Selasa, 23 April 2013

Ketika Uang dan Ketenaran Lebih Diutamakan


Ketika Uang dan Ketenaran Lebih Diutamakan
Ikrar Nusa Bhakti ;  Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
MEDIA INDONESIA, 22 April 2013

  
HARI ini, Senin, 22 April 2013, ialah hari terakhir partai-partai politik peserta pemilu menyerahkan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif 2014-2019 ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat pusat maupun daerah (KPUD). Hingga menjelang hari akhir pendaftaran, masih banyak partai yang belum menyerahkan DCS.

Ada beberapa persoalan terkait dengan DCS ini. Pertama, semua partai politik diwajibkan untuk memenuhi kuota 30% untuk calon perempuan. Kedua, partai-partai juga harus menyerahkan data yang lengkap mengenai para calon anggota dewan yang diusungnya. Ketiga, partai politik juga harus menghitung secara pragmatis siapa saja yang patut masuk DCS yang mereka buat.

Bila kita baca secara saksama perkembangan politik terakhir terkait dengan DCS itu, tampak jelas betapa semua partai mengalami kesulitan untuk memenuhi kuota 30% perempuan tersebut. Satu kemajuan besar ditunjukkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang walaupun masih dirundung isu korupsi di partai mereka dan masih disibukkan membangun kembali soliditas partai, ternyata mampu menjadi partai pertama yang menyerahkan DCS ke KPU dengan jumlah perwakilan perempuan 38% berbanding dengan 62% laki-laki. PKS juga membanggakan diri bahwa para caleg mereka sebagian besar orang-orang muda di bawah 50 tahun. Padahal, kematangan dan atau kepiawaian politik seseorang tidak ditentukan usia, tetapi pengalaman politiknya. Persoalan caleg perempuan itu muncul karena selama ini ada anggapan bahwa perempuan tidak pantas untuk menjadi aktor politik karena politik itu kotor. Padahal, politik itu bisa saja bersih, indah, dan menarik untuk dilihat dan dijalankan, walaupun tidak jarang pula menggelikan dan menjijikkan. Perempuan, dalam budaya di beberapa daerah, juga diangggap konco wingking (teman di belakang) laki-laki, baik mereka yang berbudaya Jawa, Islam, maupun budaya lain di Indonesia.

Perempuan, di mata banyak keluarga, juga tidak pantas berpolitik karena akan sering pulang malam atau jarang di rumah karena harus mengikuti rapat atau kunjungan kerja. Padahal, dalam dunia yang telah berubah seharusnya ada pembagian kerja dan tanggung jawab ber sama di rumah tangga antara perempuan dan laki-laki. Ketidaksukaan sebagian orang tentang perempuan dan politik mungkin juga disebabkan adanya beberapa politikus perempuan di parlemen yang tak kalah hebatnya dalam melakukan korupsi atau penyalahgunaan jabatan.
Kader tak jelas Selain persoalan caleg perempuan yang terus menjadi persoalan bagi partai-partai politik, persoalan siapa saja yang layak dimasukkan ke DCS juga menjadi masalah tersendiri. Beberapa partai politik seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), PKS, dan PPP sudah memiliki standard operating procedure (SOP) untuk menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas duduk di parlemen.

Beberapa butir penting yang mereka buat ialah, pertama, apakah ia seorang kader lama atau baru; kedua, bagaimana dengan loyalitasnya kepada partai; ketiga, bagaimana rekam jejaknya selama 5-10 tahun terakhir, apakah berkelakuan baik, tidak korup, tidak pernah tersangkut kasus pidana ataupun perdata; keempat, bagaimana dengan pendidi kannya, apakah ia seorang sarjana S-1, S-2, atau S-3, atau kekuatan akade mik lainnya; kelima, a pakah ia seorang yang komunikatif dalam ber hubungan dengan sesama anggota partai, pimpinan, konstituen partainya, dan seorang mudah bergaul de ngan kalangan mana pun dengan ideologi apa pun; keenam, apakah ia memiliki kapasitas kepemimpinan; ketujuh, apakah ia memiliki masalah ke uangan atau tidak.

Pada kenyataannya, buku panduan pencalegan itu lebih banyak sebagai buku suci yang tidak pernah menjadi patokan atau bahkan hampir-hampir tidak dibaca para pemimpin partai. Persoalan loyalitas kepada pimpinan partai (bukan kepada partai), kekuatan finansial seseorang, terkenal atau tidaknya seseorang, jauh lebih menentukan apakah seseorang menjadi caleg ketimbang standar baku itu.

Karena itu, jangan heran kalau seorang pengusaha atau artis lebih dianggap memenuhi persyaratan sebagai caleg di mata beberapa partai ketimbang seorang aktivis politik atau orang yang memiliki kapasitas akademik yang tinggi. Itu bukan berarti seorang pengusaha tidak akan mampu menjadi politikus yang andal. Namun, seperti dikatakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, para pengusaha muda sebai knya urus usaha dulu sebe lum Nurul Arifin, atau Rieke Dyah Pitaloka---ialah contoh-contoh artis yang sukses berpolitik dengan kualitas yang baik. Namun, tidak sedikit artis yang suaranya nyaris tidak terdengar di parlemen, bahkan bicara soal nasib artis Indonesia sekalipun. Mereka hanya menjadi pajangan atau bahkan menjadi beban bagi partai mereka di parlemen.

Ada juga partai politik, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang membanggakan diri sebagai partai yang banyak merekrut mantan aktivis mahasiswa untuk menjadi calon legislatif. Padahal, kebanggaan itu menunjukkan PKB selama ini gagal melakukan rekrutmen politik dan kaderisasi berkesinambungan.
Satu fenomena politik yang menarik belakangan ini ialah tidak sedikit aktivis mahasiswa yang (maaf) kurang cemerlang secara akademik, tetapi berusaha menjadikan diri laku di pasaran politik dengan cara memasukkan aktivitas demonstrasi atau pernah ditahan karena demo yang brutal sebagai bagian dari rekam jejak keaktifan dalam politik. Mereka sengaja menunjukkan diri `berani' melawan aparat negara dan ditangkap sebagai bagian dari curriculum vitae agar direkrut partaipartai politik untuk dimasukkan ke DCS.

Namun, yang lebih menarik ialah adanya partai-partai politik yang memasang iklan di media massa atau spanduk di jalan-jalan untuk melakukan perekrutan politik untuk menjadi anggota parlemen dari partai itu. Itu terjadi, misalnya, dengan Partai Gerindra, Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang kebetulan masing-masing dipimpin para mantan jenderal TNI-AD, yakni Prabowo Subianto, Wiranto, dan Sutiyoso.

Kekuatan finansial vs kualitas Partai-partai politik juga ada yang lebih mengutamakan kapasitas finansial orang yang diajukan untuk menjadi anggota legislatif ketimbang kualitas para politikus tersebut. Itu disebabkan sistem pemilu legislatif dengan daftar urut terbuka mengharuskan seorang caleg memiliki kemampuan finansial untuk mendapatkan pemilih. Pilihan pada artis juga disebabkan seorang artis terkenal tentunya lebih sedikit mengeluarkan anggaran kampanye untuk dirinya ketimbang politikus biasa.

Sistem pemilu legislatif (pileg) seperti itu, tanpa diimbangi dengan pengawasan pada penerimaan dan pengeluaran uang oleh para individu politikus, akan menjadikan politik di Indonesia semakin mahal dan korup. Bukan mustahil para caleg itu menggunakan sistem ijon, yaitu menerima uang bantuan terlebih dulu dari mereka yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik, dan baru kemudian ia membayarnya dengan mendu kung atau meloloskan berbagai ke bijakan yang menguntungkan para penyandang dana tersebut.

Dalam bahasa politik sistem itu dikenal dengan bribes and kickbacks (menyogok dan mendapatkan bola hasil tendangan balik). Dalam ben tuknya yang lain, politikus yang telah mengeluarkan uang yang banyak un tuk kampanye dirinya tentunya akan berusaha keras untuk mendapatkan kembali uangnya atau mendapatkan keuntungan ekonomi dari posisinya sebagai politikus.

Hingga saat ini masalah finansial par tai dan anggota partai masih menjadi sesuatu yang rahasia bagi kebanyakan partai di Indonesia. Padahal, itu me nyangkut transparansi anggaran dan transparansi politik demi membangun kualitas politikus dan politik itu sendiri.

Indeks transparansi yang dibuat Trans paransi Internasional Indonesia (TII) me nunjukkan hanya ada lima partai yang transparan yang ada di DPR RI sekarang. Dari skor indeks 0-4 (0 terburuk dan 4 ter baik), Gerindra mendapatkan skor 3,74; PAN 3,64; PDIP 3,10; Hanura 2,41; dan PKB 2,31. Partai lainnya mendapatkan indeks di bawah 2 dan hanya Partai Golkar yang sama sekali tidak mau terbuka mengenai finansial partai mereka (Kompas, 20 April 2013).

Teliti sebelum memilih Kita harus menjadi warga negara dan sekaligus pemilih yang kritis jika kita ingin ikut berperan serta meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Jangan karena kita kenal orang tersebut, kita memilih orang itu menjadi anggota parlemen. Pengetahuan mengenai para caleg, bagaimana rekam jejak mereka, juga akan menentukan kita benarbenar memilih orang-orang yang berkualitas untuk duduk di parlemen pusat dan daerah.
Jika kita cuek, politik serasa menjadi sesuatu yang hambar. ter jun ke politik ka rena khawatir mereka akan meng gunakan posisi politik untuk mengembangkan usaha mereka.
Seorang artis--seperti Miing (Dedi Gumilar), Rano Karno, Nurul Arifin, atau Rieke Dyah Pitaloka---ialah contoh-contoh artis yang sukses berpolitik dengan kualitas yang baik. Namun, tidak sedikit artis yang suaranya nyaris tidak terdengar di parlemen, bahkan bicara soal nasib artis Indonesia sekalipun. 
Mereka hanya menjadi pajangan atau bahkan menjadi beban bagi partai mereka di parlemen.

Ada juga partai politik, seperti Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang membanggakan diri sebagai partai yang banyak merekrut mantan aktivis mahasiswa untuk menjadi calon legislatif. Padahal, kebanggaan itu menunjukkan PKB selama ini gagal melakukan rekrutmen politik dan kaderisasi berkesinambungan. Satu fenomena politik yang menarik belakangan ini ialah tidak sedikit aktivis mahasiswa yang (maaf) kurang cemerlang secara akademik, tetapi berusaha menjadikan diri laku di pasaran politik dengan cara memasukkan aktivitas demonstrasi atau pernah ditahan karena demo yang brutal sebagai bagian dari rekam jejak keaktifan dalam politik. Mereka sengaja menunjukkan diri ‘berani’ melawan aparat negara dan ditangkap sebagai bagian dari curriculum vitae agar direkrut partai-partai politik untuk dimasukkan ke DCS.

Namun, yang lebih menarik ialah adanya partai-partai politik yang memasang iklan di media massa atau spanduk di jalan-jalan untuk melakukan perekrutan politik untuk menjadi anggota parlemen dari partai itu. Itu terjadi, misalnya, dengan Partai Gerindra, Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang kebetulan masing-masing dipimpin para mantan jenderal TNI-AD, yakni Prabowo Subianto, Wiranto, dan Sutiyoso.

Kekuatan Finansial vs Kualitas

Partai-partai politik juga ada yang lebih mengutamakan kapasitas finansial orang yang diajukan untuk menjadi anggota legislatif ketimbang kualitas para politikus tersebut. Itu disebabkan sistem pemilu legislatif dengan daftar urut terbuka mengharuskan seorang caleg memiliki kemampuan finansial untuk
mendapatkan pemilih. Pilihan pada artis juga disebabkan seorang artis terkenal tentunya lebih sedikit mengeluarkan anggaran kampanye
untuk dirinya ketimbang politikus biasa.

Sistem pemilu legislatif (pileg) seperti itu, tanpa diimbangi dengan pengawasan pada penerimaan dan pengeluaran uang oleh para individu politikus, akan menjadikan politik di Indonesia semakin mahal dan korup. Bukan mustahil para caleg itu menggunakan sistem ijon, yaitu menerima uang bantuan terlebih dulu dari mereka yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik, dan baru kemudian ia membayarnya dengan mendukung atau meloloskan berbagai kebijakan yang menguntungkan para penyandang dana tersebut.

Dalam bahasa politik sistem itu dikenal dengan bribes and kickbacks
(menyogok dan mendapatkan bola hasil tendangan balik). Dalam bentuknya
yang lain, politikus yang telah mengeluarkan uang yang banyak untuk
kampanye dirinya tentunya akan berusaha keras untuk mendapatkan kembali uangnya atau mendapatkan keuntungan ekonomi dari posisinya sebagai politikus.

Hingga saat ini masalah finansial partai dan anggota partai masih menjadi
sesuatu yang rahasia bagi kebanyakan partai di Indonesia. Padahal, itu menyangkut transparansi anggaran dan transparansi politik demi membangun
kualitas politikus dan politik itu sendiri. Indeks transparansi yang dibuat Transparansi Internasional Indonesia (TII) menunjukkan hanya ada lima partai yang transparan yang ada di DPR RI sekarang. Dari skor indeks 0-4 (0 terburuk dan 4 terbaik), Gerindra mendapatkan skor 3,74; PAN 3,64; PDIP 3,10; Hanura 2,41; dan PKB 2,31. Partai lainnya mendapatkan indeks di bawah 2 dan hanya Partai Golkar yang sama sekali tidak mau terbuka mengenai fi nansial partai mereka (Kompas, 20 April 2013).

Teliti Sebelum Memilih

Kita harus menjadi warga negara dan sekaligus pemilih yang kritis jika kita ingin ikut berperan serta meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Jangan karena kita kenal orang tersebut, kita memilih orang itu menjadi anggota parlemen. Pengetahuan mengenai para caleg, bagaimana rekam jejak
mereka, juga akan menentukan kita benar-benar memilih orang-orang yang berkualitas untuk duduk di parlemen pusat dan daerah. Jika kita cuek, politik serasa menjadi sesuatu yang hambar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar