Sabtu, 13 April 2013

Rezim Islamis dalam Tantangan Satire


Rezim Islamis dalam Tantangan Satire
Novriantoni Kahar  ;  Dosen Paramadina, Pengamat Timur Tengah
KORAN TEMPO, 12 April 2013

  
Bassam Yusuf hanyalah seorang satiris yang memandu program mingguan “al-Barnamaj” di stasiun televisi swasta Mesir, CBC. Lewat humor dan satire-satirenya, dia menyihir perhatian tak kurang dari 30 juta pasang mata masyarakat Mesir dan dunia Arab. Atas ketenarannya, Bassam dijuluki “Jon Stewart Mesir” yang disejajarkan dengan nama satiris asal Amerika Serikat yang punya the Daily Show.

Alkisah, “Jon Stewart Mesir” itu kini membuat resah kaum Salafi maupun rezim Ikhwani. Berbagai upaya dicoba untuk menghentikan Bassam yang memarodikan apa saja, termasuk Presiden Mursi. Pekan lalu, Bassam mau dijerat hukum dengan tuduhan “menghina Islam dan Presiden Mursi”. Namun tak mudah bagi rezim Mursi menjinakkan Bassam. Ribuan pendukung menyertainya ke mahkamah, dan dia urung dibui sekalipun didenda.

Ketenaran dan kecintaan rakyat Mesir terhadap Bassam kini menambah kejengkelan mereka terhadap Mursi. Di luar negeri, Bassam menuai simpati. Dari Amerika, Jon Stewart murka akan intrik-intrik rezim Mursi. Stewart mengecam Mursi sambil menyebutnya mustahil menduduki kursi kepresidenan tanpa kontribusi sosok-sosok seperti Bassam dalam menumbangkan rezim lama.

Namun susu kebebasan kini berbalas tuba intimidasi. Ikhwani dan Salafi sebagai kekuatan dominan perpolitikan Mesir, kini mengumbar gelagat anti-keterbukaan. Meski parodi dan satire Bassam hampir mengena semua faksi politik, yang paling terganggu saraf humornya adalah kaum Ikhwani dan Salafi. Menuduh Bassam “menghina Islam dan presiden” tiada lain wujud ketegangan Islamisme menghadapi humor dan senda gurau dunia.

Sikap Rezim terhadap Satire
Dalam sejarah Mesir, sikap kurang bersahabat terhadap humor lebih sengit ditunjukkan penguasa yang lebih ideologis. Adil Hamuda, dalam an-Nuktah as-Siyasiyyah: Kaifa Yaskhar al-Mishriyyun min Hukkamihim(Satire Politik: Bagaimana Orang Mesir Mencemooh Pemimpin Mereka, 1964), membuktikan tesis ini. Sekalipun nuktah siyasiyyah (satire politik) merupakan kultur keseharian orang Mesir, tingkat toleransi penguasa atas peredarannya tampak berbeda-beda.

Sosok ideologis macam Gamal Abdul Nasser sangat sensitif terhadap satire. Dirinya konon menugaskan intelijen untuk menghimpun berbagai satire untuk dipetakan dan dianalisis. Di saat survei belum lazim, peredaran satire adalah salah satu barometer untuk mengukur opini publik. Nasser pernah juga memecat beberapa menteri yang dicurigai memasok satire-satire politik tentang dirinya. Tatkala Mesir kalah perang lawan Israel (1967), Nasser meminta rakyatnya untuk tidak mengembangkan satire-satire getir tentang angkatan perangnya.

Presiden Anwar Sadat dan Husni Mubarak terbilang rileks menghadapi satire. Sadat bahkan merupakan objek satir paling kaya dan paling lucu sampai kini. Sikapnya yang cuek dan berkesan tak tahu apa-apa, telah menginspirasi banyak parodi. Syahdan, Sadat, Ummi Kultsum (diva Mesir sepanjang masa), dan Najwa Fuad (penari perut), pergi ke sebuah pentas musikal. Untuk masuk, semua harus memastikan identitas. Ummi Kultsum bernyanyi merdu dan dia pun lolos sensor. Najwa masuk dengan bukti kelenturan perut dan buah dada. Sadat? Dia mengaku tak mampu membuktikan apa-apa. Atas kejujurannya, yakinlah petugas sensor bahwa dia sebenar-benarnya Sadat (Khalid Kishtainy, Arab Political Humor, 1985).

Mubarakpun sangat paham kultur Mesir dan santai menghadapi satire. Soal satire, dia pernah bilang: “da’uhum biyetasallu!” (biarlah mereka bersenda gurau!). Namun di ujung masa kekuasannya, reproduksi satire-satire politik yang mencemooh diri dan keluarganya berlimpah. Umpama: Presiden Haitsam Jamal Mubarak (cucu Mubarak) mengucapkan selamat tahun baru 2075 sembari menegaskan suksesi kekuasan takkan berlangsung lewat cara pewarisan.   

Saraf Ikhwani versus Pesona Satire
Kini rezim Ikhwani diuji saraf humornya, tak hanya oleh Bassam, tapi oleh kultur satire yang begitu mengakar pada masyarakat Mesir. Antusiasme rakyat Mesir akan satire kini bisa dibuktikan lewat survei. Hasilnya: 70% gemar berburu nuktah terbaru sebagai pelipur lara dari dunia politik. 17% menyimak nuktah untuk menyelami pendapat orang. Ajaibnya, 81,5% mengaku tak lagi ingat nuktah yang pernah mereka simak sebelumnya (www.hashembahary.net).

Fakta ini menunjukkan betapa ironisnya memerkarakan Bassam. Namun, satire Bassam kini memang masif tersiar. Bassam pernah mengontraskan hipokrisi Mursi. Di saat Mubarak menerima pinjaman Dana Moneter Internasional (IMF), video Mursi tampil dengan kritik pedas yang menudingnya riba. Kini, Presiden Mursi justru membantah kalau bantuan IMF mengandung riba. “Auzubillah! Bagaimana mungkin saya biarkan rakyat Mesir makan riba? Bunga IMF itu tiada lain ongkos administrasi saja!”

Di atas Mursi, kaum Salafi sungguh lebih geram terhadap Bassam. Mereka memvonis Bassam keluar Islam. Bassam santai menyangkal: “Jika kalian memvonis begitu, kami akan berhenti memanggil kalian syekh dan ahli agama!” Secara stereotifikal, Bassam menyeru rakyat Mesir segera mengabadikan foto Spink dan Piramida sebelum bercadar. Iklan pasta gigi berganti siwak, dan sejak era Ikhwani-Salafi, julukan “kapten” timnas Mesir berganti “syekh”. “Pelatih” bola dipanggil “amir” yang di tepi lapangan terus berseru: “Tembak, ya akhi!”  

Bassam Tak Boleh Padam!
Bagi pendukungnya, satire-satire Bassam jauh dari pelecehan agama dan justru menelanjangi mereka-mereka yang memerdagangkan agama. Bassam Muslim taat yang dipandang sebagai pelipur lara dari frustasi sosial melawan kekuasaan yang kurang bertanggungjawab. Nagih Ibrahim—syekh Salafi yang cukup paham kultur Mesir—menjuluki Bassam “setan yang bertugas menunjukkan aib-aib kita (kaum Salafi)” (www.almasryalyoum.com, 17 Januari 2013).

Direktur eksekutif the Egyptian Initiative for Personal Rights, Hossam Bahgat, memuji pencapaian Bassam di tengah lemahnya kubu oposisi menghadapi rezim Ikhwani-Salafi. “Anda boleh menulis disertasi tebal tentang kontradiksi diskursus Salafi, atau laporan HAM tentang retorika keagamaan kaum fanatis. Namun semua takkan pernah mencapai setengah efektivitas pesan Bassam yang sampai saban pekan,” tandasnya (New York Times, 31 Desember 2012).

Kuatnya pengaruh Bassam membuat rezim Mursi dan kaum Salafi seperti duduk di kursi api. Satire-satire Bassam telah berfungsi sebagai desakralisasi Ikhwani dan penawar kultur ketakutan yang ditawarkan Salafi. Cara-cara Bassam dianggap bertuah melawan kultur otoritarian. “Lewat satire—bukan mobilisasi kekerasan—wibawa rezim otoriter lambat laun runtuh dan menunggu jatuh.” Demikian petuah novelis Mesir, Albert Cossery, dalam al-`Unf wa al-Sukhriyyah (Kekerasan dan Satire, 1964).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar