Silang-sengkarut
penyelenggaraan ujian nasional (UN) tahun ini mewarnai pelaksanaan ujian
akhir tahun pelajaran 2012/ 2013 untuk satuan SMA, SMK, dan Paket C.
Keterlambatan distribusi naskah mengakibatkan penundaan pelaksanaan ujian
di 11 provinsi wilayah tengah Indonesia.
Respons masyarakat terhadap masalah ini pun luar biasa. Dari yang
menuntut penghapusan ujian nasional hingga Mendikbud M Nuh turun dari
jabatan. Bagi mereka yang kontra dengan UN, kasus itu menjadi senjata
ampuh untuk makin menunjukkan bahwa memang layak meniadakan ujian
nasional.
Berpikir secara jernih, sejatinya penyelenggaraan ujian tahun ini
menyertakan beberapa hal positif, guna meyakinkan publik bahwa kita masih
memerlukan ujian tahap akhir tersebut. Publik hafal, menjelang
pelaksanaan, selalu diwarnai kemunculan isu bocoran soal dan kunci
jawaban.
’’Paket bocoran’’ menjadi komoditas laris manis meskipun setelah
dilakukan klarifikasi tidak satu pun dari paket bocoran itu bisa
dipertanggungjawabkan kebenarannya. Namun tiap tahun selalu ada yang
memercayai bocoran itu. Guna mengantisipasi kebocoran materi, pemerintah
mencetak soal ujian nasional dalam 20 paket. Pencetakan tiap naskah soal
menjadi satu dengan lembar jawab ujian nasional (LJUN), sehingga paket
soal nomor 1 hanya bisa dikerjakan dengan menggunakan LJUN paket soal
nomor 1 pula.
Lembar jawab ujian nasional nomor 1 tak bisa dipakai mengerjakan paket
soal nomor 5. Kalau ini dilakukan, bisa dipastikan hasilnya nol. Nomor
paket soal yang tertulis pada LJUN pun memiliki barcode. Hal ini untuk
mempersulit pengedaran bocoran kunci jawaban.
Selain itu, pengamanan distribusi naskah; dari percetakan menuju
kabupaten/ kota, sampai di titik simpan terakhir, di masing-masing
subrayon, dilakukan ekstraketat. Secara teori, amat sulit membongkar
amplop soal tanpa sepengetahuan panitia dan aparat keamanan.
Guna menghindari kongkalikong antarpeserta ujian, penempatan pengawas
dalam satu subrayon dilakukan secara silang penuh. Lewat cara itu,
peserta ujian dari satu sekolah diawasi guru dari sekolah berbeda, untuk
memutus ikatan emosional antara anak dan guru.
Di sisi lain, peran perguruan tinggi makin ditingkatkan. Peran perguruan
tinggi tak hanya pada wilayah SMA/ SMK tetapi juga masuk wilayah Paket C,
dan satuan pendidikan SMP. Untuk SMA/ SMK, dan Paket C, keterlibatan
perguruan tinggi yang direpresentasikan melalui pengawas satuan
pendidikan, ditempatkan dari wilayah distribusi naskah, penyimpanan,
pelaksanaan ujian hingga pengiriman LJUN ke lembaga korektor. Sementara
untuk tingkat SMP, pelibatan peran perguruan tinggi masih terbatas pada distribusi
naskah ke kabupaten/kota.
Tahapan Evaluasi
Realitasnya, beberapa upaya positif itu dinodai oleh penundaan ujian di
11 provinsi di luar Jawa, dan akhirnya tak bisa dimungkiri kondisi itu
makin ’’mempersulit’’ keberlangsungan ujian nasional. Pada tingkat nasional,
banyak komentar, baik dari perorangan, kelompok masyarakat, maupun
anggota legislatif, bahkan ICW dan KPK yang juga memberikan
pernyataan.
Karena itu, pemerintah perlu secepatnya memberikan klarifikasi supaya
masyarakat terang-benderang memahami duduk persoalan sesungguhnya.
Penjelasan itu harus dimulai dari proses perencanaan UN, peran Badan
Standar Nasional Pendidikan (BSNP), siapa yang berwenang menyelenggarakan
pelelangan pengadaan naskah dan bagaimana prosedurnya.
Termasuk, menjelaskan kesepakatan antara pejabat pembuat komitmen (PPK)
dan pihak penyedia barang/ jasa pengadaan naskah yang dituangkan dalam
kontrak. Jika pemerintah cepat memberi klarifikasi ke publik dan juga
secara transparan, publik bisa mengetahui pihak yang paling bertanggung jawab
dan pihak yang wanprestasi.
Yang tidak kalah penting
adalah tahapan evaluasi Selama ini komentar, pernyataan pakar dan anggota
masyarakat bermunculan pada sekitar Februari, padahal pada bulan itu
tahapan sudah sampai pada penetapan daftar nominasi tetap (DNT) dan
pencetaan kartu peserta ujian.
Regulasi mengenai UN, baik berupa peraturan menteri maupun prosedur
operasi standar (POS) juga sudah terbit pada bulan itu. Karena
tahapan sudah berjalan cukup jauh, apa pun komentar dan kritik dari
publik dan DPR, sangat menyulitkan jika pemerintah membatalkan. Tak
salah bila ada anggapan bahwa kemunculan komentar atau kritik pedas
terhadap keberadaan UN berkesan hanya komoditas untuk meraih popularitas.
Seharusnya, komentar, pendapat, kritik, dan masukan terkait keberadaan UN
dilakukan setahun sebelum pelaksanaan, sehingga ada waktu yang cukup bagi
pemerintah untuk mengaji, merevisi, dan menyempurnakan. Dengan waktu yang
cukup itu pula pemerintah dapat memutuskan secara aspiratif perlu
tidaknya menyelenggarakan ujian nasional.
Seandainya pemerintah kemudian memutuskan tidak perlu menyelenggarakan
ujian nasional maka bisa dibuat semacam kegiatan evaluasi yang lebih
mengedepankan hak edukatif siswa dan hak profesional/pedagogik guru.
Pelaksanaan UN untuk SMA dan sederajat pada tahun ini harus menjadi
pelajaran berharga. Ke depan, perlu mencari format dan pola
evaluasi yang memiliki legalitas dan legitimasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar