Di
ruang gelap sejarah, RA Kartini merupakan pejuang yang menyalakan lentera
bagi perjuangan nasib perempuan. Tokoh inilah yang menjadi tonggak
kebebasan perempuan dalam kekangan dan keterbatasan hak hidup.
Tak
hanya memperjuangkan nasib perempuan di ranah pendidikan, Kartini juga
yang berani mendobrak hegemoni kuasa dan tradisi. Perjuangan agung inilah
yang menjadikan Kartini termaktub dalam sejarah perjuangan perempuan yang
mencerahkan.
Setiap 21 April, jejak Kartini ditelusuri dan
dicermati sebagai peristiwa sejarah yang dahsyat. Perjuangan Kartini
menempati traktat agung eksemplar perjuangan transformatif bagi kaum
hawa. Tanpa melupakan tokoh perempuan lain yang juga penting, Kartini
menjadi perempuan agung yang layak dihormati dengan segala atribut
pemikirannya.
Dalam suratnya kepada Ny Van Kol pada 21 Juli 1902,
Kartini melukiskan percikan pemikiran yang memanggung spirit kesetaraan
utuh. Dalam suratnya, Kartini menyatakan kekaguman pada seorang pejuang
perempuan dari India, yang melakukan gerakan kesetaraan dan banyak
diapresiasi media.
“Saya menjadi menggigil karena emosi; jadi tak hanya
wanita kulit putih yang dapat mencapai kehidupan bebas! Wanita berkulit
sawo matang juga dapat membebaskan diri dan hidup berdiri sendiri…” tulis
Kartini.
Walaupun bersimpuh dalam aturan hidup di bilik
kadipaten Jepara, akses bacaan yang melimpah menjadikan Kartini mencerap
pemikiran progresif pada zamannya.
Melalui surat-suratnya yang menghebohkan, jejak
perjuangan Kartini menggema sampai saat ini. Jejak perjuangan Kartini
ditulis dalam Panggil Aku Kartini Saja oleh Pramoedya Ananta Toer, dan
surat-suratnya disusun oleh Armijn Pane dalam Habis Gelap Terbitlah
Terang.
Namun, setelah 105 tahun wafat, perayaan perjuangan
Kartini hanya menjadi ritual simbolik yang kurang menyentuh esensi.
Perayaan Kartini hanya memanggungkan simbol-simbol kewanitaan yang
melekat pada tubuh Kartini, bukan mengenang perjuangan dan menelusuri
pemikirannya.
Keriuhan perayaan Kartini hanya menjadi paradoks, men(salah)
tafsirkan perjuangan hanya pada mode baju, sanggul, dan aksesoris ala
Kartini lainnya. Inilah yang menjadi ironi dalam lorong perayaan
perjuangan Kartini.
Perjuangan Perempuan
Di negeri ini, impian perjuangan Kartini membebaskan
perempuan dari hegemoni patriarki belum teraktualisasi menyeluruh.
Persamaan hak dan ruang kesetaraan bagi perempuan hanya manis di atas
kertas, tetapi pahit ketika dirasakan dalam ruang nyata. Perempuan masih
terbenam dalam lumpur pekat penindasan yang dilematis. Gaung kesetaraan
perempuan masih terbaca timpang, belum menyentuh aspek penting
kemerdekaan perempuan.
Perempuan hanya dibaca dari simbol tubuh, yang
dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Pandangan stereotype terhadap
tubuh perempuan, yang menjadikan perjuangan kesetaraan menjadi timpang.
Padahal, hal ini bertentangan dengan letupan
pemikiran Simone de Beaviour. Dalam bukunya The Second Sex (1983),
Beaviour menuturkan, “Tubuh bukanlah suatu benda, tubuh adalah situasi,
tubuh adalah cengkeraman kita terhadap dunia, dan sketsa dari
proyek-proyek kita.” Dengan demikian, tubuh bukanlah objek yang dapat
seenaknya dieksploitasi demi kepentingan lahiriah.
Emansipasi ganda yang didengungkan Kartini belum
dapat dinikmati secara utuh. Perempuan belum sepenuhnya merdeka dalam dua
ranah, ruang publik dan privat. Hal inilah yang belum sepenuhnya disadari
berbagai pihak. Perjuangan Kartini, tidak hanya memanggungkan peran
perempuan di ranah publik, tapi juga memberi ruang pencerahan perempuan
dalam lorong privat.
Memang, pendidikan dan hak politik bagi perempuan
mulai mendapat ruang terbuka. Namun, tak sepenuhnya perempuan dapat
menikmati kebebasan ini. Tak jarang, perempuan masih menjadi pemuas nafsu
lahiriah laki-laki. Bahkan, usaha pencerdasan perempuan masih membentur
tembok tebal. Padahal, hal ini penting untuk menyuguhkan peran kesetaraan
yang didambakan Kartini.
Dalam ranah politik, gelombang aspirasi perempuan
masih kalah dengan teriakan laki-laki. Porsi 30 persen anggota dewan
perempuan belum sepenuhnya merata di setiap daerah. Akibatnya, kebijakan
pemerintah tentang nasib perempuan belum sepenuhnya memihak kepentingan
kaum hawa.
Ruang politik juga masih belum akrab dengan
perempuan. Politikus perempuan dianggap mementingkan tubuh daripada
pemikiran. Di ruang politik, perempuan seolah tersekat oleh citra tubuh
dan seksualitas.
Hal inilah yang menjadi penggalan pekerjaan
emansipasi yang belum sepenuhnya selesai. Gelombang gerakan emansipasi
hendaknya menjadi masterplan perjuangan perempuan. Seperti yang diimpikan
Julia Kristeva (1986) dalam karyanya Women’s Time.
Budaya Patriarki
Gema perjuangan kesetaraan perempuan masih
meninggalkan lubang kegelisahan. Harus ada usaha konkret untuk mewujudkan
impian Kartini tentang hak hidup perempuan. Misalnya, belenggu budaya
patriarki yang masih mengekang kebebasan perempuan.
Dalam budaya patriarki, otoritas tertinggi ada pada
suami sebagai kepala rumah tangga. Suami berhak menentukan sistem kecil
dalam rumah tangga, aturan bagi orang-orang yang berdiam sebagai
keluarga, bahkan memberi ancaman sebagai “pelajaran” bagi istrinya.
Pada titik inilah, kampanye perubahan paradigma
berfikir hendaknya segera dilakukan. Lelaki sebagai kepala rumah tangga
hendaknya tidak menjadikan istri sebagai pelayan yang bebas diperintah,
tetapi sebagai partner yang memiliki hak memberi kontribusi pemikiran
terhadap nasib keluarga.
Seringkali perempuan memiliki perspektif yang lebih
jernih ketika menghadapi problema yang menyeruak dalam rumah tangga.
Pandangan lelaki yang bebas memperlakukan istrinya sebaiknya segera
ditepis. Tindakan melecehkan perempuan, baik di ruang privat, maupun di
ruang public harus segera dikubur.
Gema perayaan kelahiran Kartini hendaknya menjadi
ruang kontemplasi bagi berbagai pihak untuk memandang gerakan kesetaraan
secara utuh. Memperingati kelahiran Kartini adalah membuka pintu dan
ruang dialog dengan letupan gagasan-gagasannya.
Dalam jejak perjuangan Kartini, emansipasi tak
sebatas terbukanya gerbang pendidikan bagi kaum perempuan. Emansipasi
lebih menyuarakan tersingkirkan budaya patriarki dari ruang privat dan
publik.
Menuju 2014, saya menanti Kartini-Kartini baru yang
berani mendobrak ruang-ruang publik utuk menjadi aktor perubahan, entah
di legislatif, eksektutif, ataupun model kepemimpinan yang lain. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar