SECARA konsepsional, hukum
sejatinya mengejar esensi keadilan sebagai tujuan primernya. Namun,
cita-cita mulia hukum seperti itu sering berbanding terbalik dengan
realitas hukum. Hal itu terpotret secara vulgar pada kasus M Rasyid
Rajasa yang bertindak sebagai pelaku tunggal dalam kecelakaan maut di Tol
Jagorawi pada 1 Januari 2013. Mobil BMW bernomor polisi B 272 HR yang
dikemudikannya menabrak mobil Daihatsu Luxio (F 1622 CY) yang ada di
depannya. Lima penumpang Luxio yang duduk di bagian belakang terlempar
keluar. Dua di antaranya tewas yaitu Harun, 60, dan M Raihan, 1,5, sedangkan
tiga lainnya yakni Enung, Supriyanti, dan Ripal Mandala Putra terluka.
Anehnya meski mengakibatkan korban jiwa,
putra bungsu Menko Perekonomian Hatta Rajasa itu tidak pernah menjalani
penahanan pada semua tingkatan. Ketika kasus itu masih dalam tahap
penyidikan, polisi enggan menahan Rasyid dengan alasan masih sedang dalam
pemulihan traumatik pascakejadian. Hal itu sangat kontras dengan sejumlah
kasus serupa dengan korban yang lebih sedikit, bahkan tanpa korban sama
sekali. Sebutlah kasus tewasnya Annisa Azwar (mahasiswi Keperawatan UI) yang
melompat dari angkot jurusan Muara Angke–Sunter. Jamal bin Jamsuri
(pengemudi angkot) yang tidak memiliki relasi kausalitas dengan kejadian
tersebut langsung ditahan.
Dalam kasus Afriyani Susanti yang
menewaskan sembilan orang, penegak hukum langsung menahan Afriyani
bersama tiga rekannya. Padahal ketiga rekannya tak lebih hanyalah
penumpang dalam mobil yang dikemudikan Afriyani. Pemandangan yang lebih
ironis lagi tampak pada kasus Ninik Setyowati yang diserempet truk
gandeng di Banyumas, Jawa Tengah, hingga menewaskan Kumaratih Sekar.
Meski berkedudukan sebagai korban, ia justru dinyatakan sebagai
tersangka. Padahal Ninik telah mengalami kelumpuhan total dan kehilangan putri
semata wayangnya akibat tragedi nahas itu.
Atraksi penjungkiran amanat dewi keadilan
oleh para adipati peradilan mencapai titik klimaks ketika majelis hakim
PN Jakarta Timur yang diketuai Suharjono memutus perkara Rasyid pada 25
Maret 2013 hanya dengan vonis 5 bulan penjara, percobaan 6 bulan
berdasarkan Pasal 310 ayat 2 dan ayat 4 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu
Lintas Jalan Raya. Putusan itu lebih rendah daripada tuntutan jaksa,
yakni 8 bulan dengan masa percobaan 12 bulan. Namun dengan vonis seperti
itu, Rasyid tidak perlu masuk penjara bila tidak mengulangi perbuatan
sama dalam kurun waktu 6 bulan.
Usik
Keadilan
Putusan hakim seperti itu sungguh-sungguh
telah mempertontonkan tayangan peradilan sesat. Betapa tidak, karena
dalam semua ketentuan pidana tentang kelalaian hingga menghilangkan nyawa
orang lain tidak ada yang mengatur ancaman pidana di bawah 1 tahun. Bandingkan
dengan sikap tegas penegak hukum dalam kasus Afriyani Susanti yang
divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai Antonius
Widijantono melalui putusan No 665/PID B/2012.PN.JKT.PST. Tidak
mengherankan jika vonis hakim terhadap Rasyid sungguh-sungguh mengusik
rasa keadilan masyarakat.
Meski penegak hukum mencoba menyamarkan
kesan pandang bulu dengan berlindung di balik tirai restorative justice sebagai salah satu argumentasi pembenar
majelis hakim dalam memvonis Rasyid seperti itu, publik pada tingkat yang
paling awam sekalipun tetap dapat mencium aroma keberpihakan hakim
terhadap Rasyid.
Bagaimana tidak, karena pranata restorative justice di Indonesia
belum menjadi hukum positif (ius
constitutum). Sampai detik ini, gagasan restorative justice masih merupakan wacana, itu pun hanya
diarahkan pada kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Pertimbangan
lain yang menyebabkan hakim memvonis Rasyid setengah bebas bertumpu pada
argumen bahwa kecelakaan yang mengakibatkan dua nyawa melayang tersebut
tidak melulu kesalahan terdakwa, tetapi juga dari pihak korban. Alasannya
karena bagian bangku mobil korban sudah dimodifikasi sedemikian rupa
hingga terjadilah kecelakaan maut. Argumentasi hakim seperti itu terlalu
di cari-cari karena secanggih apa pun interior mobil dalam hal safety tetap saja berpotensi
menghilangkan nyawa penumpang apabila ditabrak kendaraan lain dengan
kecepatan tinggi. Dalil pembenaran hakim seperti itu merupakan sinyal
yang sangat kuat adanya agenda the
punishment kepada Rasyid dengan membebankan kesalahan pada pihak
korban.
Namun, hal yang sangat mencengangkan di
balik vonis kontroversial tersebut adalah penggunaan dalil tentang status
Rasyid sebagai mahasiswa sebuah universitas di London, Inggris. Semua itu
lagi-lagi merupakan rangkaian pertimbangan yang sangat diskriminatif.
Bukankah banyak kasus yang perlu pendekatan dan pertimbangan seperti itu demi
menghindari kriminalisasi yang tidak patut, tetapi penegak hukum berani
mengambil sikap oposisi dengan pressure publik lantaran tersandera
pengaruh kekuasaan atau keuangan. Sampai di sini penulis teringat dengan
celoteh hu kum Satjipto Raharjo yang menyimpulkan bahwa putusan hakim
ditentukan oleh sarapan paginya.
Fenomena paradoks hukum dan keadilan di
negeri ini nyaris merupakan kisah tanpa akhir. Tengoklah perilaku
diskriminatif penegakan hukum dalam penanganan beberapa kasus yang
melibatkan wong cilik sebagaimana yang menimpa nenek Minah (kasus 3 biji
kakao) di Banyumas, Manisih (kasus sisa panen kapuk randu) di Batang.
Basar dan Cholil (kasus semangka) di Kediri, Syukri (kasus sisa panen
kelapa sawit) di Bangkinang Riau, Rosminah (kasus 1 buah piring milik
majikan) di Tangerang, dll. Semua divonis bersalah dengan penjara meski
perbuatan mereka sangat remeh. Konfigurasi hukum yang ditegakkan tak
ubahnya seperti pisau yang sangat tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.
Ironisnya karena meski dikecam oleh berbagai
pihak, fungsionaris peradilan tak tergerak sedikit pun untuk melakukan
koreksi dan introspeksi. Tan pa sedikit pun merasa malu atau risau dengan
kritikan publik, mereka terus memperturutkan syahwat kebiadaban
peradilan. Hal itu dilakukan dengan mengeksploitasi kewenangan dan
kemerdekaan hakim tanpa peduli jika tindakan mereka telah memasuki
wilayah a bouts of power and
arrogance of authority (pertarungan kekuasaan dan arogansi
kekuasaan).
Bias
Kekuasaan
Sampai di sini citra pengadilan sebagai
benteng terakhir keadilan hanyalah isapan jempol belaka. Sebagian besar
dinding pertahanan pengadilan telah jebol karena digerogoti oleh
fungsionaris pengadilan sendiri. Alhasil asas kesamaan kedudukan di depan
hukum kini semakin bias dengan frasa equal
justice under law but who can for It (kesamaan di depan hukum, tapi
tergantung siapa yang menjalaninya).
Betapa luhur dan tegasnya konsep
penegakan hukum dari Rasulullah SAW yang tidak segan-segan memotong
tangan Fatimah kalau terlibat pencurian meski ia putri beliau.
Achmad Ali (guru besar FH Unhas), ketika
mendengar putranya ditangkap polisi karena terlibat kriminal, bukan saja
tak membela apalagi melindungi, ia malah minta agar anaknya ditahan di
sel paling gelap dan terisolasi. Tak hanya itu, ia minta aparat penegak
hukum agar mencari pasal yang memberatkan hukuman pada anaknya. Jika
Hatta Rajasa sungguh-sungguh seorang negarawan, petinggi partai dan calon
presiden itu seharusnya menggunakan kekuasaan yang ada untuk mencegah
proses hukum yang berlaku tidak adil atas putranya. Namun, fakta justru
memperlihatkan sebaliknya hingga semua proses hukum atas kasus sang anak
penuh dengan nuansa konspirasi, kolusi, dan nepotisme. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar