Sekuen `penyelamatan' politik
Partai Demokrat belum berakhir. Itulah pesan paling sederhana yang ingin
disampaikan ke publik dengan terlontarnya wacana konvensi Partai Demokrat
dalam mencari bakal calon presiden 2014. Terpilihnya Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sebagai ketua umum partai sekaligus merangkap tiga
jabatan pucuk partai lainnya--ketua dewan pembina, ketua dewan
kehormatan, dan ketua majelis tinggi--tentu telah mengobrak-abrik nalar
struktur kelembagaan partai antara fungsi eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Alhasil, anekdot politik yang pas ialah
SBY cukup `becermin' dengan dirinya sendiri jika `penyelamatan' gagal.
Karena itu, untuk menghindari gagalnya penyelamatan partai, konvensi
partai dalam pencapresan 2014 menjadi pilihan krusial.
Dalam nalar founding patron, wacana konvensi partai yang dilempar SBY
sebagai orang yang paling berkuasa di Demokrat dan di Republik ini
menjelaskan empat alasan atau motif politik krusial. Pertama, setelah
sadar melakukan okupasi politik dengan menduduki fungsi eksekutif,
legislatif, dan yudikatif sekaligus di dalam partai dengan empat posisi
puncak struktur partai, gagasan konvensi penting untuk membersihkan klaim
otoriter dari partai yang bergerak demokratis pada Kongres Bandung 2010.
Kedua, tidak adanya stok figur. Ketiga,
SBY tidak mau lagi menurunkan Demokrat melalui mekanisme `restu' yang
kini dimilikinya baik secara kultural dan struktural maupun secara total.
Keempat, konvensi menjadi alternatif internal yang berdampak eksternal,
yaitu untuk menciptakan momentum atensi publik secara positif terhadap
Demokrat.
Namun, yang perlu kita pahami dalam skala
refleksi kepartaian Indonesia yang lebih luas ialah, paling tidak, ada
dua catatan penting untuk melihat diskursus konvensi partai dalam
kandidasi capres. Pertama, konvensi dalam sistem kepartaian multipartai
ekstrem seperti di Indonesia hanya relevan bagi partai yang memperoleh
persentase suara dua digit atau di atas 10%.
Selain soal relevansi dengan kekuatan
atau bargaining partai dalam mengusung capres, partai dengan kekuatan
elektoral rendah--katakanlah di bawah 10%--akan sulit mendapatkan atensi
publik dan akan tersaingi oleh diskursus atau isu politik yang dilempar
partai dengan kekuatan elektoral lebih besar atau di atas dua digit.
Sebagai misal, salah satu partai di Korea
Selatan yang menjajal konvensi partai pada 2011 lalu mendapatkan atensi
publik karena sistem kepartaian multipartai sederhana (tidak lebih dari
lima partai) sehingga mempunyai cukup kekuatan elektoral untuk mengambil
atensi publik.
Kedua, kultur politik di Indonesia sejak
merdeka (Pemilu 1955) hingga kini menunjukkan justru presiden yang
melahirkan partai. Dalam arti, orang kuat yang berpotensi menjadi
presiden ialah raison d'etre
lahirnya partai politik. Artinya, jika Partai Demokrat atau partai apa
pun yang melampaui perolehan suara dua digit berhasil mengadakan konvensi
terbuka (kombinasi preferensi elite politik dan preferensi
publik-pemilih), partai tersebut akan membalikkan sejarah kepartaian
sejak Indonesia dideklarasikan sebagai negara. Sebabnya, partai yang
melahirkan presiden, bukan presiden yang melahirkan partai sebagaimana
pola umum sejak dulu.
Bukan
Refleksi Publik
Konvensi merupakan bentuk kandidasi
eksekutif (baca: biasanya presiden) secara terbuka dengan variasi derajat
pelibatan kader atau publik yang berbeda-beda. Ada tiga jenis
demokratisasi dalam seleksi kandidat yang jamak disebut konvensi itu.
Pertama ialah konvensi tertutup, yaitu partai politik menyelenggarakan
pemilihan internal yang hanya bisa di ikuti anggota partai di seluruh
daerah secara nasional. Kedua ialah konvensi terbuka, yaitu partai
politik menyelenggarakan pemilihan yang untuk menentukan kandidat yang
akan diusung dengan cara mengikutsertakan semua pemilih tanpa harus
melihat keanggotaan partai. Ketiga ialah konvensi-kongres, yaitu partai
membuka proses pemilihan kandidat di dalam rapat umum partai.
Ada dua variasi dalam model
konvensi-kongres itu. Pertama, semua anggota partai berhak hadir untuk
memberikan suara dalam penentuan kandidat. Kedua, internal voter (anggota partai) hanya diwakili delegasi atau
selected voter seperti kantor cabang partai politik. Singkat kata, tidak
satu pun partai di Indonesia mengadopsi seleksi kandidat demokratis dari
variasi model tersebut.
Dalam hal ini, Richard S Katz (2001) dengan
bahasa yang lain menyatakan salah satu dari empat fungsi yang berkorelasi
dengan kandidasi (terbuka) ialah refleksi perwajahan preferensi politik
oleh publik. Artinya, dalam silogisme politik yang simpel, partai yang
mempunyai kecenderungan tertutup dalam melakukan proses seleksi kandidat
tidak mampu merefleksikan perwajahan publik. Yang muncul justru
perwajahan elite partai karena majunya seorang kandidat partai untuk
kursi jabatan publik didasarkan pada selera elite partai.
Muara dari hal itu fatal, yakni kandidat
yang muncul dipaksakan agar diterima publik melalui fatamorgana figur dan
simulacrum campaign (kampanye
manipulatif). Hal itulah yang menjelaskan turbulensi (baca: evaluasi
kandidat presiden) di beberapa partai seperti Partai Golkar, sementara
nama kandidat sudah dideklarasikan. Singkatnya, konvensi yang digagas
Demokrat bisa berakhir sama jika derajat pelibatan di dalam memilih
capres hanya berputar di kalangan elite (ketua DPD dan DPC, misalnya),
sebab kandidat hanya merefleksikan selera elite minus publik.
Di sisi lain, bila melihat kultur
kekuasaan dan pola konstelasi partai yang masih berpegang pada kuasa para
patron partai, secara internal wacana konvensi bisa berakhir seperti
pengalaman Golkar pada Pemilu 2004. Wiranto sebagai pemenang konvensi
Golkar justru kalah dalam pilpres (putaran pertama), sedangkan Jusuf
Kalla yang kalah konvensi justru menang sebagai cawapres dengan capres
SBY. Itu akibat dua hal, yakni terbelahnya konsolidasi partai
pascakonvensi dan selera elite Golkar tak merefleksikan selera konstituen
apalagi publik pemilih secara umum.
Akhirnya, diskursus konvensi hanya
menjadi mubazir bagi partai akibat biaya politik (transaksi yang terjadi
inter-elite) dan biaya operasional jika konvensi sebagai conceptual term tidak seperti yang
publik bayangkan. Jelasnya, pelibatan publik (baik anggota/simpatisan
maupun publik pemilih) melalui election yang diselenggarakan partai
menjadi penting daripada sekadar selection yang berputar di elite. Publik
pemilih perlu wacana yang autentik daripada sekadar `bola liar' yang dilempar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar