Sabtu, 13 April 2013

Asas Tunggal Ormas


Asas Tunggal Ormas
Lukman Abdurrahman  Dosen Institut Teknologi Telkom di Bandung
REPUBLIKA, 13 April 2013


Diskursus asas tunggal (astung) Pancasila akhir-akhir ini mengemuka kembali setelah lama tidak terdengar sejak Pemerintahan Orde Baru tumbang pada 1998. Hal ini dipicu oleh Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU Ormas) yang kini digodok DPR. 
Semangat RUU ini dalam rangka mengangkat kembali jiwa nasionalisme yang dirasa semakin tergerus dalam era reformasi. Itu terjadi akibat euforia alam reformasi yang kelewat batas, hingga pilar-pilar kebangsaan mulai sedikit terabaikan, termasuk dasar negara Pan casila. 

Ide RUU Ormas pada dasarnya untuk melakukan penataan berbagai ormas yang tumbuh subur setelah arus kebebasan digelontorkan. Di satu sisi kelahiran ormas-ormas tersebut sebagai pengejewantahan hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi sesuai konstitusi. 

Namun, di sisi lain, kiprah ormasormas ini terkadang mencerabut HAM itu sendiri. Atas nama HAM, satu kelompok menikmati hak asasinya di atas kepedihan kelompok lain yang HAM-nya terganggu. Hal ini tecermin dari berbagai peristiwa kekerasan yang dilakukan oknum ormas, baik fisik ataupun psikis. Begitu pula, atas nama demokrasi, kai dah-kaidah normatif bersendikan kearifan adat atau ajaran agama sering diabaikan.

Ormas pada dasarnya wadah bagi anggota masyarakat untuk berkumpul atau berserikat sebagai saluran kebutuhan sosial dengan ciri kepentingan bersama dalam hal kemasyarakatan, agama, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberadaannya adalah suatu keniscayaan. 

Para pendiri bangsa, termasuk ormas telah sepakat bahwa Pancasila sebagai dasar negara untuk mengikat ke ragaman dalam sebuah negara bangsa (nation state). Karena demikian sentralnya kedudukan Pancasila maka jika diseret-seret ke wilayah praktik, dikhawatirkan akan menimbulkan bias.
Hal ini disebabkan praktik-praktik teknis berpancasila akan menghasilkan interpretasi yang beragam. 
Satu ormas mengaku paling pancasilais, dan yang lain tidak. Begitupun organisasi tandingannya dapat melontarkan klaim-klaim yang sama. Tuding- menuding demikian dapat pula terjadi antarorganisasi dengan aparat penegak hukum. Sehingga pada gilirannya, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara akan dipersoalkan. Jelas ini akan sangat membahayakan NKRI. 

Oleh karena itu, jalan keluar yang barangkali dapat ditawarkan untuk konsep RUU tersebut sebagai berikut: pertama, Pancasila tetap diletakkan pada maqamnya, yakni sebagai dasar NKRI yang harus menjiwai seluruh peraturan/perundangan yang berlaku di negeri ini. Dengan demikian, sila-sila Pancasila harus mewarnai perilaku ormas-ormas. 

Kedua, para pembuat RUU harus mampu membedakan ideologi mutlak dengan ideologi nisbi. Ideologi mutlak adalah keyakinan yang timbul karena keimanan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa (YME). Konsekuensi keyakinan ini tidak hanya akan dituai dalam kehidupan kini, namun juga akan menentukan bahagia celakanya seseorang di hari akhir nanti. 

Oleh karenanya, pembelaan terhadap keyakinan ini taruhannya dapat sampai nyawa. Sedangkan ideologi nisbi adalah untuk mengikat kebersamaan dalam kehidupan kesementaraan. Misalnya, apakah mengamalkan Pancasila akan diganjar surga atau neraka? Jelas tidak ada yang menjamin. Tapi sebaliknya, jika ideologi mutlak diamalkan.

Dalam hal ini ormas-ormas, khususnya ormas agama seperti Muhammadiyyah dan Hizbut Tahrir Indonesia menyatakan keberatan terhadap RUU Ormas dapat dipahami. Berorganisasi untuk memperjuangkan ideologi mutlak adalah pengabdian kepada Tuhan YME, karena aktivitas yang dilakukannya tidak saja profan namun sekaligus transenden. 

Jika kegiatan transenden didasarkan pada ideologi nisbi akan mengurangi motivasi dan daya juang para pelakunya karena ibarat mengejar-ngejar fatamorgana. Malahan dalam beberapa hal, mencampurkan ideologi mutlak dengan ideologi nisbi dapat terjerumus ke dalam kegiatan penyekutuan Tuhan, sesuatu yang wajib dihindari. 

Oleh sebab itu, para pembuat RUU Ormas dianjurkan agar berpikir ulang untuk tidak memaksakan kewajiban mencantumkan astung Pancasila dalam anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ormas. Pemaksaan hanya akan menimbulkan kegaduhan baru di bumi pertiwi, yang penting asas ormas tersebut tidak bertentangan dengan Pancasila. 

Ketiga, penggiringan asas ormas harus tunggal pada dasarnya akan mencederai keragaman kebangsaan itu sendiri. Era reformasi akan mengalami kemunduran. Padahal, telah dimaklumi bersama, ongkos sosial untuk membuka gerbang demokrasi ini betapa mahalnya. Oleh karena itu, RUU Ormas diharapkan tidak memberangus keberbagaian dan gerak lincah ormas-ormas, walaupun di sisi lainnya tetap perlu diatur tata kelolanya. Adalah tugas bersama berbagai komponen bangsa untuk selalu berbuat yang positif demi mensyukuri nikmat kemerdekaan ini.

Ukuran positif tidaknya suatu perbuatan dapat ditimbang dari dua sisi, yakni sisi keimanan sesuai tuntunan agama dan sisi kepentingan sosial kenegaraan. Dua timbangan ini dapat saling melengkapi, bahkan dengan mengamalkan satu timbangan keimanan, dengan sendirinya timbangan sosial kenegaraan akan terbawa. Nabi Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya aku diutus dalam rangka menyempurnakan keelokan interaksi sesama". Wallaahu `alam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar