Selasa, 02 April 2013

Yogyakarta Antipreman


Yogyakarta Antipreman
Henri Saputro ;   Peneliti di Politic Local Democracy Analysis (Pelda) 
KORAN SINDO, 02 April 2013
  

Ada sisi lain yang timbul dari peristiwa penembakan empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Sleman Yogyakarta, Sabtu dini hari 23 Maret 2013 lalu. 

Sisi lain itu berasal dari curahan hati sebagian warga Yogyakarta menyikapi peristiwa tersebut. Ungkapan hati mereka bisa dilihat di beberapa media sosial, seperti Twitter, Facebook, maupun BlackBerry Massanger(BBM). Di media sosial Twitter, misalnya. Beberapa jam setelah peristiwa penembakan, warga Yogyakarta memenuhi timeline dengan hastag #bersihjogja, dan #premanjogja. Di BlackBerry Massanger, kampanye melawan preman dilakukan dengan memajang foto profil bertuliskan hastag #rindujogjanyaman. 

Seruan yang disampaikan oleh warga Yogya di berbagai media sosial, menunjukkan bahwa mereka sudah jengah dengan segala bentuk aksi premanisme di kota yang terkenal dengan slogan Kota Berhati Nyaman itu. Mereka menilai, perlu tindakan super-ekstra yang dapat memadamkan aksi para preman tersebut. Sikap anti preman ini dipertegas dengan digelarnya unjuk rasa oleh sebagian warga masyarakat Yogyakarta pada Kamis 28 Maret 2013 lalu di depan kantor DPRD DIY. 

Premanisme memang sudah cukup meresahkan masyarakat Yogyakarta. Pimpinan Kepolisian dan TNI di Yogyakarta bahkan menyatakan akan bekerja sama memberantas aksi premanisme yang ada di wilayah Yogyakarta (Kedaulatan Rakyat, Sabtu 20 Maret 2013). Pernyataan dari petinggi dua institusi ini disampaikan pasca aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok preman terhadap dua personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dua lokasi yang berbeda di Yogyakarta dalam kurun waktu satu minggu. Sertu Santosa tewas ditusuk pada 19 Maret 2013, dan Sertu Sriyono dianiaya pada 20 Maret 2013. 

Empat tahanan yang ditembak, Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Diki, Yohanes Juan Manbait , Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi, dan Adrianus Candra Galaja alias Dedi, adalah pelaku pembunuhan Sertu Santoso. Dari data kepolisian, sebelumnya Diki juga mempunyai catatan tindak kriminal, pernah ditahan dalam kasus pembunuhan dan pemerkosaan tahun 2007 silam. Maraknya kekerasan yang terjadi di Yogyakarta beberapa tahun terakhir mengingatkan publik bahwa kota ini ternyata tidak luput dari premanisme. 

Gejala premanisme di Yogyakarta sudah muncul sejak tahun 1970-an, dengan ditandai lahirnya geng di sejumlah perkampungan. Preman di Yogya lebih sering disebut dengan Gali. Pada masa itu, di Kampung Terban, muncul sebuah geng dengan nama Q-zruh, singkatan dari Qita Zuka Ribut Untuk Hiburan (kita suka ribut untuk hiburan), dengan seorang preman bernama Darto Satrio sebagai pimpinannya. Bertahun berikutnya, posisi Darto digantikan oleh Kintoko, ponakan Kolonel Hasbi. Seorang petinggi militer di Yogyakarta ketika itu. 

Berlanjut ke era 1980-an, di kampung Kauman, sebelah utara Alun-alun Utara Kraton Yogyakarta, muncul geng lain bernama Joxzin (Pojox Benzin) dengan pentolan bernama Maman Sulaiman, seorang desertir marinir. Ia adalah seorang preman yang terkenal pada periode itu. Perlahan geng Joxzin mulai menggeser dominasi geng Qzruh. Selama bertahun-tahun, dua geng itu saling berebut dominasi di kota Yogyakarta. Tidak jarang terjadi gesekan yang merembet pada aksi kekerasan yang melibatkan dari kedua belah pihak. 

Regenerasi kepemimpinan geng terjadi secara alami. Apabila seorang pimpinan geng mulai menua, maka posisinya akan digantikan oleh personil yang lebih muda dan berfisik kuat. Muncul preman dan Geng di Yogyakarta tidak semata demi gengsi semata, namun juga ada motif ekonomi di balik itu. Preman dan geng biasanya mempunyai jaringan bisnis berupa jasa pengamanan, penagihan, perjudian, hingga jasa parkir. Para pelaku usaha tempat hiburan malam adalah pengguna utama jasa mereka. Kekuasan geng Yogyakarta mulai redup pada pertengahan tahun 2000-an. 

Kegagalan melakukan regenerasi adalah penyebabnya. Para pentolan geng yang sudah mulai uzur meninggalkan dunia premanisme. Tidak sedikit dari mereka yang membangun tempat ibadah dan menjadi tokoh agama atau tokoh masyarakat. Salah satu contohnya adalah Mas Joko, yang lebih dikenal dengan Gun Jack, salah pimpinan geng Joxzin di akhir tahun 1990-an. Perlahan, preman Yogya tergantikan oleh kelompok pendatang. Sejumlah kelompok usaha beralih tangan dan digantikan oleh kelompok dari luar Yogyakarta. Empat tahanan yang ditembak di LP Cebongan adalah personel tenaga pengamanan yang disewa oleh pelaku usaha hiburan malam. 

Sejumlah tempat usaha lain juga didominasi oleh kelompok yang berasal dari satu daerah tertentu. Munculnya preman adalah ekses negatif dari dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta. Dinamika yang membuat Yogyakarta bermetamorfosa dari kota besar menjadi kota metropolitan. Tugas utama pihak berwenang, yakni pemerintah maupun aparat keamanan, adalah mengembalikan rasa aman kepada warga masyarakat Yogyakarta. Karakteristik preman di Yogyakarta yang cukup khas bisa menjadi referensi yang memudahkan guna mencari solusi dari permasalahan premanisme ini. 

Merunut ke belakang, premanisme di Yogyakarta adalah premanisme dengan basis etnisitas. Pemberantasan preman harus dilakukan secara terstruktur dan terorganisir rapi. Jangan sungkan untuk melibatkan anggota masyarakat, warga asli maupun warga pendatang (asal para preman tersebut). Pendekatan yang humanis dengan berdialog harus dikedepankan ketimbang dengan cara represif. Pemerintah maupun aparat tak perlu takut mendapat perlawanan dari para preman. 

Dukungan publik Yogya sudah pasti akan datang karena seperti yang mereka serukan di berbagai media sosial, mereka sudah sangat jengah dengan perilaku premanisme ini. Masalah preman ini mutlak harus menjadi prioritas untuk diselesaikan. Jika tidak segera diselesaikan, jangan heran apabila nanti di kemudian hari slogan meleset menjadi Yogya Berhenti Nyaman. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar