Diskursus asas tunggal
(astung) Pancasila akhir-akhir ini mengemuka kembali setelah lama tidak
terdengar sejak Pemerintahan Orde Baru tumbang pada 1998. Hal ini dipicu
oleh Rancangan Undang-Undang tentang Organisasi Kemasyarakatan (RUU
Ormas) yang kini digodok DPR.
Semangat RUU ini dalam rangka
mengangkat kembali jiwa nasionalisme yang dirasa semakin tergerus dalam
era reformasi. Itu terjadi akibat euforia alam reformasi yang kelewat
batas, hingga pilar-pilar kebangsaan mulai sedikit terabaikan, termasuk
dasar negara Pan casila.
Ide RUU Ormas pada dasarnya
untuk melakukan penataan berbagai ormas yang tumbuh subur setelah arus
kebebasan digelontorkan. Di satu sisi kelahiran ormas-ormas tersebut
sebagai pengejewantahan hak asasi manusia (HAM) dan demokratisasi sesuai
konstitusi.
Namun, di sisi lain, kiprah
ormasormas ini terkadang mencerabut HAM itu sendiri. Atas nama HAM, satu
kelompok menikmati hak asasinya di atas kepedihan kelompok lain yang
HAM-nya terganggu. Hal ini tecermin dari berbagai peristiwa
kekerasan yang dilakukan oknum ormas, baik fisik ataupun psikis. Begitu
pula, atas nama demokrasi, kai dah-kaidah normatif bersendikan kearifan
adat atau ajaran agama sering diabaikan.
Ormas pada dasarnya wadah
bagi anggota masyarakat untuk berkumpul atau berserikat sebagai saluran
kebutuhan sosial dengan ciri kepentingan bersama dalam hal
kemasyarakatan, agama, dan sebagainya. Oleh karena itu, keberadaannya
adalah suatu keniscayaan.
Para pendiri bangsa, termasuk
ormas telah sepakat bahwa Pancasila sebagai dasar negara untuk mengikat
ke ragaman dalam sebuah negara bangsa (nation state). Karena demikian sentralnya kedudukan Pancasila
maka jika diseret-seret ke wilayah praktik, dikhawatirkan akan
menimbulkan bias.
Hal ini disebabkan praktik-praktik teknis berpancasila akan menghasilkan
interpretasi yang beragam.
Satu ormas mengaku paling
pancasilais, dan yang lain tidak. Begitupun organisasi tandingannya dapat
melontarkan klaim-klaim yang sama. Tuding- menuding demikian dapat pula
terjadi antarorganisasi dengan aparat penegak hukum. Sehingga pada
gilirannya, kedudukan Pancasila sebagai dasar negara akan dipersoalkan.
Jelas ini akan sangat membahayakan NKRI.
Oleh karena itu, jalan keluar
yang barangkali dapat ditawarkan untuk konsep RUU tersebut sebagai
berikut: pertama, Pancasila tetap diletakkan pada maqamnya, yakni
sebagai dasar NKRI yang harus menjiwai seluruh peraturan/perundangan yang berlaku di negeri ini. Dengan demikian, sila-sila
Pancasila harus mewarnai perilaku ormas-ormas.
Kedua, para pembuat RUU harus
mampu membedakan ideologi mutlak dengan ideologi nisbi. Ideologi mutlak
adalah keyakinan yang timbul karena keimanan manusia kepada Tuhan Yang
Maha Esa (YME). Konsekuensi keyakinan ini tidak hanya akan dituai dalam
kehidupan kini, namun juga akan menentukan bahagia celakanya seseorang di
hari akhir nanti.
Oleh karenanya, pembelaan
terhadap keyakinan ini taruhannya dapat sampai nyawa. Sedangkan ideologi
nisbi adalah untuk mengikat kebersamaan dalam kehidupan kesementaraan.
Misalnya, apakah mengamalkan Pancasila akan diganjar surga atau neraka?
Jelas tidak ada yang menjamin. Tapi sebaliknya, jika ideologi mutlak
diamalkan.
Dalam hal ini ormas-ormas,
khususnya ormas agama seperti Muhammadiyyah dan Hizbut Tahrir Indonesia
menyatakan keberatan terhadap RUU Ormas dapat dipahami. Berorganisasi
untuk memperjuangkan ideologi mutlak adalah pengabdian kepada Tuhan YME,
karena aktivitas yang dilakukannya tidak saja profan namun sekaligus
transenden.
Jika kegiatan transenden
didasarkan pada ideologi nisbi akan mengurangi motivasi dan daya juang
para pelakunya karena ibarat mengejar-ngejar fatamorgana. Malahan dalam beberapa
hal, mencampurkan ideologi mutlak dengan ideologi nisbi dapat terjerumus
ke dalam kegiatan penyekutuan Tuhan, sesuatu yang wajib dihindari.
Oleh sebab itu, para pembuat
RUU Ormas dianjurkan agar berpikir ulang untuk tidak memaksakan kewajiban
mencantumkan astung Pancasila dalam anggaran dasar dan anggaran rumah
tangga ormas. Pemaksaan hanya akan menimbulkan kegaduhan baru di bumi
pertiwi, yang penting asas ormas tersebut tidak bertentangan dengan
Pancasila.
Ketiga, penggiringan asas
ormas harus tunggal pada dasarnya akan mencederai keragaman kebangsaan
itu sendiri. Era reformasi akan mengalami kemunduran. Padahal, telah
dimaklumi bersama, ongkos sosial untuk membuka gerbang demokrasi ini
betapa mahalnya. Oleh karena itu, RUU Ormas diharapkan tidak
memberangus keberbagaian dan gerak lincah ormas-ormas, walaupun di sisi
lainnya tetap perlu diatur tata kelolanya. Adalah tugas bersama berbagai
komponen bangsa untuk selalu berbuat yang positif demi mensyukuri nikmat
kemerdekaan ini.
Ukuran positif tidaknya suatu
perbuatan dapat ditimbang dari dua sisi, yakni sisi keimanan sesuai
tuntunan agama dan sisi kepentingan sosial kenegaraan. Dua timbangan ini
dapat saling melengkapi, bahkan dengan mengamalkan satu timbangan
keimanan, dengan sendirinya timbangan sosial kenegaraan akan terbawa. Nabi
Muhammad SAW bersabda, "Sesungguhnya
aku diutus dalam rangka menyempurnakan keelokan interaksi sesama".
Wallaahu `alam. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar