Entah kalimat apa lagi yang
pantas dikatakan ketika menyikapi pelaksanaan ujian nasional (UN) yang
amburadul. Sepertinya permintaan maaf saja tidak cukup untuk mewakili
perasaan orangtua murid dan anak didik yang belum melaksanakan UN itu.
Apalagi sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan
pelaksanaan UN berlangsung tepat waktu dan tidak ada masalah. Tidakkah
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menimbang sisi psikologis mereka?
Kalau persoalan UN saja
sudah sedemikian kacau-balaunya, entah bagaimana nanti tentang
implementasi kurikulum 2013 yang bila diperhatikan tidak ubahnya seperti
sinetron sebab begitu sarat lika-liku. Hadangan tak hanya datang dari
anggota dewan, para guru hingga pemerhati pendidikan juga memberikan
respons yang keras atas kebijakan ambisius Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut.
Khalayak dibuat tercengang oleh upaya penerapan kurikulum baru. Tawuran
pelajar dan kualitas pendidikan yang rendah jika dibandingkan dengan negara
lain menjadi justifikasi Kemendikbud untuk segera mengganti kurikulum
tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang saat ini berlaku. Menurut Mendikbud
M Nuh, penerapan kurikulum di tahun ini ialah harga mati dan tak bisa
ditunda.
Benarkah kurikulum menjadi pangkal permasalahan dari semua
problematik pendidikan di Indonesia? Hingga sekarang, Kemendikbud masih
belum bisa membuktikan hal tersebut. Namun, yang pasti, kebijakan
penggantian kurikulum lahir dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional (RPJMN) 2010-2014. Ternyata, empat tahun pascaberlakunya KTSP,
pemerintah sudah mengagendakan penataan ulang kurikulum dan penyempurnaan
kurikulum untuk sekolah dasar dan menengah. Targetnya yakni paling lambat
sebelum 2011, yang nantinya akan diaplikasikan di 25% sekolah pada 2012
dan 100% di 2014.
Tampaknya, rencana itu melenceng dari proyeksi semula. Wajar bila
kemudian Kemendikbud begitu gigih untuk memberlakukan kurikulum baru di
2013. Menariknya, kurikulum KTSP yang diaplikasikan pada pemerintahan
`Indonesia Bersatu' belum dievaluasi dengan baik. Bahkan, dari hasil
kunjungan kerja (kunker) penulis di Palembang, Sumatra Selatan, pada 14
Februari lalu, diketahui bahwa guru-guru baru memahami KTSP empat tahun
belakangan. Padahal, KTSP sudah berlaku sejak tujuh tahun silam.
Selama ini, evaluasi yang dilakukan Kemendikbud terhadap KTSP hanya
sebatas pada masalah yang oleh Ke mendikbud disebut sebagai ma salah
struk tural, yakni stan dar isi (SI) yang di dalamnya mencantumkan
kurikulum. SENO Belum perlu diaplikasikan Namun, evaluasi tidak secara
khusus berdasar pada riset yang mengemukakan kelebihan dan kekurangan
KTSP. Termasuk apakah KTSP gagal dalam mengantarkan upaya pencerdasan
bangsa, ataukah termasuk membangun karakter dan budaya. Hingga pada
akhirnya, benar-benar terbukti bahwa masalah kurikulum menjadi masalah
utama yang harus diganti. Atau hanya cukup melakukan penyempurnaan,
seperti melakukan penambahan dan pengurangan, sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai.
Perlu diketahui bahwa KTSP sebenarnya bisa mewadahi nilai-nilai
yang diinginkan Kemendikbud untuk dimasukkan kurikulum baru, seperti
akhlak mulia, soft skill, dan kewirausahaan. Namun, itu bergantung pada
sejauh mana tiap satuan pendidikan mengapli kasikannya. Dalam acuan
operasional penyusunan KTSP sudah dibuatkan koridor yang jelas, seperti
(1) peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, (2) peningkatan
potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan
kemampuan peserta didik, (3) keragaman potensi dan karakteris ik daerah
dan lingkungan, (4) tun tutan pembangunan daerah dan nasional, (5) tuntutan
dunia kerja, (6) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (7)
agama, (8) dinamika perkembangan global, (9) per satuan nasional dan
nilai-nilai kebangsaan, (10) kondisi sosial budaya masyarakat setempat,
(11) kesetaraan gender, dan (12) karak teristik satuan pendidikan (BSNP,
2007).
Setelah menilik hal itu, kebijakan untuk merombak kurikulum belum
urgent. Lemahnya aplikasi KTSP ialah wujud rendahnya kualitas guru. Upaya
yang mesti dilakukan ialah serangkaian pembelajaran dan pelatihan untuk
guru-guru. Hal itu justru luput dari perhatian pemerintah. Berdasarkan
riset Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) di 20 kabupaten/kota, 62%
guru SD hanya mendapatkan pelatihan sekali dalam kurun waktu lima tahun.
Penulis sebagai pihak yang menaruh perhatian lebih pada masalah
pendidikan sejatinya sadar akan perlunya perubahan kurikulum demi
menjawab tantangan zaman. Namun, bukan perubahan yang sporadis, tak
terarah, dan minim perencanaan (planning).
Artinya, perubahan kurikulum haruslah rasional. Tidak bisa kebijakan
pendidikan hanya dirumuskan dalam satu malam. Kebijakan pendidikan saat
ini akan menentukan wajah generasi Indonesia di masa depan. Dengan
kebijakan yang tidak dirumuskan secara matang, mustahil generasi emas
akan terwujud.
Menepuk Angan
Dalam proses menuju implementasi kurikulum 2013, Kemendikbud juga
tampak tidak peduli dengan dinamika yang berkembang. Proses pencetakan
buku dilakukan bersamaan dengan proses pengkajian kurikulum. Langkah itu
mengindikasikan Kemendikbud memastikan sudah tidak akan ada lagi
perubahan dari sisi substansi kurikulum. Kurikulum sudah dikunci dan
saran masyarakat pun dipastikan bertepuk sebelah tangan.
Ketidaksiapan guru yang diatasi dengan proses pelatihan singkat
selama 52 jam semakin menegaskan Kemendikbud sudah menutup rapat
sumbangsih pemikiran dari publik. Itje Chodijah yang telah lama menjadi
guru pelatih dalam kesempatan rapat dengan Panja Kurikulum menegaskan
waktu yang dibutuhkan dalam pelatihan guru minimal selama 60-120 jam
dengan metode tatap muka dan praktik di lapangan.
Lebih lanjut, meski uji publik telah dilaksanakan, hasil dari uji
publik menjadi milik pribadi Kemendikbud. Data hasil olahan yang dirilis
Kemendikbud pun akhirnya diragukan validitasnya. Benarkah respons
stakeholders umumnya mendukung kurikulum 2013? Yang terjadi saat ini
input atas kebijakan kurikulum 2013 dari masyarakat berbeda dengan output
atau kebijakan kurikulum yang dirumuskan Kemendikbud.
Setelah melihat karut-marutnya kurikulum 2013, penulis pesimistis
perubahan kurikulum bisa membawa pengaruh yang positif bagi dunia
pendidikan kita. Bukankah gagal merencanakan berarti sama dengan
merencanakan kegagalan? ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar