Rabu, 24 April 2013

Hari Bumi dan Bahan Bakar Nabati


Hari Bumi dan Bahan Bakar Nabati
Posman Sibuea ; Guru Besar Tetap di Jurusan Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas SU Medan, Direktur Center for National Food Security Research (Tenfoser)
MEDIA INDONESIA, 23 April 2013


Tema Hari Bumi tahun ini yang diperingati 22 April kemarin ialah Renewable energy for better suistanable resources. Penetapan tema itu amat relevan dengan rencana pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi dalam waktu dekat. Pemerintah terus meyakinkan masyarakat bahwa akan ada kebijakan pengurangan subsidi BBM yang filosofinya ialah demi keadilan dan pemerataan.

Pengurangan subsidi BBM harus diikuti dengan gerakan hemat energi dan kampanye penggunaan bahan bakar nabati sebagai sumber energi yang dapat diperbarui (renewable energy). Harapan itu terkait dengan keadaan bumi yang menjadi rumah kita bersama dalam 20 tahun belakangan ini mengalami pelapukan dan semakin tidak nyaman lagi dihuni. Suhu bumi semakin panas karena gaya hidup yang konsumtif boros energi di tengah masyarakat. Pemerintah sudah gagal dan tak bisa diandalkan sepenuhnya untuk mengatasi masalah lingkungan. Persoalan lingkungan hanya dijadikan perdebatan tak berujung dan kendaraan mencari popularitas di tahun politik menjelang Pemilu 2014.

Naiknya suhu bumi dipicu perusakan hutan untuk kepentingan bisnis perkebunan sawit dan pertambangan. Suhu bumi yang terkatrol sekitar 1 derajat celsius jika dibandingkan dengan seabad silam berdampak pada perubahan iklim dramatis. Petani tanaman pangan hanya dapat pasrah terhadap dampak buruk perubahan iklim, yakni kekeringan dan banjir. Gagal panen pun kerap membayangbayangi hidup dan kehidupan mereka.

Kontemplasi

Rencana kenaikan harga BBM bersubsidi yang (mungkin) akan segera diumumkan dapat menjadi kontemplasi bagi anak bangsa untuk memasuki era baru kebangkitan bioenergi dan untuk memulai gerakan hemat energi guna keberlanjutan kehidupan. Harga minyak mentah yang mendekati ambang psikologis US$100 per barel patut dimaknai sebagai peluang untuk mengembangkan bahan bakar nabati.

Energi ‘alternatif’ hayati itu patut segera disandingkan di tengah masyarakat. Pasalnya, selain tercatat sebagai net oil importer, Indonesia juga dijuluki sebagai negara pengimpor minyak terbesar di Asia. Jika tidak ada eksplorasi baru, cadangan minyak kita hanya cukup untuk 18 tahun lagi. Artinya, ketahanan energi nasional amat rapuh.

Pilihan penggunaan sumber energi alternatif, seperti bioetanol, biodiesel, dan biogas patut segera direalisasikan. Sumber energi hayati itu sangat menguntungkan karena renewable, emisi CO2 dianggap nol, dan mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat guna mencapai target MDGs, yakni mengurangi jumlah orang miskin hingga separuhnya pada 2015.

Atribut ekologis sebagai global value yang menuntun adanya bioenergi kian gencar disuarakan masyarakat negara-negara maju melalui Conference of Parties Ke-13 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC), yang berlangsung di Bali pada 2007.

Kebangkitan bioenergi di Tanah Air sesungguhnya sangat layak mengingat bahan bakunya amat melimpah. Kotoran ternak, sampah, dan berbagai tumbuhan nonpangan sudah lama dikenal dapat diolah menjadi sumber energi alternatif untuk berbagai keperluan. Mulai menanak nasi, menggerakkan mesin kendaraan, hingga menghasilkan energi untuk penerangan agar listrik tidak biarpet.

Pemadaman listrik di sejumlah daerah merupakan ironi pahit untuk Indonesia yang memiliki potensi sumber energi alternatif melimpah. Sulit dibayangkan kehidupan tanpa listrik karena masyarakat sudah terbiasa menggunakan sumber energi yang satu ini untuk pendingin, lampu, komputer, dan hiburan. Kehadiran listrik di tengah masyarakat sudah menjadi sesuatu yang seharusnya tersedia.

Pengembangan bioenergi dimulai sejak terbitnya Perpres No 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Inpres No 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain. Pemerintah mengizinkan pencampuran bensin dengan 10% alkohol dan pencampuran solar dengan 10% biodiesel sawit.

Sayangnya, pengembangan bioenergi terkesan mengalami perlambatan. Nasibnya hampir mirip dengan sejumlah program besar nasional lainnya yang sudah duluan mati suri. Program langit biru, gerakan disiplin nasional, dan gerakan hemat energi dapat menjadi contoh yang mudah diingat publik.
Sejumlah petani di beberapa daerah kecewa dan tidak mau lagi menanam jarak dan singkong sebagai bahan baku bioenergi. Ketidakpastian harga dari pemerintah untuk pembelian minyak jarak menjadi alasan mogok menanam jarak. Euforia terhadap bioenergi lambat laun meredup akibat ketidakkonsistenan pemerintah mendorong program pengembangan bionergi yang pro-poor.

Desa Bioenergi

Pembangunan pertanian yang berpusat di perdesaan seharusnya dapat dirancang dan dimodifi kasi menjadi desa bioenergi untuk menghasilkan beragam bahan baku energi alternatif. Selain berpeluang membuka lapangan kerja baru guna mengatasi laju urbanisasi, juga mengurangi jumlah kemiskinan dan penghematan devisa negara.

Luas lahan kritis di luar kawasan hutan masih sekitar 41,5 juta hektare. Lahan itu dapat dimanfaatkan sebagian ‘lahan abadi perkebunan energi’ guna mengembangkan tanaman jarak, kelapa sawit, aren, singkong, ubi jalar, dan jagung. Kebun penghasil bioenergi akan menjadi andalan utama sumber penghasil devisa di masa datang.

Pemanasan global sebagai bentuk kemerosotan lingkungan yang disebabkan peningkatan emisi gas karbon menyadarkan masyarakat dunia bahwa penggunaan bioenergi harus disandingkan dalam pengambilan keputusan pembangunan berkelanjutan. Selain mampu memenuhi kebutuhan energi, proyek pengembangan desa bioenergi memberikan keuntungan lingkungan yang lebih bersih dan sehat. Pengalaman pemerintah Jerman boleh menjadi contoh. Setelah merealisasikan pembangunan desa bionergi (bioenergy village), rata-rata emisi CO2 di Jerman menjadi 4,3 ton per tahun dari 10,4 ton per tahun pada 2002.

Di era otonomi daerah ini, pembangunan desa bioenergi dapat menjadi pusat unggulan di setiap kabupaten. Dalam pengembangannya ke depan, bahan baku yang digunakan sebaiknya bukan bahan yang biasa dipakai sebagai bahan pangan untuk menghindari kenaikan harga bahan pangan tersebut.

Upaya yang perlu ditempuh untuk menangani masalah itu ialah dengan mencari sumber-sumber bahan baku dengan produktivitas yang lebih tinggi dalam pengembangan bioenergi. Untuk itu, gagasan pembukaan ‘perkebunan energi’ patut menjadi pilihan di masa datang guna memasok bahan baku bioenergi secara berkesinambungan agar ketergantungan pada bahan bakar fosil yang kian menipis dan mahal dapat diatasi.

Perjalanan memang masih panjang. Namun, untuk merealisasikan kebangkitan bioenergi di Tanah Air harus dimulai sejak sekarang, ketika seluruh bangsa di dunia sedang berusaha menemukan sumber energi alternatif yang bisa diperbarui.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar