahan/kenegaraan harus menyesuaikan dengan lanskap jejaring sosial. Dalam tataran ini, regulasi atau pasal mengenai ’’penghinaan’’ atau ’’penistaan’’ terhadap Presiden SBY (selaku kepala negara sekaligus pemerintahan) yang sedang digodok DPR bersama Kemen­kum­ham harus diformat ulang.

Tanpa pemformatan ulang itu maka kehadiran SBY dalam Twitter hanya melahir­kan kisruh baru komunikasi dan informasi yang pada gilirannya menambah ’’kesibukan’’ baru yang tak produktif bagi kinerja SBY, selaku kepala negara dan pemerintahan serta ketua umum parpol. 

Membaca isi Twitter, jangan sampai sedikit-sedikit dimaknai penghinaan atau pelecehan terhadap SBY. Justru yang harus dikembangkan secara masif lewat jejaring sosial adalah agenda-agenda dan langkah nyata SBY dalam merespons semua saran, kritik, dan masukan dari rakyat, dengan lebih cepat, cekatan, dan tuntas; dan bukan sekadar jawaban mengambang, asbun, seperti di Twitterland keba­nyakan rakyat selama ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar