Tema
Hari Bumi tahun ini yang diperingati 22 April kemarin ialah Renewable energy for better
suistanable resources. Penetapan tema itu amat relevan dengan rencana
pemerintah untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi
dalam waktu dekat. Pemerintah terus meyakinkan masyarakat bahwa akan ada
kebijakan pengurangan subsidi BBM yang filosofinya ialah demi keadilan dan
pemerataan.
Pengurangan subsidi
BBM harus diikuti dengan gerakan hemat energi dan kampanye penggunaan
bahan bakar nabati sebagai sumber energi yang dapat diperbarui (renewable energy). Harapan itu
terkait dengan keadaan bumi yang menjadi rumah kita bersama dalam 20
tahun belakangan ini mengalami pelapukan dan semakin tidak nyaman lagi
dihuni. Suhu bumi semakin panas karena gaya hidup yang konsumtif boros
energi di tengah masyarakat. Pemerintah sudah gagal dan tak bisa
diandalkan sepenuhnya untuk mengatasi masalah lingkungan. Persoalan
lingkungan hanya dijadikan perdebatan tak berujung dan kendaraan mencari
popularitas di tahun politik menjelang Pemilu 2014.
Naiknya suhu bumi
dipicu perusakan hutan untuk kepentingan bisnis perkebunan sawit dan
pertambangan. Suhu bumi yang terkatrol sekitar 1 derajat celsius jika
dibandingkan dengan seabad silam berdampak pada perubahan iklim dramatis.
Petani tanaman pangan hanya dapat pasrah terhadap dampak buruk perubahan
iklim, yakni kekeringan dan banjir. Gagal panen pun kerap
membayangbayangi hidup dan kehidupan mereka.
Kontemplasi
Rencana
kenaikan harga BBM bersubsidi yang (mungkin) akan segera diumumkan dapat
menjadi kontemplasi bagi anak bangsa untuk memasuki era baru kebangkitan
bioenergi dan untuk memulai gerakan hemat energi guna keberlanjutan
kehidupan. Harga minyak mentah yang mendekati ambang psikologis US$100
per barel patut dimaknai sebagai peluang untuk mengembangkan bahan bakar
nabati.
Energi ‘alternatif’
hayati itu patut segera disandingkan di tengah masyarakat. Pasalnya,
selain tercatat sebagai net oil
importer, Indonesia juga dijuluki sebagai negara pengimpor minyak
terbesar di Asia. Jika tidak ada eksplorasi baru, cadangan minyak kita
hanya cukup untuk 18 tahun lagi. Artinya, ketahanan energi nasional amat
rapuh.
Pilihan penggunaan
sumber energi alternatif, seperti bioetanol, biodiesel, dan biogas patut
segera direalisasikan. Sumber energi hayati itu sangat menguntungkan
karena renewable, emisi CO2
dianggap nol, dan mendorong peningkatan kesejahteraan rakyat guna
mencapai target MDGs, yakni mengurangi jumlah orang miskin hingga
separuhnya pada 2015.
Atribut ekologis
sebagai global value yang menuntun adanya bioenergi kian gencar
disuarakan masyarakat negara-negara maju melalui Conference of Parties Ke-13 United Nations Framework Convention
on Climate Change (UNFCCC), yang berlangsung di Bali pada 2007.
Kebangkitan bioenergi
di Tanah Air sesungguhnya sangat layak mengingat bahan bakunya amat
melimpah. Kotoran ternak, sampah, dan berbagai tumbuhan nonpangan sudah lama
dikenal dapat diolah menjadi sumber energi alternatif untuk berbagai
keperluan. Mulai menanak nasi, menggerakkan mesin kendaraan, hingga
menghasilkan energi untuk penerangan agar listrik tidak biarpet.
Pemadaman listrik di
sejumlah daerah merupakan ironi pahit untuk Indonesia yang memiliki
potensi sumber energi alternatif melimpah. Sulit dibayangkan kehidupan
tanpa listrik karena masyarakat sudah terbiasa menggunakan sumber energi
yang satu ini untuk pendingin, lampu, komputer, dan hiburan. Kehadiran
listrik di tengah masyarakat sudah menjadi sesuatu yang seharusnya
tersedia.
Pengembangan bioenergi
dimulai sejak terbitnya Perpres No 5/2006 tentang Kebijakan Energi
Nasional dan Inpres No 1/2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan
Bakar Nabati sebagai Bahan Bakar Lain. Pemerintah mengizinkan pencampuran
bensin dengan 10% alkohol dan pencampuran solar dengan 10% biodiesel
sawit.
Sayangnya,
pengembangan bioenergi terkesan mengalami perlambatan. Nasibnya hampir
mirip dengan sejumlah program besar nasional lainnya yang sudah duluan
mati suri. Program langit biru, gerakan disiplin nasional, dan gerakan
hemat energi dapat menjadi contoh yang mudah diingat publik.
Sejumlah petani di
beberapa daerah kecewa dan tidak mau lagi menanam jarak dan singkong
sebagai bahan baku bioenergi. Ketidakpastian harga dari pemerintah untuk
pembelian minyak jarak menjadi alasan mogok menanam jarak. Euforia
terhadap bioenergi lambat laun meredup akibat ketidakkonsistenan pemerintah
mendorong program pengembangan bionergi yang pro-poor.
Desa Bioenergi
Pembangunan pertanian
yang berpusat di perdesaan seharusnya dapat dirancang dan dimodifi kasi
menjadi desa bioenergi untuk menghasilkan beragam bahan baku energi
alternatif. Selain berpeluang membuka lapangan kerja baru guna mengatasi
laju urbanisasi, juga mengurangi jumlah kemiskinan dan penghematan devisa
negara.
Luas lahan kritis di
luar kawasan hutan masih sekitar 41,5 juta hektare. Lahan itu dapat
dimanfaatkan sebagian ‘lahan abadi perkebunan energi’ guna mengembangkan
tanaman jarak, kelapa sawit, aren, singkong, ubi jalar, dan jagung. Kebun
penghasil bioenergi akan menjadi andalan utama sumber penghasil devisa di
masa datang.
Pemanasan global
sebagai bentuk kemerosotan lingkungan yang disebabkan peningkatan emisi
gas karbon menyadarkan masyarakat dunia bahwa penggunaan bioenergi harus
disandingkan dalam pengambilan keputusan pembangunan berkelanjutan.
Selain mampu memenuhi kebutuhan energi, proyek pengembangan desa
bioenergi memberikan keuntungan lingkungan yang lebih bersih dan sehat.
Pengalaman pemerintah Jerman boleh menjadi contoh. Setelah merealisasikan
pembangunan desa bionergi (bioenergy
village), rata-rata emisi CO2 di Jerman menjadi 4,3 ton per tahun
dari 10,4 ton per tahun pada 2002.
Di era otonomi daerah
ini, pembangunan desa bioenergi dapat menjadi pusat unggulan di setiap
kabupaten. Dalam pengembangannya ke depan, bahan baku yang digunakan
sebaiknya bukan bahan yang biasa dipakai sebagai bahan pangan untuk
menghindari kenaikan harga bahan pangan tersebut.
Upaya yang perlu
ditempuh untuk menangani masalah itu ialah dengan mencari sumber-sumber
bahan baku dengan produktivitas yang lebih tinggi dalam pengembangan bioenergi.
Untuk itu, gagasan pembukaan ‘perkebunan
energi’ patut menjadi pilihan di masa datang guna memasok bahan baku
bioenergi secara berkesinambungan agar ketergantungan pada bahan bakar
fosil yang kian menipis dan mahal dapat diatasi.
Perjalanan memang masih
panjang. Namun, untuk merealisasikan kebangkitan bioenergi di Tanah Air
harus dimulai sejak sekarang, ketika seluruh bangsa di dunia sedang
berusaha menemukan sumber energi alternatif yang bisa diperbarui. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar