Perseteruan pemerintah pusat
dengan pemerintah Aceh soal bendera lokal menenggelamkan perhatian
terhadap kasus kelaparan di Papua. Sebanyak 95 orang di Distrik
Kwoor Kabupaten Tambrauw Papua Barat, meninggal dunia karena busung lapar
dan gizi buruk. Kelaparan merenggut nyawa mereka sejak November 2012
hingga Februari 2013. Haruskah Papua mengikuti jejak Aceh,
mengintensifkan pemberontakan, supaya lebih diperhatikan?
Bendera Aceh yang bergambar bulan bintang bergaris hitam putih atau mirip
lambang Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu tertuang dalam Qanun Nomor 3 dan
telah disahkan oleh DPR Aceh pada 25 Maret 2013. Kini, pemerintah pusat
pusing akibat bendera lokal yang menjurus ke separatisme itu.
Soal separatisme, sesungguhnya Papua tidak kalah dari Aceh. Bila di Aceh
ada GAM, di Papua ada Organisasi Papua Merdeka (OPM). Bedanya, bila
dengan GAM pemerintah pusat mau berdamai melalui memorandum of understanding (MoU) yang ditekendi Helsinki,
Finlandia, 15 Agustus 2005, sementara dengan OPM Jakarta masih jual
mahal. Di sini adagium Tsun Tzu menemukan kebenarannya, ’’Bila mau berdamai, bersiaplah untuk
perang.’’
Sebagaimana Papua, Jakarta menyebut Aceh wilayah otonomi khusus. Namun
sejatinya, dengan MoU itu, secara de
facto Aceh sudah merdeka. Aceh bisa membuat partai politik, mata
uang, bahkan melakukan perdagangan internasional sendiri.
Papua memiliki kekayaan alam melimpah, tak kalah dari Aceh. Di Papua
bahkan ada Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc, perusahaan
tambang emas dan tembaga terbesar di dunia. Tahun 2012, pendapatan
Freeport Indonesia mencapai 3,92 miliar dolar AS atau 21,7% dari total
pendapatan Freeport-McMoRan di seluruh dunia. Keuntungan Freeport ini
ternyata kontras dengan kesejahteraan masyarakat setempat. Masyarakat
Papua lapar, kemudian tewas menggelepar.
Tahun 2009, kelaparan juga melanda 51 distrik di Kabupaten Yahukimo, Papua,
mengakibatkan 26 warga istrik Warla meninggal. Tahun 2011, kasus serupa
terjadi di sejumlah daerah di Papua dan Papua Barat. Sejak otonomi
khusus digulirkan melalui Undang-Undang (UU) Nomor 21 Tahun 2001
tentang Otonomi Khusus bagi Papua, dan UU Nomor 35 Tahun 2008 tentang
Otonomi Khusus bagi Papua Barat, dua provinsi ini terus diimpit
kemiskinan. Angka kemiskinan di Papua dan Papua Barat masih berkisar 31%.
Padahal, Papua Barat adalah wilayah subur. Dengan curah hujan
2.000-3.000 milimeter per tahun dan penyinaran matahari 52,36%-128,81%,
Papua Barat sangat potensial bagi pengembangan budi daya tanaman
pertanian dan perkebunan. Dengan wilayah laut yang luas, daerah itu
memiliki potensi hasil laut berlimpah.
Klaim Pemerintah
Adakah yang salah dengan Papua? Hingga kini Jakarta telah mengucurkan
dana otonomi khusus (DOK) untuk Papua dan Papua Barat lebih dari Rp 40
triliun. Dana alokasi umum (DAU) dan dana alokasi khusus (DAK) untuk
Papua dan Papua Barat masing-masing juga mencapai lebih dari Rp1 triliun
setiap tahun. Tahun ini, DAU dan DAK untuk dua provinsi itu naik
18,14% dan 20,35%, dan pemerintah juga mengucurkan dana pengentasan
masyarakat dari kemiskinan Rp 18,3 triliun, termasuk untuk Papua dan
Papua Barat.
Pada pidato RUU RAPBN 2013 pada Sidang Paripurna DPR, Jumat (16/8/12),
Presiden SBY menyampaikan, dari alokasi DOK Rp 13,2 triliun pada RAPBN
2013, pemerintah akan mengalokasikan untuk Papua Rp 4,3 triliun; Papua
Barat Rp 1,8 triliun; dan Aceh Rp 6,3 triliun. Selain DOK, Jakarta
mengalokasikan dana tambahan infrastruktur untuk Papua dan Papua Barat Rp
1 triliun.
SBY juga menyampaikan, pemerintah akan mempercepat pembangunan Papua dan
Papua Barat. Hal ini mengingat kesejahteraan masyarakat di dua provinsi
ini masih jauh tertinggal dari daerah lain. Untuk mempercepat pembangunan
pemerintah akan mengintesifkan langkah-langkah pengurangan angka
kemiskinan melalui peningkatan ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi
masyarakat.
Untuk meningkatkan kualitas SDM, akan dilakukan penyediaan tenaga
pengajar berkualitas dalam jumlah mencukupi. Adapun untuk menembus
keterisolasian, pemerintah akan meningkatkan pembangunan sejumlah ruas
jalan darat dari pesisir selatan hingga pegunungan tengah.
Apa pun ceritanya, faktanya banyak warga Papua kelaparan. Hal ini
mencabik-cabik rasa kemanusiaan kita. Kasus kepalaran di Papua Barat ini
menjadi sengatan bagi pemerintah. Maklum, pemerintah selalu mengklaim
ekonomi mengalami pertumbuhan pesat. Kasus kelaparan ini diyakini bukan
hanya terjadi di Papua Barat, melainkan juga di provinsi-provinsi lain,
termasuk Jawa. Sayang, BPS tampak malu-malu ketika harus merilis data
tentang jumlah warga miskin.
Haruskah Papua mengikuti jejak Aceh: memberontak, membawa persoalan ke
forum internasional, memaksa Pemerintah RI berdamai, kemudian mengibarkan
bendera lokal sebagai simbol kemerdekaan? Bila Aceh bisa mengibarkan
bendera bintang-bulan sabit, Papua bisa mengibarkan bendera bintang
kejora.
Maka, sebelum Papua menjadi
’’Aceh II’’ yang selangkah lagi merdeka secara de jure, Jakarta harus melakukan terobosan-terobosan drastis
untuk mengangkat kesejahteraan rakyat Papua. Cara-cara konvensional harus
ditinggalkan. Bila tidak, jangan berharap OPM akan berhenti memberontak
dan mengibarkan bintang kejora, menafikan Sang Saka Merah Putih. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar