Ada sisi lain yang timbul dari peristiwa penembakan empat tahanan
di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan Sleman Yogyakarta, Sabtu dini hari 23
Maret 2013 lalu.
Sisi lain itu berasal dari curahan hati sebagian warga Yogyakarta
menyikapi peristiwa tersebut. Ungkapan hati mereka bisa dilihat di
beberapa media sosial, seperti Twitter, Facebook, maupun BlackBerry
Massanger(BBM). Di media sosial Twitter, misalnya. Beberapa jam setelah
peristiwa penembakan, warga Yogyakarta memenuhi timeline dengan hastag
#bersihjogja, dan #premanjogja. Di BlackBerry Massanger, kampanye melawan
preman dilakukan dengan memajang foto profil bertuliskan hastag
#rindujogjanyaman.
Seruan yang disampaikan oleh warga Yogya di berbagai media sosial,
menunjukkan bahwa mereka sudah jengah dengan segala bentuk aksi
premanisme di kota yang terkenal dengan slogan Kota Berhati Nyaman itu.
Mereka menilai, perlu tindakan super-ekstra yang dapat memadamkan aksi
para preman tersebut. Sikap anti preman ini dipertegas dengan digelarnya
unjuk rasa oleh sebagian warga masyarakat Yogyakarta pada Kamis 28 Maret
2013 lalu di depan kantor DPRD DIY.
Premanisme memang sudah cukup meresahkan masyarakat Yogyakarta. Pimpinan
Kepolisian dan TNI di Yogyakarta bahkan menyatakan akan bekerja sama
memberantas aksi premanisme yang ada di wilayah Yogyakarta (Kedaulatan
Rakyat, Sabtu 20 Maret 2013). Pernyataan dari petinggi dua institusi ini
disampaikan pasca aksi kekerasan yang dilakukan oleh kelompok preman
terhadap dua personel Tentara Nasional Indonesia (TNI) di dua lokasi yang
berbeda di Yogyakarta dalam kurun waktu satu minggu. Sertu Santosa tewas
ditusuk pada 19 Maret 2013, dan Sertu Sriyono dianiaya pada 20 Maret
2013.
Empat tahanan yang ditembak, Hendrik Benyamin Sahetapy Engel alias Diki,
Yohanes Juan Manbait , Gameliel Yermianto Rohi Riwu alias Adi, dan
Adrianus Candra Galaja alias Dedi, adalah pelaku pembunuhan Sertu
Santoso. Dari data kepolisian, sebelumnya Diki juga mempunyai catatan
tindak kriminal, pernah ditahan dalam kasus pembunuhan dan pemerkosaan
tahun 2007 silam. Maraknya kekerasan yang terjadi di Yogyakarta beberapa
tahun terakhir mengingatkan publik bahwa kota ini ternyata tidak luput
dari premanisme.
Gejala premanisme di Yogyakarta sudah muncul sejak tahun 1970-an, dengan
ditandai lahirnya geng di sejumlah perkampungan. Preman di Yogya lebih
sering disebut dengan Gali. Pada masa itu, di Kampung Terban, muncul
sebuah geng dengan nama Q-zruh, singkatan dari Qita Zuka Ribut Untuk
Hiburan (kita suka ribut untuk hiburan), dengan seorang preman bernama
Darto Satrio sebagai pimpinannya. Bertahun berikutnya, posisi Darto
digantikan oleh Kintoko, ponakan Kolonel Hasbi. Seorang petinggi militer
di Yogyakarta ketika itu.
Berlanjut ke era 1980-an, di kampung Kauman, sebelah utara Alun-alun
Utara Kraton Yogyakarta, muncul geng lain bernama Joxzin (Pojox Benzin)
dengan pentolan bernama Maman Sulaiman, seorang desertir marinir. Ia
adalah seorang preman yang terkenal pada periode itu. Perlahan geng
Joxzin mulai menggeser dominasi geng Qzruh. Selama bertahun-tahun, dua
geng itu saling berebut dominasi di kota Yogyakarta. Tidak jarang terjadi
gesekan yang merembet pada aksi kekerasan yang melibatkan dari kedua
belah pihak.
Regenerasi kepemimpinan geng terjadi secara alami. Apabila seorang
pimpinan geng mulai menua, maka posisinya akan digantikan oleh personil
yang lebih muda dan berfisik kuat. Muncul preman dan Geng di Yogyakarta
tidak semata demi gengsi semata, namun juga ada motif ekonomi di balik
itu. Preman dan geng biasanya mempunyai jaringan bisnis berupa jasa
pengamanan, penagihan, perjudian, hingga jasa parkir. Para pelaku usaha
tempat hiburan malam adalah pengguna utama jasa mereka. Kekuasan geng
Yogyakarta mulai redup pada pertengahan tahun 2000-an.
Kegagalan melakukan regenerasi adalah penyebabnya. Para pentolan geng
yang sudah mulai uzur meninggalkan dunia premanisme. Tidak sedikit dari
mereka yang membangun tempat ibadah dan menjadi tokoh agama atau tokoh
masyarakat. Salah satu contohnya adalah Mas Joko, yang lebih dikenal
dengan Gun Jack, salah pimpinan geng Joxzin di akhir tahun 1990-an.
Perlahan, preman Yogya tergantikan oleh kelompok pendatang. Sejumlah
kelompok usaha beralih tangan dan digantikan oleh kelompok dari luar
Yogyakarta. Empat tahanan yang ditembak di LP Cebongan adalah personel
tenaga pengamanan yang disewa oleh pelaku usaha hiburan malam.
Sejumlah tempat usaha lain juga didominasi oleh kelompok yang berasal
dari satu daerah tertentu. Munculnya preman adalah ekses negatif dari
dinamika kehidupan masyarakat Yogyakarta. Dinamika yang membuat
Yogyakarta bermetamorfosa dari kota besar menjadi kota metropolitan.
Tugas utama pihak berwenang, yakni pemerintah maupun aparat keamanan,
adalah mengembalikan rasa aman kepada warga masyarakat Yogyakarta.
Karakteristik preman di Yogyakarta yang cukup khas bisa menjadi referensi
yang memudahkan guna mencari solusi dari permasalahan premanisme ini.
Merunut ke belakang, premanisme di Yogyakarta adalah premanisme dengan
basis etnisitas. Pemberantasan preman harus dilakukan secara terstruktur
dan terorganisir rapi. Jangan sungkan untuk melibatkan anggota
masyarakat, warga asli maupun warga pendatang (asal para preman
tersebut). Pendekatan yang humanis dengan berdialog harus dikedepankan
ketimbang dengan cara represif. Pemerintah maupun aparat tak perlu takut
mendapat perlawanan dari para preman.
Dukungan publik Yogya sudah pasti akan datang karena seperti yang mereka
serukan di berbagai media sosial, mereka sudah sangat jengah dengan
perilaku premanisme ini. Masalah preman ini mutlak harus menjadi
prioritas untuk diselesaikan. Jika tidak segera diselesaikan, jangan
heran apabila nanti di kemudian hari slogan meleset menjadi Yogya
Berhenti Nyaman. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar