Pada setiap 22 April, masyarakat di seluruh penjuru
dunia kembali diingatkan untuk peduli terhadap kelangsungan dan
keberlanjutan bumi. Dimulai pada 1970 oleh Senator Gaylord Nelson di
Amerika Serikat, gerakan untuk menyelamatkan bumi berkembang pesat
melalui gerakan akar rumput, advokasi, ataupun kampanye yang dilakukan
oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya. Namun,
sejak beberapa tahun terakhir, isu lingkungan hidup tenggelam, sehingga
perlu disikapi dengan melakukan reposisi gerakan penyelamatan bumi.
Bumi saat ini dihuni oleh sekitar 6 miliar penduduk
dan akan semakin bertambah, khususnya di Benua Asia dan Afrika. Hal ini
berbeda dengan di Benua Amerika dan Eropa, yang menunjukkan gejala
pertumbuhan jumlah penduduk yang melambat atau bahkan menurun. Mahatma
Gandhi pernah berujar bahwa bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan
manusia, tapi tidak bisa mencukupi keserakahan manusia.
Apa yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi itu memang
sangat benar. Persoalan utama yang saat ini dihadapi adalah pertumbuhan
jumlah penduduk yang tidak terkontrol, sehingga dibutuhkan lebih banyak
sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alhasil, eksploitasi sumber
daya alam terjadi dalam tingkat yang semakin mengkhawatirkan, melewati
batas kemampuan alam untuk bisa menerimanya (beyond the carrying capacity). Ketika sumber daya di perut
dan permukaan bumi-misalnya bahan tambang, sumber daya mineral, hutan,
dan tanah-dieksploitasi tanpa memperhatikan keseimbangan alam, maka
bencana akan terjadi. Banjir, tanah longsor, pencemaran, dan kekeringan
semakin intensif terjadi sejak beberapa dekade terakhir ini.
Pemanasan global yang telah menjadi isu pokok di
tingkat global adalah salah satu dampak dari eksploitasi bumi. Pemakaian
energi berbahan dasar dari fosil, seperti minyak dan batu bara, telah
memproduksi emisi karbon yang sangat besar, khususnya sejak
industrialisasi dimulai di Barat pada abad ke-19. Emisi karbon tersebut
tidak mampu diserap oleh bumi dan terperangkap di atmosfer sehingga suhu
bumi semakin panas. Akibatnya, es di Kutub Utara mencair, permukaan air
laut naik, terjadi kekacauan iklim, dan timbul bencana buatan manusia
lainnya (human-induced disaster).
Upaya untuk merespons pemanasan global tidak cukup
hanya melalui inisiatif mekanisme pembangunan bersih, seperti jual-beli
kredit karbon ataupun mempertahankan luas hutan. Namun perlu juga
tindakan yang lebih mendasar, yaitu mengurangi pertumbuhan ekonomi atau
degrowth. Artinya, konsumsi harus dikurangi dan produksi harus ditekan,
sehingga pemakaian energi fosil pun akan berkurang. Tanpa upaya radikal
ini, pemanasan global akan semakin sulit ditanggulangi.
Untuk melaksanakannya, perlu gerakan yang terpadu
dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas atau kombinasi dari top-down
dan bottom-up approach. Pendekatan dari atas di antaranya dilakukan
melalui kebijakan negara yang, misalnya, mengatur pembatasan dan
pengurangan pemakaian energi fosil, kewajiban bagi perusahaan untuk
mengurangi emisi karbon dan insentif, pelestarian hutan, dan pemakaian
transportasi umum. Negara harus mendukung inisiatif dari perusahaan atau
masyarakat yang memiliki program untuk mengurangi emisi karbon.
Sementara pendekatan dari bawah ke atas di antaranya
gerakan masyarakat untuk mengkampanyekan dan melakukan tindakan riil
dalam penyelamatan bumi. Inisiatif akar rumput yang berbasis pada
kearifan lokal dan adat banyak muncul di seantero Nusantara. Misalnya,
adat untuk melarang memasuki hutan larangan bermaksud untuk menjaga
kelestarian hutan ataupun upacara "merti bumi", yang bertujuan
menghormati anugerah alam dengan cara melestarikan sumber daya air dan
hutan.
Dalam kedua pendekatan tersebut, peran organisasi
penekan, seperti LSM di bidang lingkungan hidup, sangat strategis dan
penting. Berbeda dengan era 1990-2000-an, di mana LSM yang melakukan
advokasi dan pengorganisasian di bidang lingkungan hidup sangat banyak
dan kuat, saat ini gaungnya semakin redup. Hal itu tentu memprihatinkan
karena kekuatan LSM menjadi penekan serta penyeimbang kebijakan negara
dan perusahaan yang salah. LSM-lah, melalui Walhi, yang pada 1980-an
mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup (legal standing), dan
diterima di pengadilan. Suara-suara kritis LSM menjadi corong bagi
lingkungan hidup (the voiceless)
yang teraniaya oleh keserakahan manusia dan kebijakan negara.
Tenggelamnya isu lingkungan hidup bukan karena tidak
penting, melainkan publik saat ini lebih banyak tertarik pada isu yang
bombastis, misalnya korupsi. Untuk itu, gerakan lingkungan hidup harus
mereposisi diri dan dipadukan dengan isu-isu aktual, seperti korupsi.
Publik perlu dan berhak tahu bahwa kerusakan lingkungan hidup terjadi
secara "legal" dan sistematis, di antaranya melalui kebijakan
negara. Dengan demikian, ada unsur tindak pidana korupsi dalam peristiwa
perusakan lingkungan hidup. Ambil contoh, izin-izin pertambangan di hutan
lindung atau eksploitasi kayu di kawasan gambut.
Untuk itulah, agar tetap relevan dan
mendapat dukungan publik, gerakan penyelamatan lingkungan hidup-di
antaranya pada setiap peringatan Hari Bumi-harus sinergis dengan isu-isu
aktual, seperti pemanasan global dan korupsi. Publik dan negara harus
diedukasi bahwa dampak dari rusak dan dirusaknya lingkungan hidup
berakibat fatal secara sosial, ekonomi, dan berjangka panjang. Momentum
Pemilihan Umum 2014 hendaknya juga dipergunakan sebagai media untuk
mendorong agar partai politik mempunyai platform tentang lingkungan
hidup. Selain itu, kita harus mendidik masyarakat agar memilih para calon
legislator dan calon presiden/wakil presiden yang mempunyai visi-misi
untuk melestarikan lingkungan hidup. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar