Minggu, 21 April 2013

Kurikulum Baru ibarat Rencanakan Kegagalan


Kurikulum Baru ibarat Rencanakan Kegagalan
Tb Dedy Suwandi Gumelar  ;  Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDI Perjuangan
MEDIA INDONESIA, 20 April 2013
  

Entah kalimat apa lagi yang pantas dikatakan ketika menyikapi pelaksanaan ujian nasional (UN) yang amburadul. Sepertinya permintaan maaf saja tidak cukup untuk mewakili perasaan orangtua murid dan anak didik yang belum melaksanakan UN itu. Apalagi sebelumnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyatakan pelaksanaan UN berlangsung tepat waktu dan tidak ada masalah. Tidakkah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menimbang sisi psikologis mereka?

Kalau persoalan UN saja sudah sedemikian kacau-balaunya, entah bagaimana nanti tentang implementasi kurikulum 2013 yang bila diperhatikan tidak ubahnya seperti sinetron sebab begitu sarat lika-liku. Hadangan tak hanya datang dari anggota dewan, para guru hingga pemerhati pendidikan juga memberikan respons yang keras atas kebijakan ambisius Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) tersebut.

Khalayak dibuat tercengang oleh upaya penerapan kurikulum baru. Tawuran pelajar dan kualitas pendidikan yang rendah jika dibandingkan dengan negara lain menjadi justifikasi Kemendikbud untuk segera mengganti kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang saat ini berlaku. Menurut Mendikbud M Nuh, penerapan kurikulum di tahun ini ialah harga mati dan tak bisa ditunda.

Benarkah kurikulum menjadi pangkal permasalahan dari semua problematik pendidikan di Indonesia? Hingga sekarang, Kemendikbud masih belum bisa membuktikan hal tersebut. Namun, yang pasti, kebijakan penggantian kurikulum lahir dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014. Ternyata, empat tahun pascaberlakunya KTSP, pemerintah sudah mengagendakan penataan ulang kurikulum dan penyempurnaan kurikulum untuk sekolah dasar dan menengah. Targetnya yakni paling lambat sebelum 2011, yang nantinya akan diaplikasikan di 25% sekolah pada 2012 dan 100% di 2014.

Tampaknya, rencana itu melenceng dari proyeksi semula. Wajar bila kemudian Kemendikbud begitu gigih untuk memberlakukan kurikulum baru di 2013. Menariknya, kurikulum KTSP yang diaplikasikan pada pemerintahan `Indonesia Bersatu' belum dievaluasi dengan baik. Bahkan, dari hasil kunjungan kerja (kunker) penulis di Palembang, Sumatra Selatan, pada 14 Februari lalu, diketahui bahwa guru-guru baru memahami KTSP empat tahun belakangan. Padahal, KTSP sudah berlaku sejak tujuh tahun silam.

Selama ini, evaluasi yang dilakukan Kemendikbud terhadap KTSP hanya sebatas pada masalah yang oleh Ke mendikbud disebut sebagai ma salah struk tural, yakni stan dar isi (SI) yang di dalamnya mencantumkan kurikulum. SENO Belum perlu diaplikasikan Namun, evaluasi tidak secara khusus berdasar pada riset yang mengemukakan kelebihan dan kekurangan KTSP. Termasuk apakah KTSP gagal dalam mengantarkan upaya pencerdasan bangsa, ataukah termasuk membangun karakter dan budaya. Hingga pada akhirnya, benar-benar terbukti bahwa masalah kurikulum menjadi masalah utama yang harus diganti. Atau hanya cukup melakukan penyempurnaan, seperti melakukan penambahan dan pengurangan, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai.

Perlu diketahui bahwa KTSP sebenarnya bisa mewadahi nilai-nilai yang diinginkan Kemendikbud untuk dimasukkan kurikulum baru, seperti akhlak mulia, soft skill, dan kewirausahaan. Namun, itu bergantung pada sejauh mana tiap satuan pendidikan mengapli kasikannya. Dalam acuan operasional penyusunan KTSP sudah dibuatkan koridor yang jelas, seperti (1) peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia, (2) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemampuan peserta didik, (3) keragaman potensi dan karakteris ik daerah dan lingkungan, (4) tun tutan pembangunan daerah dan nasional, (5) tuntutan dunia kerja, (6) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, (7) agama, (8) dinamika perkembangan global, (9) per satuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan, (10) kondisi sosial budaya masyarakat setempat, (11) kesetaraan gender, dan (12) karak teristik satuan pendidikan (BSNP, 2007).

Setelah menilik hal itu, kebijakan untuk merombak kurikulum belum urgent. Lemahnya aplikasi KTSP ialah wujud rendahnya kualitas guru. Upaya yang mesti dilakukan ialah serangkaian pembelajaran dan pelatihan untuk guru-guru. Hal itu justru luput dari perhatian pemerintah. Berdasarkan riset Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) di 20 kabupaten/kota, 62% guru SD hanya mendapatkan pelatihan sekali dalam kurun waktu lima tahun.

Penulis sebagai pihak yang menaruh perhatian lebih pada masalah pendidikan sejatinya sadar akan perlunya perubahan kurikulum demi menjawab tantangan zaman. Namun, bukan perubahan yang sporadis, tak terarah, dan minim perencanaan (planning). Artinya, perubahan kurikulum haruslah rasional. Tidak bisa kebijakan pendidikan hanya dirumuskan dalam satu malam. Kebijakan pendidikan saat ini akan menentukan wajah generasi Indonesia di masa depan. Dengan kebijakan yang tidak dirumuskan secara matang, mustahil generasi emas akan terwujud.

Menepuk Angan

Dalam proses menuju implementasi kurikulum 2013, Kemendikbud juga tampak tidak peduli dengan dinamika yang berkembang. Proses pencetakan buku dilakukan bersamaan dengan proses pengkajian kurikulum. Langkah itu mengindikasikan Kemendikbud memastikan sudah tidak akan ada lagi perubahan dari sisi substansi kurikulum. Kurikulum sudah dikunci dan saran masyarakat pun dipastikan bertepuk sebelah tangan.

Ketidaksiapan guru yang diatasi dengan proses pelatihan singkat selama 52 jam semakin menegaskan Kemendikbud sudah menutup rapat sumbangsih pemikiran dari publik. Itje Chodijah yang telah lama menjadi guru pelatih dalam kesempatan rapat dengan Panja Kurikulum menegaskan waktu yang dibutuhkan dalam pelatihan guru minimal selama 60-120 jam dengan metode tatap muka dan praktik di lapangan.

Lebih lanjut, meski uji publik telah dilaksanakan, hasil dari uji publik menjadi milik pribadi Kemendikbud. Data hasil olahan yang dirilis Kemendikbud pun akhirnya diragukan validitasnya. Benarkah respons stakeholders umumnya mendukung kurikulum 2013? Yang terjadi saat ini input atas kebijakan kurikulum 2013 dari masyarakat berbeda dengan output atau kebijakan kurikulum yang dirumuskan Kemendikbud.

Setelah melihat karut-marutnya kurikulum 2013, penulis pesimistis perubahan kurikulum bisa membawa pengaruh yang positif bagi dunia pendidikan kita. Bukankah gagal merencanakan berarti sama dengan merencanakan kegagalan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar