Selasa, 23 April 2013

Reposisi Gerakan Penyelamatan Bumi


Reposisi Gerakan Penyelamatan Bumi
Mimin Dwi Hartono ;  Dewan Pengurus Yayasan Wana Mandhira
KORAN TEMPO, 22 April 2013

  
Pada setiap 22 April, masyarakat di seluruh penjuru dunia kembali diingatkan untuk peduli terhadap kelangsungan dan keberlanjutan bumi. Dimulai pada 1970 oleh Senator Gaylord Nelson di Amerika Serikat, gerakan untuk menyelamatkan bumi berkembang pesat melalui gerakan akar rumput, advokasi, ataupun kampanye yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan organisasi lainnya. Namun, sejak beberapa tahun terakhir, isu lingkungan hidup tenggelam, sehingga perlu disikapi dengan melakukan reposisi gerakan penyelamatan bumi.
Bumi saat ini dihuni oleh sekitar 6 miliar penduduk dan akan semakin bertambah, khususnya di Benua Asia dan Afrika. Hal ini berbeda dengan di Benua Amerika dan Eropa, yang menunjukkan gejala pertumbuhan jumlah penduduk yang melambat atau bahkan menurun. Mahatma Gandhi pernah berujar bahwa bumi ini cukup untuk memenuhi kebutuhan manusia, tapi tidak bisa mencukupi keserakahan manusia.
Apa yang disampaikan oleh Mahatma Gandhi itu memang sangat benar. Persoalan utama yang saat ini dihadapi adalah pertumbuhan jumlah penduduk yang tidak terkontrol, sehingga dibutuhkan lebih banyak sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia. Alhasil, eksploitasi sumber daya alam terjadi dalam tingkat yang semakin mengkhawatirkan, melewati batas kemampuan alam untuk bisa menerimanya (beyond the carrying capacity). Ketika sumber daya di perut dan permukaan bumi-misalnya bahan tambang, sumber daya mineral, hutan, dan tanah-dieksploitasi tanpa memperhatikan keseimbangan alam, maka bencana akan terjadi. Banjir, tanah longsor, pencemaran, dan kekeringan semakin intensif terjadi sejak beberapa dekade terakhir ini.
Pemanasan global yang telah menjadi isu pokok di tingkat global adalah salah satu dampak dari eksploitasi bumi. Pemakaian energi berbahan dasar dari fosil, seperti minyak dan batu bara, telah memproduksi emisi karbon yang sangat besar, khususnya sejak industrialisasi dimulai di Barat pada abad ke-19. Emisi karbon tersebut tidak mampu diserap oleh bumi dan terperangkap di atmosfer sehingga suhu bumi semakin panas. Akibatnya, es di Kutub Utara mencair, permukaan air laut naik, terjadi kekacauan iklim, dan timbul bencana buatan manusia lainnya (human-induced disaster).
Upaya untuk merespons pemanasan global tidak cukup hanya melalui inisiatif mekanisme pembangunan bersih, seperti jual-beli kredit karbon ataupun mempertahankan luas hutan. Namun perlu juga tindakan yang lebih mendasar, yaitu mengurangi pertumbuhan ekonomi atau degrowth. Artinya, konsumsi harus dikurangi dan produksi harus ditekan, sehingga pemakaian energi fosil pun akan berkurang. Tanpa upaya radikal ini, pemanasan global akan semakin sulit ditanggulangi.
Untuk melaksanakannya, perlu gerakan yang terpadu dari atas ke bawah dan dari bawah ke atas atau kombinasi dari top-down dan bottom-up approach. Pendekatan dari atas di antaranya dilakukan melalui kebijakan negara yang, misalnya, mengatur pembatasan dan pengurangan pemakaian energi fosil, kewajiban bagi perusahaan untuk mengurangi emisi karbon dan insentif, pelestarian hutan, dan pemakaian transportasi umum. Negara harus mendukung inisiatif dari perusahaan atau masyarakat yang memiliki program untuk mengurangi emisi karbon. 
Sementara pendekatan dari bawah ke atas di antaranya gerakan masyarakat untuk mengkampanyekan dan melakukan tindakan riil dalam penyelamatan bumi. Inisiatif akar rumput yang berbasis pada kearifan lokal dan adat banyak muncul di seantero Nusantara. Misalnya, adat untuk melarang memasuki hutan larangan bermaksud untuk menjaga kelestarian hutan ataupun upacara "merti bumi", yang bertujuan menghormati anugerah alam dengan cara melestarikan sumber daya air dan hutan.
Dalam kedua pendekatan tersebut, peran organisasi penekan, seperti LSM di bidang lingkungan hidup, sangat strategis dan penting. Berbeda dengan era 1990-2000-an, di mana LSM yang melakukan advokasi dan pengorganisasian di bidang lingkungan hidup sangat banyak dan kuat, saat ini gaungnya semakin redup. Hal itu tentu memprihatinkan karena kekuatan LSM menjadi penekan serta penyeimbang kebijakan negara dan perusahaan yang salah. LSM-lah, melalui Walhi, yang pada 1980-an mengajukan gugatan atas nama lingkungan hidup (legal standing), dan diterima di pengadilan. Suara-suara kritis LSM menjadi corong bagi lingkungan hidup (the voiceless) yang teraniaya oleh keserakahan manusia dan kebijakan negara.
Tenggelamnya isu lingkungan hidup bukan karena tidak penting, melainkan publik saat ini lebih banyak tertarik pada isu yang bombastis, misalnya korupsi. Untuk itu, gerakan lingkungan hidup harus mereposisi diri dan dipadukan dengan isu-isu aktual, seperti korupsi. Publik perlu dan berhak tahu bahwa kerusakan lingkungan hidup terjadi secara "legal" dan sistematis, di antaranya melalui kebijakan negara. Dengan demikian, ada unsur tindak pidana korupsi dalam peristiwa perusakan lingkungan hidup. Ambil contoh, izin-izin pertambangan di hutan lindung atau eksploitasi kayu di kawasan gambut.
Untuk itulah, agar tetap relevan dan mendapat dukungan publik, gerakan penyelamatan lingkungan hidup-di antaranya pada setiap peringatan Hari Bumi-harus sinergis dengan isu-isu aktual, seperti pemanasan global dan korupsi. Publik dan negara harus diedukasi bahwa dampak dari rusak dan dirusaknya lingkungan hidup berakibat fatal secara sosial, ekonomi, dan berjangka panjang. Momentum Pemilihan Umum 2014 hendaknya juga dipergunakan sebagai media untuk mendorong agar partai politik mempunyai platform tentang lingkungan hidup. Selain itu, kita harus mendidik masyarakat agar memilih para calon legislator dan calon presiden/wakil presiden yang mempunyai visi-misi untuk melestarikan lingkungan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar