Minggu, 21 April 2013

Kartini dan Politik Kesetaraan Masa Kini


Kartini dan Politik Kesetaraan Masa Kini
Munawir Aziz  Alumnus Center for Religious and Cross Cultural Studies (CRCS) Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta
SINAR HARAPAN, 20 April 2013

  
Di ruang gelap sejarah, RA Kartini merupakan pejuang yang menyalakan lentera bagi perjuangan nasib perempuan. Tokoh inilah yang menjadi tonggak kebebasan perempuan dalam kekangan dan keterbatasan hak hidup.

Tak hanya memperjuangkan nasib perempuan di ranah pendidikan, Kartini juga yang berani mendobrak hegemoni kuasa dan tradisi. Perjuangan agung inilah yang menjadikan Kartini termaktub dalam sejarah perjuangan perempuan yang mencerahkan.

Setiap 21 April, jejak Kartini ditelusuri dan dicermati sebagai peristiwa sejarah yang dahsyat. Perjuangan Kartini menempati traktat agung eksemplar perjuangan transformatif bagi kaum hawa. Tanpa melupakan tokoh perempuan lain yang juga penting, Kartini menjadi perempuan agung yang layak dihormati dengan segala atribut pemikirannya.

Dalam suratnya kepada Ny Van Kol pada 21 Juli 1902, Kartini melukiskan percikan pemikiran yang memanggung spirit kesetaraan utuh. Dalam suratnya, Kartini menyatakan kekaguman pada seorang pejuang perempuan dari India, yang melakukan gerakan kesetaraan dan banyak diapresiasi media.
“Saya menjadi menggigil karena emosi; jadi tak hanya wanita kulit putih yang dapat mencapai kehidupan bebas! Wanita berkulit sawo matang juga dapat membebaskan diri dan hidup berdiri sendiri…” tulis Kartini.

Walaupun bersimpuh dalam aturan hidup di bilik kadipaten Jepara, akses bacaan yang melimpah menjadikan Kartini mencerap pemikiran progresif pada zamannya.

Melalui surat-suratnya yang menghebohkan, jejak perjuangan Kartini menggema sampai saat ini. Jejak perjuangan Kartini ditulis dalam Panggil Aku Kartini Saja oleh Pramoedya Ananta Toer, dan surat-suratnya disusun oleh Armijn Pane dalam Habis Gelap Terbitlah Terang.

Namun, setelah 105 tahun wafat, perayaan perjuangan Kartini hanya menjadi ritual simbolik yang kurang menyentuh esensi. Perayaan Kartini hanya memanggungkan simbol-simbol kewanitaan yang melekat pada tubuh Kartini, bukan mengenang perjuangan dan menelusuri pemikirannya.
Keriuhan perayaan Kartini hanya menjadi paradoks, men(salah) tafsirkan perjuangan hanya pada mode baju, sanggul, dan aksesoris ala Kartini lainnya. Inilah yang menjadi ironi dalam lorong perayaan perjuangan Kartini.

Perjuangan Perempuan

Di negeri ini, impian perjuangan Kartini membebaskan perempuan dari hegemoni patriarki belum teraktualisasi menyeluruh. Persamaan hak dan ruang kesetaraan bagi perempuan hanya manis di atas kertas, tetapi pahit ketika dirasakan dalam ruang nyata. Perempuan masih terbenam dalam lumpur pekat penindasan yang dilematis. Gaung kesetaraan perempuan masih terbaca timpang, belum menyentuh aspek penting kemerdekaan perempuan.

Perempuan hanya dibaca dari simbol tubuh, yang dieksploitasi untuk berbagai kepentingan. Pandangan stereotype terhadap tubuh perempuan, yang menjadikan perjuangan kesetaraan menjadi timpang.

Padahal, hal ini bertentangan dengan letupan pemikiran Simone de Beaviour. Dalam bukunya The Second Sex (1983), Beaviour menuturkan, “Tubuh bukanlah suatu benda, tubuh adalah situasi, tubuh adalah cengkeraman kita terhadap dunia, dan sketsa dari proyek-proyek kita.” Dengan demikian, tubuh bukanlah objek yang dapat seenaknya dieksploitasi demi kepentingan lahiriah.

Emansipasi ganda yang didengungkan Kartini belum dapat dinikmati secara utuh. Perempuan belum sepenuhnya merdeka dalam dua ranah, ruang publik dan privat. Hal inilah yang belum sepenuhnya disadari berbagai pihak. Perjuangan Kartini, tidak hanya memanggungkan peran perempuan di ranah publik, tapi juga memberi ruang pencerahan perempuan dalam lorong privat.

Memang, pendidikan dan hak politik bagi perempuan mulai mendapat ruang terbuka. Namun, tak sepenuhnya perempuan dapat menikmati kebebasan ini. Tak jarang, perempuan masih menjadi pemuas nafsu lahiriah laki-laki. Bahkan, usaha pencerdasan perempuan masih membentur tembok tebal. Padahal, hal ini penting untuk menyuguhkan peran kesetaraan yang didambakan Kartini.

Dalam ranah politik, gelombang aspirasi perempuan masih kalah dengan teriakan laki-laki. Porsi 30 persen anggota dewan perempuan belum sepenuhnya merata di setiap daerah. Akibatnya, kebijakan pemerintah tentang nasib perempuan belum sepenuhnya memihak kepentingan kaum hawa.
Ruang politik juga masih belum akrab dengan perempuan. Politikus perempuan dianggap mementingkan tubuh daripada pemikiran. Di ruang politik, perempuan seolah tersekat oleh citra tubuh dan seksualitas.

Hal inilah yang menjadi penggalan pekerjaan emansipasi yang belum sepenuhnya selesai. Gelombang gerakan emansipasi hendaknya menjadi masterplan perjuangan perempuan. Seperti yang diimpikan Julia Kristeva (1986) dalam karyanya Women’s Time.

Budaya Patriarki

Gema perjuangan kesetaraan perempuan masih meninggalkan lubang kegelisahan. Harus ada usaha konkret untuk mewujudkan impian Kartini tentang hak hidup perempuan. Misalnya, belenggu budaya patriarki yang masih mengekang kebebasan perempuan.

Dalam budaya patriarki, otoritas tertinggi ada pada suami sebagai kepala rumah tangga. Suami berhak menentukan sistem kecil dalam rumah tangga, aturan bagi orang-orang yang berdiam sebagai keluarga, bahkan memberi ancaman sebagai “pelajaran” bagi istrinya.

Pada titik inilah, kampanye perubahan paradigma berfikir hendaknya segera dilakukan. Lelaki sebagai kepala rumah tangga hendaknya tidak menjadikan istri sebagai pelayan yang bebas diperintah, tetapi sebagai partner yang memiliki hak memberi kontribusi pemikiran terhadap nasib keluarga.

Seringkali perempuan memiliki perspektif yang lebih jernih ketika menghadapi problema yang menyeruak dalam rumah tangga. Pandangan lelaki yang bebas memperlakukan istrinya sebaiknya segera ditepis. Tindakan melecehkan perempuan, baik di ruang privat, maupun di ruang public harus segera dikubur.

Gema perayaan kelahiran Kartini hendaknya menjadi ruang kontemplasi bagi berbagai pihak untuk memandang gerakan kesetaraan secara utuh. Memperingati kelahiran Kartini adalah membuka pintu dan ruang dialog dengan letupan gagasan-gagasannya.
Dalam jejak perjuangan Kartini, emansipasi tak sebatas terbukanya gerbang pendidikan bagi kaum perempuan. Emansipasi lebih menyuarakan tersingkirkan budaya patriarki dari ruang privat dan publik.

Menuju 2014, saya menanti Kartini-Kartini baru yang berani mendobrak ruang-ruang publik utuk menjadi aktor perubahan, entah di legislatif, eksektutif, ataupun model kepemimpinan yang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar