Sabtu, 13 April 2013

Menimbang Konvensi Partai


Menimbang Konvensi Partai
Arya Budi  ;  Manajer Riset Pol-Tracking Institute,
Kandidat Arryman Fellow Northwestern University, AS
MEDIA INDONESIA, 13 April 2013


Sekuen `penyelamatan' politik Partai Demokrat belum berakhir. Itulah pesan paling sederhana yang ingin disampaikan ke publik dengan terlontarnya wacana konvensi Partai Demokrat dalam mencari bakal calon presiden 2014. Terpilihnya Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum partai sekaligus merangkap tiga jabatan pucuk partai lainnya--ketua dewan pembina, ketua dewan kehormatan, dan ketua majelis tinggi--tentu telah mengobrak-abrik nalar struktur kelembagaan partai antara fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.

Alhasil, anekdot politik yang pas ialah SBY cukup `becermin' dengan dirinya sendiri jika `penyelamatan' gagal. Karena itu, untuk menghindari gagalnya penyelamatan partai, konvensi partai dalam pencapresan 2014 menjadi pilihan krusial.

Dalam nalar founding patron, wacana konvensi partai yang dilempar SBY sebagai orang yang paling berkuasa di Demokrat dan di Republik ini menjelaskan empat alasan atau motif politik krusial. Pertama, setelah sadar melakukan okupasi politik dengan menduduki fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif sekaligus di dalam partai dengan empat posisi puncak struktur partai, gagasan konvensi penting untuk membersihkan klaim otoriter dari partai yang bergerak demokratis pada Kongres Bandung 2010.

Kedua, tidak adanya stok figur. Ketiga, SBY tidak mau lagi menurunkan Demokrat melalui mekanisme `restu' yang kini dimilikinya baik secara kultural dan struktural maupun secara total. Keempat, konvensi menjadi alternatif internal yang berdampak eksternal, yaitu untuk menciptakan momentum atensi publik secara positif terhadap Demokrat.

Namun, yang perlu kita pahami dalam skala refleksi kepartaian Indonesia yang lebih luas ialah, paling tidak, ada dua catatan penting untuk melihat diskursus konvensi partai dalam kandidasi capres. Pertama, konvensi dalam sistem kepartaian multipartai ekstrem seperti di Indonesia hanya relevan bagi partai yang memperoleh persentase suara dua digit atau di atas 10%.

Selain soal relevansi dengan kekuatan atau bargaining partai dalam mengusung capres, partai dengan kekuatan elektoral rendah--katakanlah di bawah 10%--akan sulit mendapatkan atensi publik dan akan tersaingi oleh diskursus atau isu politik yang dilempar partai dengan kekuatan elektoral lebih besar atau di atas dua digit.

Sebagai misal, salah satu partai di Korea Selatan yang menjajal konvensi partai pada 2011 lalu mendapatkan atensi publik karena sistem kepartaian multipartai sederhana (tidak lebih dari lima partai) sehingga mempunyai cukup kekuatan elektoral untuk mengambil atensi publik.

Kedua, kultur politik di Indonesia sejak merdeka (Pemilu 1955) hingga kini menunjukkan justru presiden yang melahirkan partai. Dalam arti, orang kuat yang berpotensi menjadi presiden ialah raison d'etre lahirnya partai politik. Artinya, jika Partai Demokrat atau partai apa pun yang melampaui perolehan suara dua digit berhasil mengadakan konvensi terbuka (kombinasi preferensi elite politik dan preferensi publik-pemilih), partai tersebut akan membalikkan sejarah kepartaian sejak Indonesia dideklarasikan sebagai negara. Sebabnya, partai yang melahirkan presiden, bukan presiden yang melahirkan partai sebagaimana pola umum sejak dulu.

Bukan Refleksi Publik

Konvensi merupakan bentuk kandidasi eksekutif (baca: biasanya presiden) secara terbuka dengan variasi derajat pelibatan kader atau publik yang berbeda-beda. Ada tiga jenis demokratisasi dalam seleksi kandidat yang jamak disebut konvensi itu. Pertama ialah konvensi tertutup, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan internal yang hanya bisa di ikuti anggota partai di seluruh daerah secara nasional. Kedua ialah konvensi terbuka, yaitu partai politik menyelenggarakan pemilihan yang untuk menentukan kandidat yang akan diusung dengan cara mengikutsertakan semua pemilih tanpa harus melihat keanggotaan partai. Ketiga ialah konvensi-kongres, yaitu partai membuka proses pemilihan kandidat di dalam rapat umum partai.

Ada dua variasi dalam model konvensi-kongres itu. Pertama, semua anggota partai berhak hadir untuk memberikan suara dalam penentuan kandidat. Kedua, internal voter (anggota partai) hanya diwakili delegasi atau selected voter seperti kantor cabang partai politik. Singkat kata, tidak satu pun partai di Indonesia mengadopsi seleksi kandidat demokratis dari variasi model tersebut.

Dalam hal ini, Richard S Katz (2001) dengan bahasa yang lain menyatakan salah satu dari empat fungsi yang berkorelasi dengan kandidasi (terbuka) ialah refleksi perwajahan preferensi politik oleh publik. Artinya, dalam silogisme politik yang simpel, partai yang mempunyai kecenderungan tertutup dalam melakukan proses seleksi kandidat tidak mampu merefleksikan perwajahan publik. Yang muncul justru perwajahan elite partai karena majunya seorang kandidat partai untuk kursi jabatan publik didasarkan pada selera elite partai.

Muara dari hal itu fatal, yakni kandidat yang muncul dipaksakan agar diterima publik melalui fatamorgana figur dan simulacrum campaign (kampanye manipulatif). Hal itulah yang menjelaskan turbulensi (baca: evaluasi kandidat presiden) di beberapa partai seperti Partai Golkar, sementara nama kandidat sudah dideklarasikan. Singkatnya, konvensi yang digagas Demokrat bisa berakhir sama jika derajat pelibatan di dalam memilih capres hanya berputar di kalangan elite (ketua DPD dan DPC, misalnya), sebab kandidat hanya merefleksikan selera elite minus publik.

Di sisi lain, bila melihat kultur kekuasaan dan pola konstelasi partai yang masih berpegang pada kuasa para patron partai, secara internal wacana konvensi bisa berakhir seperti pengalaman Golkar pada Pemilu 2004. Wiranto sebagai pemenang konvensi Golkar justru kalah dalam pilpres (putaran pertama), sedangkan Jusuf Kalla yang kalah konvensi justru menang sebagai cawapres dengan capres SBY. Itu akibat dua hal, yakni terbelahnya konsolidasi partai pascakonvensi dan selera elite Golkar tak merefleksikan selera konstituen apalagi publik pemilih secara umum.

Akhirnya, diskursus konvensi hanya menjadi mubazir bagi partai akibat biaya politik (transaksi yang terjadi inter-elite) dan biaya operasional jika konvensi sebagai conceptual term tidak seperti yang publik bayangkan. Jelasnya, pelibatan publik (baik anggota/simpatisan maupun publik pemilih) melalui election yang diselenggarakan partai menjadi penting daripada sekadar selection yang berputar di elite. Publik pemilih perlu wacana yang autentik daripada sekadar `bola liar' yang dilempar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar