Bassam Yusuf hanyalah seorang satiris yang memandu
program mingguan “al-Barnamaj” di
stasiun televisi swasta Mesir, CBC. Lewat humor dan satire-satirenya, dia
menyihir perhatian tak kurang dari 30 juta pasang mata masyarakat Mesir
dan dunia Arab. Atas ketenarannya, Bassam dijuluki “Jon Stewart Mesir” yang disejajarkan dengan nama satiris
asal Amerika Serikat yang punya the Daily Show.
Alkisah, “Jon
Stewart Mesir” itu kini membuat resah kaum Salafi maupun rezim
Ikhwani. Berbagai upaya dicoba untuk menghentikan Bassam yang memarodikan
apa saja, termasuk Presiden Mursi. Pekan lalu, Bassam mau dijerat hukum
dengan tuduhan “menghina Islam dan
Presiden Mursi”. Namun tak mudah bagi rezim Mursi menjinakkan Bassam.
Ribuan pendukung menyertainya ke mahkamah, dan dia urung dibui sekalipun
didenda.
Ketenaran dan kecintaan rakyat Mesir terhadap
Bassam kini menambah kejengkelan mereka terhadap Mursi. Di luar negeri,
Bassam menuai simpati. Dari Amerika, Jon Stewart murka akan intrik-intrik
rezim Mursi. Stewart mengecam Mursi sambil menyebutnya mustahil menduduki
kursi kepresidenan tanpa kontribusi sosok-sosok seperti Bassam dalam
menumbangkan rezim lama.
Namun susu kebebasan kini berbalas tuba intimidasi.
Ikhwani dan Salafi sebagai kekuatan dominan perpolitikan Mesir, kini
mengumbar gelagat anti-keterbukaan. Meski parodi dan satire Bassam hampir
mengena semua faksi politik, yang paling terganggu saraf humornya adalah
kaum Ikhwani dan Salafi. Menuduh Bassam “menghina Islam dan presiden” tiada lain wujud ketegangan
Islamisme menghadapi humor dan senda gurau dunia.
Sikap Rezim terhadap Satire
Dalam sejarah Mesir, sikap kurang bersahabat
terhadap humor lebih sengit ditunjukkan penguasa yang lebih ideologis.
Adil Hamuda, dalam an-Nuktah as-Siyasiyyah: Kaifa Yaskhar
al-Mishriyyun min Hukkamihim(Satire Politik: Bagaimana Orang Mesir
Mencemooh Pemimpin Mereka, 1964), membuktikan tesis ini. Sekalipun nuktah
siyasiyyah (satire politik) merupakan kultur keseharian orang
Mesir, tingkat toleransi penguasa atas peredarannya tampak berbeda-beda.
Sosok ideologis macam Gamal Abdul Nasser sangat
sensitif terhadap satire. Dirinya konon menugaskan intelijen untuk
menghimpun berbagai satire untuk dipetakan dan dianalisis. Di saat survei
belum lazim, peredaran satire adalah salah satu barometer untuk mengukur
opini publik. Nasser pernah juga memecat beberapa menteri yang dicurigai
memasok satire-satire politik tentang dirinya. Tatkala Mesir kalah perang
lawan Israel (1967), Nasser meminta rakyatnya untuk tidak mengembangkan
satire-satire getir tentang angkatan perangnya.
Presiden Anwar Sadat dan Husni Mubarak terbilang
rileks menghadapi satire. Sadat bahkan merupakan objek satir paling kaya
dan paling lucu sampai kini. Sikapnya yang cuek dan berkesan tak tahu
apa-apa, telah menginspirasi banyak parodi. Syahdan, Sadat, Ummi Kultsum
(diva Mesir sepanjang masa), dan Najwa Fuad (penari perut), pergi ke
sebuah pentas musikal. Untuk masuk, semua harus memastikan identitas.
Ummi Kultsum bernyanyi merdu dan dia pun lolos sensor. Najwa masuk dengan
bukti kelenturan perut dan buah dada. Sadat? Dia mengaku tak mampu
membuktikan apa-apa. Atas kejujurannya, yakinlah petugas sensor bahwa dia
sebenar-benarnya Sadat (Khalid Kishtainy, Arab Political Humor,
1985).
Mubarakpun sangat paham kultur Mesir dan santai
menghadapi satire. Soal satire, dia pernah bilang: “da’uhum biyetasallu!” (biarlah mereka bersenda gurau!).
Namun di ujung masa kekuasannya, reproduksi satire-satire politik yang
mencemooh diri dan keluarganya berlimpah. Umpama: Presiden Haitsam Jamal
Mubarak (cucu Mubarak) mengucapkan selamat tahun baru 2075 sembari
menegaskan suksesi kekuasan takkan berlangsung lewat cara
pewarisan.
Saraf Ikhwani versus Pesona Satire
Kini rezim Ikhwani diuji saraf humornya, tak hanya
oleh Bassam, tapi oleh kultur satire yang begitu mengakar pada masyarakat
Mesir. Antusiasme rakyat Mesir akan satire kini bisa dibuktikan lewat
survei. Hasilnya: 70% gemar berburu nuktah terbaru sebagai pelipur lara
dari dunia politik. 17% menyimak nuktah untuk menyelami pendapat orang.
Ajaibnya, 81,5% mengaku tak lagi ingat nuktah yang pernah mereka simak
sebelumnya (www.hashembahary.net).
Fakta ini menunjukkan betapa ironisnya memerkarakan
Bassam. Namun, satire Bassam kini memang masif tersiar. Bassam pernah
mengontraskan hipokrisi Mursi. Di saat Mubarak menerima pinjaman Dana
Moneter Internasional (IMF), video Mursi tampil dengan kritik pedas yang
menudingnya riba. Kini, Presiden Mursi justru membantah kalau bantuan IMF
mengandung riba. “Auzubillah!
Bagaimana mungkin saya biarkan rakyat Mesir makan riba? Bunga IMF itu
tiada lain ongkos administrasi saja!”
Di atas Mursi, kaum Salafi sungguh lebih geram
terhadap Bassam. Mereka memvonis Bassam keluar Islam. Bassam santai
menyangkal: “Jika kalian memvonis
begitu, kami akan berhenti memanggil kalian syekh dan ahli agama!”
Secara stereotifikal, Bassam menyeru rakyat Mesir segera mengabadikan
foto Spink dan Piramida sebelum bercadar. Iklan pasta gigi berganti siwak, dan sejak era
Ikhwani-Salafi, julukan “kapten” timnas Mesir berganti “syekh”. “Pelatih”
bola dipanggil “amir” yang di tepi lapangan terus berseru: “Tembak, ya
akhi!”
Bassam Tak Boleh Padam!
Bagi pendukungnya, satire-satire Bassam jauh dari
pelecehan agama dan justru menelanjangi mereka-mereka yang memerdagangkan
agama. Bassam Muslim taat yang dipandang
sebagai pelipur lara dari frustasi
sosial melawan kekuasaan yang kurang bertanggungjawab. Nagih
Ibrahim—syekh Salafi yang cukup paham kultur Mesir—menjuluki Bassam “setan yang bertugas menunjukkan
aib-aib kita (kaum Salafi)” (www.almasryalyoum.com, 17 Januari 2013).
Direktur eksekutif the Egyptian Initiative for Personal Rights, Hossam Bahgat,
memuji pencapaian Bassam di tengah lemahnya kubu oposisi menghadapi rezim
Ikhwani-Salafi. “Anda boleh menulis
disertasi tebal tentang kontradiksi diskursus Salafi, atau laporan HAM
tentang retorika keagamaan kaum fanatis. Namun semua takkan pernah
mencapai setengah efektivitas pesan Bassam yang sampai saban pekan,”
tandasnya (New York Times, 31 Desember 2012).
Kuatnya pengaruh Bassam membuat rezim Mursi dan
kaum Salafi seperti duduk di kursi api. Satire-satire Bassam telah
berfungsi sebagai desakralisasi Ikhwani dan penawar kultur ketakutan yang
ditawarkan Salafi. Cara-cara Bassam dianggap bertuah melawan kultur
otoritarian. “Lewat satire—bukan
mobilisasi kekerasan—wibawa rezim otoriter lambat laun runtuh dan
menunggu jatuh.” Demikian petuah novelis Mesir, Albert Cossery,
dalam al-`Unf wa al-Sukhriyyah (Kekerasan dan Satire,
1964). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar