"Membaca isi Twitter, jangan sampai sedikit-sedikit
dimaknai penghinaan atau pelecehan terhadap SBY."
Setelah lama
menunggu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono akhirnya memiliki akun
jejaring sosial Twitter: @SBYudhoyono. Konon gagasan itu sudah
lama, baik selalu pribadi maupun kelembagaan presiden. Jubir kepresidenan
Julian Pasha menyebutkan pilihan itu bukan latah atau hendak bernarsis
ria ala sebagian masyarakat kita lewat pelbagai jejaring sosial, melainkan
semata-mata ingin membangun komunikasi dengan seluruh rakyat secara
online, interaktif.
Mau mengakui atau tidak, pengaruh jejaring sosial di dunia maya
telah mewabah ke semua relung kebutuhan pribadi manusia di berbagai
belahan dunia. Presiden Barack Obama adalah sosok figur global yang bisa
disebut pemimpin pertama dunia yang dipopulerkan, bahkan diubah nasibnya
berkat peran Facebook.
Pakar pemasaran dari Amerika Serikat John Spencer bahkan menyebut
70% produk kebijakan dan bisnis investasi di negeri itu memanfaatkan
jejaring sosial untuk mengembangkan produk (barang jasa) kepada
pelanggan/ masyarakat (New York Times, 14/3/13).
Cerita sukses pemanfaatan jejaring sosial amat ditentukan oleh
kondisi ’’mental sosial’’ pengguna. Pakar teknologi informatika dari
Northern Illinois University Sigmund Murray dalam Beyond Unlimited Information (2009) menyebut
masyarakat-bangsa yang cerdas secara komunikasi-informasi telah mengambil
manfaat luar biasa atas perkembangan jejaring sosial. Terbukti, temuan
baru itu tak hanya mampu mendongkrak aset dan laju investasi di berbagai
bidang, tetapi juga menjadi media pemasaran yang amat mujarab.
Sebaliknya, jejaring sosial yang tumbuh subur di tengah
masyarakat-bangsa dengan mental terbelakang secara teknologi, tak hanya jadi
media perusak mental sosial, tapi juga menjadi media paling produktif
memicu kekacauan, konflik, kekerasan, fitnah, hingga pemicu disharmoni
pribadi dan sosial. Risiko negatif ini, seperti disebutkan Murray, jauh
lebih mudah tumbuh subur, dibanding kemudahan dan kemanfaatan
sosialnya.
Karena itu, negara-negara maju di Asia Selatan, seperti Jepang dan
Korea Selatan, ’’membatasi’’ jejaring sosial hanya untuk
kepentingan individu, tanpa melibatkan simbol, label, dan wibawa
kelembagaan, apalagi selevel pejabat negara/ pemerintahan.
Berpijak dari realitas itu, peluncuran Twitter SBY semestinya
jangan menjadi ’’milik negara/pemerintah’’ tetapi sekadar menjadi media
pembantu (additional medium of
communication) Presiden dalam membaca, memahami, dan menerapkan
prinsip-prinsip keterbukaan informasi dan komunikasi pada era
digital sekarang ini.
Klarifikasi ini menjadi penting bagi SBY dan lingkarannya, karena
mau mengakui atau tidak, bila seseorang sudah berani bermain-main dalam
dunia maya, digital surfing maka ia harus mempersiapkan mental sosial ’’tanpa busana’’ (naked information). Artinya,
pelaku harus merelakan diri dan identitas pribadinya menjadi konsumsi
publik, termasuk rela dicaci-maki, dicemooh, bahkan dinistakan (Murray,
2009).
Pakar komunikasi dari UI, Effendy Ghazali bahkan mewanti-wanti SBY untuk menyiapkan
mental bila status diri sosialnya diacak-acak khas gaya komunikasi rakyat
kebanyakan Indonesia yang kini telah berada dalam gelombang dunia maya.
Hal ini harus disadari oleh SBY dan lingkarannya sehingga bisa merespons
positif dan dengan sikap dewasa semua berita, data, dan informasi secara
lebih sosial (baca: rakyat kebanyakan), bukan sedikit-sedikit curhat,
atau ngambek.
Format Ulang
Persiapan ’’mental’’ presiden jauh lebih urgen dilakukan ketimbang
sibuk mempersiapkan jawaban sporadis dari para pembantunya.
Ada dua langkah mendesak terkait persiapan mental ketika SBY berani
memutuskan berselancar di dunia maya. Pertama; sesuai fungsi dasar
sebagai jembatan pribadi, meskipun isi jejaring sosial itu bernada fitnah
dan caci-maki sekalipun, SBY harus menerjemahkannya sebagai risiko
politik diri sosok yang kebetulan menjadi orang nomor 1 di
Indonesia.
Kedua; terkait dengan keberanian berselancar tanpa batas (borderless) dalam jejaring sosial
maka regulasi dan aneka aturan protokoler dalam sistem pemerintahan/kenegaraan
harus menyesuaikan dengan lanskap jejaring sosial. Dalam tataran ini,
regulasi atau pasal mengenai ’’penghinaan’’ atau ’’penistaan’’ terhadap
Presiden SBY (selaku kepala negara sekaligus pemerintahan) yang sedang
digodok DPR bersama Kemenkumham harus diformat ulang.
Tanpa pemformatan ulang itu maka kehadiran SBY dalam Twitter hanya
melahirkan kisruh baru komunikasi dan informasi yang pada gilirannya
menambah ’’kesibukan’’ baru yang tak produktif bagi kinerja SBY, selaku
kepala negara dan pemerintahan serta ketua umum parpol.
Membaca isi Twitter, jangan sampai sedikit-sedikit dimaknai
penghinaan atau pelecehan terhadap SBY. Justru yang harus dikembangkan
secara masif lewat jejaring sosial adalah agenda-agenda dan langkah nyata
SBY dalam merespons semua saran, kritik, dan masukan dari rakyat, dengan
lebih cepat, cekatan, dan tuntas; dan bukan sekadar jawaban mengambang,
asbun, seperti di Twitterland kebanyakan rakyat selama ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar