SENIN, tanggal 1 April 2013, saya bangun pukul
02.30 dengan perasaan sendu. Ya, saya akan segera pergi dari rumah dinas
pejabat tinggi negara di Jalan Widya Candra III/7 ini. Lima tahun saya
tinggal di rumah nan nyaman ini karena menjadi ketua Mahkamah Konstitusi
(MK). Kalau tidak sedang ke luar Jakarta, hampir setiap tengah malam saya
bangun, bersalat tahajud, membaca Alquran, dan bermunajat bersama istri
sampai masuk waktu salat Subuh di rumah Widya Candra ini.
Bangun tengah malam di 1 April 2013 ini saya merasa
sendu, tetapi sama sekali tidak sedih. Bagi saya, rasa sendu adalah
percampuran antara bahagia, bangga, senang, dan haru karena akan berpisah
dengan tempat dan orang-orang yang dipekerjakan di rumah ini. Kini saya
akan pergi, mengalir di dalam berbagai arus aliran kehidupan yang harus
saya lalui lagi.
Saya tidak cemas atau sedih karena selama ini pun saya
selalu mengalir di atas arus air kehidupan dan selalu berusaha tidak
menjadi buih. Saya selalu berusaha menjadi arus air yang menentukan,
bukan jadi buih yang terombang-ambing. Sejak dulu saya selalu berdoa, "Allaahumma rabbi
adkhilnie mudkhla shidqin wa akhrijnie mukhraja shidqin waj allie min
ladunka sulthaanan nashieraa (Ya
Allah, bawalah saya masuk ke suatu pekerjaan dan jabatan dengan cara
masuk yang benar dan baik, bawa pulalah saya (pada saatnya) keluar dan
meninggalkan satu tugas dan jabatan dengan cara yang benar, baik, nyaman,
dan tidak meninggalkan beban...). Dulu saya masuk ke MK dengan sangat
baik, kemudian bekerja selama lima tahun dengan baik pula, dan kini pergi
dari MK dengan baik dan penuh kenangan manis.
Kalaulah saya ditanya, suka atau dukakah selama lima
tahun saya bertugas sebagai ketua MK, sudah pasti jawabannya, ada suka
dan dukanya. Tetapi, harus saya katakan dengan jujur bahwa sungguh lebih
banyak suka daripada duka dalam menjabat ketua MK itu. Selain fasilitas
yang lebih dari cukup bagi saya yang biasa hidup sederhana, saya merasa
bersuka dan bersyukur karena selama memimpin MK sudah berusaha menjadi
arus air yang mengalir kuat.
Saya bersama kawan-kawan sudah berusaha menjadikan MK
sebagai lembaga yudikatif yang independen, mengeluarkan vonis-vonis yang
bukan hanya ingin menegakkan hukum, melainkan lebih dari itu, menegakkan
keadilan. Kami membuat terobosan-terobosan untuk menegakkan keadilan
dengan vonis yang sering menghebohkan dan dikecam mereka yang kalah dalam
perkara. Demi keadilan, kepastian, dan kemanfaatan hukum, kami tak peduli
dengan kehebohan, kontroversi, atau kecaman atas vonis yang kami keluarkan.
Ada juga duka-duka kecil. Adakalanya MK dituduh telah
diintervensi atau disuap. Dalam kasus judicial review, kadang
diisukan MK diintervensi dan dalam kasus pemilu (pileg dan pilkada),
kadang MK diisukan menerima suap. Saya katakan, "Tak ada yang bisa
mengintervensi MK, presiden sekali pun."
Dalam perkara pilkada Kabupaten Kapuas, misalnya, ada
SMS beruntun yang menuduh hakim-hakim MK menerima suap dan akan masuk
neraka karena memenangkan (maaf, SARA) orang nonmuslim. Secara kelakar
saya jawab SMS itu, "Ya, mari berdoa, semoga hakim-hakim MK masuk ke
neraka kalau menerima suap, tetapi semoga pula orang yang menuduh MK
menerima suap masuk neraka Jahanam kalau tuduhannya tak benar. Imbang kan?"
Seorang kiai dari Sampang yang jagonya kalah di MK
mengirim SMS begini, "Ternyata hakim MK bisa disuap, memenangkan
yang curang, saya takkan mendukung Anda jadi presiden." Sambil
tersenyum saya jawab SMS itu, "Siapa yang ingin jadi presiden? Saya
pun tak ingin didukung oleh orang yang minta perkaranya menang, padahal
memang kalah. Itu dosa besar."
Pernah juga diisukan, ketua MK menerima suap Rp 10
miliar dan setiap hakim Rp 7 miliar dari Fuad Amin dalam perkara pilkada
di Bangkalan. Isu sampah itu konon sempat disampaikan kepada Kiai Bahar
sebagai info A-1. Saya bilang, "Itu info A-1 sampah." Siapa
yang menyerahkan, siapa yang menerima, di mana, dan melalui rekening
nomor berapa. Ayo, sekarang buka saja, sampai ke neraka pun saya layani.
Mungkin ada calo yang mengaku kenal dan bisa menyuap
MK, padahal itu hanya penipuan dan uangnya dimakan sendiri oleh si calo.
Itu banyak terjadi dan saya sering melaporkannya ke polisi.
Isu-isu penyuapan seperti itu bagi saya hanyalah sampah
yang hanya sedikit membuat duka. Secara keseluruhan, saya menikmati rasa
suka selama di MK. Jadi, saya akan terus mengalir, pergi dari MK dengan
senang dan penuh kenangan manis. ●
|
Artikel kayak gini pantasnya dimasukkan dalam blog pribadi, bukan dimuat koran
BalasHapus