Raden Ajeng Kartini meru
pakan pelopor emansipasi perempuan. Beliau dengan gigih memperjuangkan
hak seorang perempuan agar tidak diperlakukan underestimated oleh kaum laki-laki. Namun, sayangnya
diskursus tentang Kartini di Indonesia belum dibarengi realisasi dalam
bentuk aksi nyata secara baik.
Faktanya masih banyak masalah perempuan,
mulai minimnya akses hingga diskriminasi partisipasi. Itu menunjukkan ide
besar Kartini belum menjadi roh perjuangan bangsa, baru sekadar bahan
diskusi dan ritual tahunan setiap April. Dengan momentum Hari Kartini
ini, negara, pemerintah, harus memperkuat komitmen untuk berbuat nyata
serta mengevaluasi kebijakan, efektivitas kebijakan, pelaksanaan
kebijakan yang ada, serta melakukan langkah konkret, untuk masa depan
perempuan Indonesia.
Setidaknya terdapat dua hal besar yang
perlu disoroti, yaitu aspek capaian perkembangan pengarusutamaan gender
dan problem riil perempuan. Pada level pengarusutamaan gender, sejatinya
terdapat tiga level; fase penumbuhan, pengembangan, dan pemantapan.
Namun, faktanya capaian pengarusutamaan gender di Indonesia masih
memprihatinkan. Level partisipasi pendidikan, terutama jenjang SD dan
SMP, tampaknya mulai memasuki fase pengembangan.
Namun, dalam hal persepsi dan komitmen
keadilan gender secara nasional masih dalam posisi fase penumbuhan.
Buktinya perempuan masih dihadapkan lima masalah besar.
(1) Ada kultur yang menomor duakan
perempuan. Perempuan Indonesia punya semangat tinggi untuk berpendidikan,
tetapi masih sangat menghormati kultur patriarki. Kultur yang
terinternalisasi di masyarakat itulah yang lantas membuat perempuan
dinomorduakan untuk akses pendidikan. Sayangnya, kultur itu juga diikuti
dan bahkan diterima masyarakat luas sebagai sesuatu yang wajar, bahkan
oleh perempuan itu sendiri.
(2) Sistem struktur sekolah kurang
memberikan kesempatan bagi perempuan. Banyak pendapat masyarakat yang
menunjukkan perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Perempuan hanya
diberi porsi berbagai peran domestik, di rumah tangga.
(3) Lemahnya kesetaraan gender.
Kesetaraan gender belum sepenuhnya diusung berbagai kebijakan yang ada
pada lembaga negara. Akhirnya perwujudan kesetaraan gender masih lemah. Diperlukan
resolusi politik yang mendukung dan mengusung kesetaraan gender yang
tertuang dalam kebijakan lembaga negara seperti kesetaraan dan keadilan
gender dari segi gaji perempuan dan lakilaki. Cuti kepada laki-laki saat
istri melahirkan mengingat peran ayah dibutuhkan pada masa melahirkan.
(4) Manajemen rumah tangga belum
seimbang, perempuan lebih mengalah. Perempuan cenderung mengalah untuk
mengurus anak dan keluarga.
(5) Kesepakatan pasangan yang melemahkan
perempuan. Saat masih berpasangan, pada kasus tertentu, masih terdapat
perempuan yang terbatasi untuk mengembangkan diri. Misalnya, laki-laki
akan me nikahinya, dengan memberi syarat ia harus mengurus rumah tangga
saja. Persoalan kesetaraan gender perlu diatasi tidak hanya dari sisi
kultural, tetapi juga perlu ada kebijakan yang tertuang dalam struktur.
Kekerasan
Dalam Rumah Tangga
Fenomena kekerasan dalam rumah tangga
(KDRT) di Indonesia telah menempati fase mencemaskan. Data Komnas
Perempuan terkait dengan KDRT di Indonesia menunjukkan rata-rata terjadi
311 kasus setiap hari.
Yang paling menyedihkan pelaku kebanyakan dilakukan orang-orang terdekat
korban. Di antaranya ialah suami, mantan suami, pacar, mantan pacar,
kakak ipar, adik ipar, mer tua, paman, teman dekat ibu, dan suami tidak
sah.
Lihat saja kasus perkosaan yang makin
meningkat. Pada Januari 2013 terjadi 25 kasus perkosaan dan dua kasus
pencabulan. Jumlah korban 29 orang dan jumlah pelaku mencapai 45 orang.
Tragisnya pada Januari 2013 ini terjadi lima kasus perkosaan massal, tiga
di antaranya dilakukan sejumlah pelajar terhadap gadis teman sekolah.
Data Indonesia
Police Watch (IPW) menyebutkan sebagian besar korban berusia 1-16
tahun (23 orang) dan 17-30 tahun (6). Pelaku perkosaan berusia 14-39
(32). Pelaku berusia 40-70 tahun (12). Lokasi perkosaan sebagian besar
terjadi di rumah korban (21 kasus) dan enam kasus terjadi di jalanan.
Di sisi lain, kasus KDRT merupakan ibarat
sebuah fenomena gunung es. Artinya, kasus yang terjadi belum bisa mewakili kasus yang sebenarnya.
Di perkirakan, masih banyak kasus KDRT yang belum terungkap karena
berbagai faktor tertentu, mulai takut terhadap pelaku, malu bila aib
keluarganya diketahui publik, hingga budaya permisif yang cenderung
memaafkan pelaku. Hal itulah yang mengakibatkan sulit untuk melacak data
sebenarnya.
Kasus kekerasan terhadap perempuan
merupakan persoalan serius yang disebabkan berbagai hal yang berkait
erat. Akar masalah kekerasan terhadap perempuan, pertama, ketimpangan
gender. Laki-laki dianggap sebagai makhluk superior, lebih cakap dan
lebih hebat daripada perempuan yang dianggap makhluk inferior, lemah,
kelas dua. Ketidakseimbangan relasi kekuasaan itulah yang menyebabkan
perempuan kerap tidak berdaya di hadapan laki-laki.
Kedua, penegakan hukum yang lemah.
Meskipun berbagai peraturan telah dibuat, salah satu contohnya adalah UU
No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, dalam
praktiknya itu belum bisa menekan angka kekerasan dalam rumah tangga. UU
KDRT memiliki kelemahan di tingkat pelaksanaan karena kurang adanya
sosialisi ke seluruh lapisan masyarakat bawah.
Ketiga, dominasi nilai-nilai patriarki.
Konstruksi budaya masyarakat melalui sistem sosial, ekonomi, dan politik
yang berlaku secara alamiah dan didukung dengan penilaian agama dan hukum
adat yang memberikan otoritas lebih kepada lakilaki daripada perempuan
mengakibatkan perempuan terpinggirkan dan menjadi objek kekerasan kaum
laki-laki.
Sekali lagi, kekerasan dalam rumah tangga
merupakan persoalan kompleks yang diakibatkan ketimpangan gender, hukum
yang lemah, dan budaya patriarki. Untuk mengatasinya butuh kesepakatan
dan kesadaran bersama dari seluruh elemen masyarakat, kaum intelektual,
praktisi, akademisi, budayawan, dan agamawan agar menempatkan kasus KDRT
sebagai musuh bersama. Butuh kesepakatan bahwa kekerasan apa pun
bentuknya, termasuk KDRT, merupakan kejahatan hak asasi manusia yang
bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan.
Politik
Perempuan
Partisipasi politik perempuan menjadi
diskursus fenomenal di negeri ini. Muncul UU No 2 Tahun 2008 tentang
kewajiban bagi partai politik agar memberi kuota 30% bagi calon
legislatif perempuan. Sejatinya perempuan mulai memiliki ruang yang jelas
dalam politik.
Secara regulasi, perempuan tidak hanya
diproyeksikan menunaikan kerja-kerja domestik, kerja-kerja rumah tangga
semata, tetapi diberi kesempatan lebar-lebar untuk memasuki dunia
politik, untuk turut serta dalam menentukan kebijakan publik, terutama
menentukan perbaikan nasib perempuan itu sendiri.
Hadirnya UU No 2 Tahun 2008 tersebut
setidaknya dapat menjadi jembatan bagi perempuan untuk turut ambil bagian
pada pencalonan legislatif. Begitu pun dari seluruh lapisan masyarakat,
harus ada komitmen bersama dengan mem berikan kesempatan seluasluasnya
kepada perempuan untuk duduk di legislatif. Selain itu harus ada kontrol
kebijakan oleh seluruh lapisan masyarakat--terutama aktivis
perempuan--atas kerja-kerja anggota legislatif perempuan. Apalah artinya
mengusung mereka untuk menjadi bagian dari perumus kebijakan tanpa ada
tempat untuk berdiskusi tentang strategi kesejahteraan perempuan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar