HARI ini, Senin, 22 April
2013, ialah hari terakhir partai-partai politik peserta pemilu
menyerahkan daftar calon sementara (DCS) anggota legislatif 2014-2019 ke
Komisi Pemilihan Umum (KPU) baik di tingkat pusat maupun daerah (KPUD).
Hingga menjelang hari akhir pendaftaran, masih banyak partai yang belum
menyerahkan DCS.
Ada beberapa persoalan terkait dengan DCS
ini. Pertama, semua partai politik diwajibkan untuk memenuhi kuota 30%
untuk calon perempuan. Kedua, partai-partai juga harus menyerahkan data
yang lengkap mengenai para calon anggota dewan yang diusungnya. Ketiga, partai politik juga harus menghitung secara pragmatis siapa saja
yang patut masuk DCS yang mereka buat.
Bila kita baca secara saksama
perkembangan politik terakhir terkait dengan DCS itu, tampak jelas betapa
semua partai mengalami kesulitan untuk memenuhi kuota 30% perempuan
tersebut. Satu kemajuan besar ditunjukkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
yang walaupun masih dirundung isu korupsi di partai mereka dan masih
disibukkan membangun kembali soliditas partai, ternyata mampu menjadi
partai pertama yang menyerahkan DCS ke KPU dengan jumlah perwakilan
perempuan 38% berbanding dengan 62% laki-laki. PKS juga membanggakan diri
bahwa para caleg mereka sebagian besar orang-orang muda di bawah 50 tahun.
Padahal, kematangan dan atau kepiawaian politik seseorang tidak
ditentukan usia, tetapi pengalaman politiknya. Persoalan caleg perempuan
itu muncul karena selama ini ada anggapan bahwa perempuan tidak pantas
untuk menjadi aktor politik karena politik itu kotor. Padahal, politik
itu bisa saja bersih, indah, dan menarik untuk dilihat dan dijalankan,
walaupun tidak jarang pula menggelikan dan menjijikkan. Perempuan, dalam
budaya di beberapa daerah, juga diangggap konco wingking (teman di
belakang) laki-laki, baik mereka yang berbudaya Jawa, Islam, maupun
budaya lain di Indonesia.
Perempuan, di mata banyak keluarga, juga
tidak pantas berpolitik karena akan sering pulang malam atau jarang di
rumah karena harus mengikuti rapat atau kunjungan kerja. Padahal, dalam
dunia yang telah berubah seharusnya ada pembagian kerja dan tanggung
jawab ber sama di rumah tangga antara perempuan dan laki-laki.
Ketidaksukaan sebagian orang tentang perempuan dan politik mungkin juga
disebabkan adanya beberapa politikus perempuan di parlemen yang tak kalah
hebatnya dalam melakukan korupsi atau penyalahgunaan jabatan.
Kader tak jelas Selain persoalan caleg perempuan yang terus menjadi
persoalan bagi partai-partai politik, persoalan siapa saja yang layak
dimasukkan ke DCS juga menjadi masalah tersendiri. Beberapa partai
politik seperti Partai Golkar, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), PKS, dan PPP sudah memiliki standard operating procedure (SOP)
untuk menentukan siapa yang pantas dan tidak pantas duduk di parlemen.
Beberapa butir penting yang mereka buat
ialah, pertama, apakah ia seorang kader lama atau baru; kedua, bagaimana
dengan loyalitasnya kepada partai; ketiga, bagaimana rekam jejaknya
selama 5-10 tahun terakhir, apakah berkelakuan baik, tidak korup, tidak
pernah tersangkut kasus pidana ataupun perdata; keempat, bagaimana dengan
pendidi kannya, apakah ia seorang sarjana S-1, S-2, atau S-3, atau
kekuatan akade mik lainnya; kelima, a pakah ia seorang yang komunikatif
dalam ber hubungan dengan sesama anggota partai, pimpinan, konstituen
partainya, dan seorang mudah bergaul de ngan kalangan mana pun dengan
ideologi apa pun; keenam, apakah ia memiliki kapasitas kepemimpinan;
ketujuh, apakah ia memiliki masalah ke uangan atau tidak.
Pada kenyataannya, buku panduan pencalegan
itu lebih banyak sebagai buku suci yang tidak pernah menjadi patokan atau
bahkan hampir-hampir tidak dibaca para pemimpin partai. Persoalan
loyalitas kepada pimpinan partai (bukan kepada partai), kekuatan
finansial seseorang, terkenal atau tidaknya seseorang, jauh lebih
menentukan apakah seseorang menjadi caleg ketimbang standar baku itu.
Karena itu, jangan heran kalau seorang
pengusaha atau artis lebih dianggap memenuhi persyaratan sebagai caleg di
mata beberapa partai ketimbang seorang aktivis politik atau orang yang
memiliki kapasitas akademik yang tinggi. Itu bukan berarti seorang
pengusaha tidak akan mampu menjadi politikus yang andal. Namun, seperti
dikatakan mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla, para pengusaha muda sebai
knya urus usaha dulu sebe lum Nurul Arifin, atau Rieke Dyah
Pitaloka---ialah contoh-contoh artis yang sukses berpolitik dengan
kualitas yang baik. Namun, tidak sedikit artis yang suaranya nyaris tidak
terdengar di parlemen, bahkan bicara soal nasib artis Indonesia
sekalipun. Mereka hanya menjadi pajangan atau bahkan menjadi beban bagi
partai mereka di parlemen.
Ada juga partai politik, seperti Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), yang membanggakan diri sebagai partai yang
banyak merekrut mantan aktivis mahasiswa untuk menjadi calon legislatif.
Padahal, kebanggaan itu menunjukkan PKB selama ini gagal melakukan
rekrutmen politik dan kaderisasi berkesinambungan.
Satu fenomena politik yang menarik belakangan ini ialah tidak sedikit
aktivis mahasiswa yang (maaf) kurang cemerlang secara akademik, tetapi
berusaha menjadikan diri laku di pasaran politik dengan cara memasukkan
aktivitas demonstrasi atau pernah ditahan karena demo yang brutal sebagai
bagian dari rekam jejak keaktifan dalam politik. Mereka sengaja
menunjukkan diri `berani' melawan aparat negara dan ditangkap sebagai
bagian dari curriculum vitae agar direkrut partaipartai politik untuk
dimasukkan ke DCS.
Namun, yang lebih menarik ialah adanya
partai-partai politik yang memasang iklan di media massa atau spanduk di
jalan-jalan untuk melakukan perekrutan politik untuk menjadi anggota
parlemen dari partai itu. Itu terjadi, misalnya, dengan Partai Gerindra, Hanura, dan Partai
Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang kebetulan masing-masing
dipimpin para mantan jenderal TNI-AD, yakni Prabowo Subianto, Wiranto,
dan Sutiyoso.
Kekuatan finansial vs kualitas Partai-partai politik juga ada yang lebih
mengutamakan kapasitas finansial orang yang diajukan untuk menjadi
anggota legislatif ketimbang kualitas para politikus tersebut. Itu
disebabkan sistem pemilu legislatif dengan daftar urut terbuka
mengharuskan seorang caleg memiliki kemampuan finansial untuk mendapatkan
pemilih. Pilihan pada artis juga disebabkan seorang artis terkenal
tentunya lebih sedikit mengeluarkan anggaran kampanye untuk dirinya
ketimbang politikus biasa.
Sistem pemilu legislatif (pileg) seperti
itu, tanpa diimbangi dengan pengawasan pada penerimaan dan pengeluaran
uang oleh para individu politikus, akan menjadikan politik di Indonesia
semakin mahal dan korup. Bukan mustahil para caleg itu menggunakan sistem
ijon, yaitu menerima uang bantuan terlebih dulu dari mereka yang memiliki
kepentingan ekonomi dan politik, dan baru kemudian ia membayarnya dengan
mendu kung atau meloloskan berbagai ke bijakan yang menguntungkan para
penyandang dana tersebut.
Dalam bahasa politik sistem itu dikenal
dengan bribes and kickbacks (menyogok dan mendapatkan bola hasil
tendangan balik). Dalam ben tuknya yang lain, politikus yang telah
mengeluarkan uang yang banyak un tuk kampanye dirinya tentunya akan
berusaha keras untuk mendapatkan kembali uangnya atau mendapatkan
keuntungan ekonomi dari posisinya sebagai politikus.
Hingga saat ini masalah finansial par tai
dan anggota partai masih menjadi sesuatu yang rahasia bagi kebanyakan
partai di Indonesia. Padahal, itu me nyangkut transparansi anggaran dan
transparansi politik demi membangun kualitas politikus dan politik itu
sendiri.
Indeks transparansi yang dibuat Trans
paransi Internasional Indonesia (TII) me nunjukkan hanya ada lima partai
yang transparan yang ada di DPR RI sekarang. Dari skor indeks 0-4 (0 terburuk dan 4
ter baik), Gerindra mendapatkan skor 3,74; PAN 3,64; PDIP 3,10; Hanura
2,41; dan PKB 2,31. Partai lainnya mendapatkan indeks di
bawah 2 dan hanya Partai Golkar yang sama sekali tidak mau terbuka
mengenai finansial partai mereka (Kompas, 20 April 2013).
Teliti sebelum memilih Kita harus menjadi warga negara dan sekaligus
pemilih yang kritis jika kita ingin ikut berperan serta meningkatkan
kualitas demokrasi di Indonesia. Jangan karena kita kenal orang tersebut,
kita memilih orang itu menjadi anggota parlemen. Pengetahuan mengenai
para caleg, bagaimana rekam jejak mereka, juga akan menentukan kita
benarbenar memilih orang-orang yang berkualitas untuk duduk di parlemen
pusat dan daerah.
Jika kita cuek, politik serasa menjadi sesuatu yang hambar. ter jun ke
politik ka rena khawatir mereka akan meng gunakan posisi politik untuk
mengembangkan usaha mereka.
Seorang artis--seperti Miing (Dedi
Gumilar), Rano Karno, Nurul Arifin, atau Rieke Dyah Pitaloka---ialah
contoh-contoh artis yang sukses berpolitik dengan kualitas yang baik.
Namun, tidak sedikit artis yang suaranya nyaris tidak terdengar di
parlemen, bahkan bicara soal nasib artis Indonesia sekalipun.
Mereka
hanya menjadi pajangan atau bahkan menjadi beban bagi partai mereka di
parlemen.
Ada juga partai politik, seperti
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), yang membanggakan diri sebagai partai
yang banyak merekrut mantan aktivis mahasiswa untuk menjadi calon
legislatif. Padahal, kebanggaan itu menunjukkan PKB selama ini gagal
melakukan rekrutmen politik dan kaderisasi berkesinambungan. Satu
fenomena politik yang menarik belakangan ini ialah tidak sedikit aktivis
mahasiswa yang (maaf) kurang cemerlang secara akademik, tetapi berusaha
menjadikan diri laku di pasaran politik dengan cara memasukkan aktivitas
demonstrasi atau pernah ditahan karena demo yang brutal sebagai bagian
dari rekam jejak keaktifan dalam politik. Mereka sengaja menunjukkan diri
‘berani’ melawan aparat negara dan ditangkap sebagai bagian dari curriculum
vitae agar direkrut partai-partai politik untuk dimasukkan ke DCS.
Namun, yang lebih menarik ialah
adanya partai-partai politik yang memasang iklan di media massa atau
spanduk di jalan-jalan untuk melakukan perekrutan politik untuk menjadi
anggota parlemen dari partai itu. Itu terjadi, misalnya, dengan Partai
Gerindra, Hanura, dan Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) yang kebetulan masing-masing dipimpin
para mantan jenderal TNI-AD, yakni Prabowo Subianto, Wiranto, dan Sutiyoso.
Kekuatan Finansial vs Kualitas
Partai-partai politik juga ada yang
lebih mengutamakan kapasitas finansial orang yang diajukan untuk menjadi
anggota legislatif ketimbang kualitas para politikus tersebut. Itu disebabkan
sistem pemilu legislatif dengan daftar urut terbuka mengharuskan seorang
caleg memiliki kemampuan finansial untuk
mendapatkan pemilih. Pilihan pada
artis juga disebabkan seorang artis terkenal tentunya lebih sedikit
mengeluarkan anggaran kampanye
untuk dirinya ketimbang politikus biasa.
Sistem pemilu legislatif (pileg)
seperti itu, tanpa diimbangi dengan pengawasan pada penerimaan dan
pengeluaran uang oleh para individu politikus, akan menjadikan politik di
Indonesia semakin mahal dan korup. Bukan mustahil para caleg itu
menggunakan sistem ijon, yaitu menerima uang bantuan terlebih dulu dari
mereka yang memiliki kepentingan ekonomi dan politik, dan baru kemudian ia
membayarnya dengan mendukung atau meloloskan berbagai kebijakan yang
menguntungkan para penyandang dana tersebut.
Dalam bahasa politik sistem itu dikenal
dengan bribes and kickbacks
(menyogok dan mendapatkan bola hasil
tendangan balik). Dalam bentuknya
yang lain, politikus yang telah mengeluarkan
uang yang banyak untuk
kampanye dirinya tentunya akan berusaha
keras untuk mendapatkan kembali uangnya atau mendapatkan keuntungan
ekonomi dari posisinya sebagai politikus.
Hingga saat ini masalah finansial
partai dan anggota partai masih menjadi
sesuatu yang rahasia bagi kebanyakan partai
di Indonesia. Padahal, itu menyangkut transparansi anggaran dan transparansi
politik demi membangun
kualitas politikus dan politik itu
sendiri. Indeks transparansi yang dibuat Transparansi Internasional
Indonesia (TII) menunjukkan hanya ada lima partai yang transparan yang
ada di DPR RI sekarang. Dari skor indeks 0-4 (0 terburuk dan 4 terbaik), Gerindra
mendapatkan skor 3,74; PAN 3,64; PDIP 3,10; Hanura 2,41; dan PKB 2,31. Partai
lainnya mendapatkan indeks di bawah 2 dan hanya Partai Golkar yang sama
sekali tidak mau terbuka mengenai fi nansial partai mereka (Kompas,
20 April 2013).
Teliti Sebelum Memilih
Kita harus menjadi warga negara dan
sekaligus pemilih yang kritis jika kita ingin ikut berperan serta
meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia. Jangan karena kita kenal
orang tersebut, kita memilih orang itu menjadi anggota parlemen.
Pengetahuan mengenai para caleg, bagaimana rekam jejak
mereka, juga akan menentukan kita
benar-benar memilih orang-orang yang berkualitas untuk duduk di parlemen
pusat dan daerah. Jika kita cuek, politik serasa menjadi sesuatu yang
hambar. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar