Rabu, 03 April 2013

Paradoks Hukum dan Keadilan


Paradoks Hukum dan Keadilan
Saharuddin Daming  ;   Mantan Anggota Komnas HAM
MEDIA INDONESIA, 03 April 2013


SECARA konsepsional, hukum sejatinya mengejar esensi keadilan sebagai tujuan primernya. Namun, cita-cita mulia hukum seperti itu sering berbanding terbalik dengan realitas hukum. Hal itu terpotret secara vulgar pada kasus M Rasyid Rajasa yang bertindak sebagai pelaku tunggal dalam kecelakaan maut di Tol Jagorawi pada 1 Januari 2013. Mobil BMW bernomor polisi B 272 HR yang dikemudikannya menabrak mobil Daihatsu Luxio (F 1622 CY) yang ada di depannya. Lima penumpang Luxio yang duduk di bagian belakang terlempar keluar. Dua di antaranya tewas yaitu Harun, 60, dan M Raihan, 1,5, sedangkan tiga lainnya yakni Enung, Supriyanti, dan Ripal Mandala Putra terluka.

Anehnya meski mengakibatkan korban jiwa, putra bungsu Menko Perekonomian Hatta Rajasa itu tidak pernah menjalani penahanan pada semua tingkatan. Ketika kasus itu masih dalam tahap penyidikan, polisi enggan menahan Rasyid dengan alasan masih sedang dalam pemulihan traumatik pascakejadian. Hal itu sangat kontras dengan sejumlah kasus serupa dengan korban yang lebih sedikit, bahkan tanpa korban sama sekali. Sebutlah kasus tewasnya Annisa Azwar (mahasiswi Keperawatan UI) yang melompat dari angkot jurusan Muara Angke–Sunter. Jamal bin Jamsuri (pengemudi angkot) yang tidak memiliki relasi kausalitas dengan kejadian tersebut langsung ditahan.

Dalam kasus Afriyani Susanti yang menewaskan sembilan orang, penegak hukum langsung menahan Afriyani bersama tiga rekannya. Padahal ketiga rekannya tak lebih hanyalah penumpang dalam mobil yang dikemudikan Afriyani. Pemandangan yang lebih ironis lagi tampak pada kasus Ninik Setyowati yang diserempet truk gandeng di Banyumas, Jawa Tengah, hingga menewaskan Kumaratih Sekar. Meski berkedudukan sebagai korban, ia justru dinyatakan sebagai tersangka. Padahal Ninik telah mengalami kelumpuhan total dan kehilangan putri semata wayangnya akibat tragedi nahas itu.

Atraksi penjungkiran amanat dewi keadilan oleh para adipati peradilan mencapai titik klimaks ketika majelis hakim PN Jakarta Timur yang diketuai Suharjono memutus perkara Rasyid pada 25 Maret 2013 hanya dengan vonis 5 bulan penjara, percobaan 6 bulan berdasarkan Pasal 310 ayat 2 dan ayat 4 UU No 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Jalan Raya. Putusan itu lebih rendah daripada tuntutan jaksa, yakni 8 bulan dengan masa percobaan 12 bulan. Namun dengan vonis seperti itu, Rasyid tidak perlu masuk penjara bila tidak mengulangi perbuatan sama dalam kurun waktu 6 bulan.

Usik Keadilan

Putusan hakim seperti itu sungguh-sungguh telah mempertontonkan tayangan peradilan sesat. Betapa tidak, karena dalam semua ketentuan pidana tentang kelalaian hingga menghilangkan nyawa orang lain tidak ada yang mengatur ancaman pidana di bawah 1 tahun. Bandingkan dengan sikap tegas penegak hukum dalam kasus Afriyani Susanti yang divonis 15 tahun penjara oleh majelis hakim yang diketuai Antonius Widijantono melalui putusan No 665/PID B/2012.PN.JKT.PST. Tidak mengherankan jika vonis hakim terhadap Rasyid sungguh-sungguh mengusik rasa keadilan masyarakat.

Meski penegak hukum mencoba menyamarkan kesan pandang bulu dengan berlindung di balik tirai restorative justice sebagai salah satu argumentasi pembenar majelis hakim dalam memvonis Rasyid seperti itu, publik pada tingkat yang paling awam sekalipun tetap dapat mencium aroma keberpihakan hakim terhadap Rasyid.

Bagaimana tidak, karena pranata restorative justice di Indonesia belum menjadi hukum positif (ius constitutum). Sampai detik ini, gagasan restorative justice masih merupakan wacana, itu pun hanya diarahkan pada kasus yang melibatkan anak sebagai pelaku tindak pidana. Pertimbangan lain yang menyebabkan hakim memvonis Rasyid setengah bebas bertumpu pada argumen bahwa kecelakaan yang mengakibatkan dua nyawa melayang tersebut tidak melulu kesalahan terdakwa, tetapi juga dari pihak korban. Alasannya karena bagian bangku mobil korban sudah dimodifikasi sedemikian rupa hingga terjadilah kecelakaan maut. Argumentasi hakim seperti itu terlalu di cari-cari karena secanggih apa pun interior mobil dalam hal safety tetap saja berpotensi menghilangkan nyawa penumpang apabila ditabrak kendaraan lain dengan kecepatan tinggi. Dalil pembenaran hakim seperti itu merupakan sinyal yang sangat kuat adanya agenda the punishment kepada Rasyid dengan membebankan kesalahan pada pihak korban.

Namun, hal yang sangat mencengangkan di balik vonis kontroversial tersebut adalah penggunaan dalil tentang status Rasyid sebagai mahasiswa sebuah universitas di London, Inggris. Semua itu lagi-lagi merupakan rangkaian pertimbangan yang sangat diskriminatif. Bukankah banyak kasus yang perlu pendekatan dan pertimbangan seperti itu demi menghindari kriminalisasi yang tidak patut, tetapi penegak hukum berani mengambil sikap oposisi dengan pressure publik lantaran tersandera pengaruh kekuasaan atau keuangan. Sampai di sini penulis teringat dengan celoteh hu kum Satjipto Raharjo yang menyimpulkan bahwa putusan hakim ditentukan oleh sarapan paginya.

Fenomena paradoks hukum dan keadilan di negeri ini nyaris merupakan kisah tanpa akhir. Tengoklah perilaku diskriminatif penegakan hukum dalam penanganan beberapa kasus yang melibatkan wong cilik sebagaimana yang menimpa nenek Minah (kasus 3 biji kakao) di Banyumas, Manisih (kasus sisa panen kapuk randu) di Batang. Basar dan Cholil (kasus semangka) di Kediri, Syukri (kasus sisa panen kelapa sawit) di Bangkinang Riau, Rosminah (kasus 1 buah piring milik majikan) di Tangerang, dll. Semua divonis bersalah dengan penjara meski perbuatan mereka sangat remeh. Konfigurasi hukum yang ditegakkan tak ubahnya seperti pisau yang sangat tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas.

Ironisnya karena meski dikecam oleh berbagai pihak, fungsionaris peradilan tak tergerak sedikit pun untuk melakukan koreksi dan introspeksi. Tan pa sedikit pun merasa malu atau risau dengan kritikan publik, mereka terus memperturutkan syahwat kebiadaban peradilan. Hal itu dilakukan dengan mengeksploitasi kewenangan dan kemerdekaan hakim tanpa peduli jika tindakan mereka telah memasuki wilayah a bouts of power and arrogance of authority (pertarungan kekuasaan dan arogansi kekuasaan).

Bias Kekuasaan

Sampai di sini citra pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan hanyalah isapan jempol belaka. Sebagian besar dinding pertahanan pengadilan telah jebol karena digerogoti oleh fungsionaris pengadilan sendiri. Alhasil asas kesamaan kedudukan di depan hukum kini semakin bias dengan frasa equal justice under law but who can for It (kesamaan di depan hukum, tapi tergantung siapa yang menjalaninya).

Betapa luhur dan tegasnya konsep penegakan hukum dari Rasulullah SAW yang tidak segan-segan memotong tangan Fatimah kalau terlibat pencurian meski ia putri beliau.

Achmad Ali (guru besar FH Unhas), ketika mendengar putranya ditangkap polisi karena terlibat kriminal, bukan saja tak membela apalagi melindungi, ia malah minta agar anaknya ditahan di sel paling gelap dan terisolasi. Tak hanya itu, ia minta aparat penegak hukum agar mencari pasal yang memberatkan hukuman pada anaknya. Jika Hatta Rajasa sungguh-sungguh seorang negarawan, petinggi partai dan calon presiden itu seharusnya menggunakan kekuasaan yang ada untuk mencegah proses hukum yang berlaku tidak adil atas putranya. Namun, fakta justru memperlihatkan sebaliknya hingga semua proses hukum atas kasus sang anak penuh dengan nuansa konspirasi, kolusi, dan nepotisme. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar