Rabu, 17 April 2013

Reformasi Bagi Parpol


Reformasi Bagi Parpol
Asep Sumaryana   Kepala LP3AN dan Staf Pengajar FISIP-Unpad 
KORAN SINDO, 17 April 2013

  
Reformasi masih identik dengan birokrasi agar organisasi publik ini ramping dan kaya fungsi. Dengan perampingan, fungsi melayani publik dapat dilakukan lebih cepat sesuai dinamika masyarakat sekaligus mengantisipasi kemungkinan kebutuhan masyarakat di masa yang akan datang. 

Hal demikian berarti reformasi tidak hanya memperbaiki struktur yang mampu mempercepat peredaran perintah, tugas, dan laporan, namun juga mengubah kultur yang lebih agresif serta akomodatif terhadap kondisi masyarakat. Oleh sebab itu, reformasi sepatutnya berlaku juga dalam ranah partai politik (parpol) agar mampu mengakomodasi aspirasi rakyat untuk direkam dan diperjuangkan sehingga perbaikan nasibnya tidak hanya berada dalam area janji dalam kampanye, namun secara sistematis direalisasikan bersama eksekutif. 

Karena itu, kultur parpol pun perlu dimodernisasikan agar tidak tergantung pada figur tertentu, namun bergeser kepada sistem yang dibuat agar organisasi politik semacam itu tidak jadi alat pemuas kekuasaan sejumlah elemen di dalamnya. Melalui parpol yang sehat, mekanisme pemilihan pucuk pimpinan, status kader yang sudah berada di legislatif serta pergantian antar waktu sudah diatur lebih tertib dalam AD/ART. 

Hal itu untuk memudahkan jika terjadi pengunduran diri atau perpindahan kader yang memegang jabatan dalam parpol tersebut. Dengan mengakomodasi seluruh elemen parpol yang potensial, struktur parpol bisa dibangun dengan baik sepanjang kepentingan individu dan kelompok diminimalisasi kehadirannya. Kadang-kadang elite parpol pun bisa mengeliminir kader potensialnya yang berseberangan pemikiran dengan dirinya. Perpindahan kader bisa saja disebabkan hal tersebut. 

Dalam hal ini, pendapat Hirshman (1970) perlu mendapat apresiasi agar elite parpol tidak tutup mata dan telinga. Konon yang voice perlu dimaknai sebagai loyalty. Jika begitu, voice yang diapresiasi akan mendorong tanggung jawab yang semakin kuat. Jika diabaikan, akan mendorongnya exit. Tertutupnya telinga elite bisa mempercepat keuzuran parpol. Isaac (1970) menganggap bahwa organisasi, termasuk parpol dimulai dari birth yang membutuhkan pengawalan serta perhatian agar parpol yang akan dilahirkannya sehat serta tidak lumpuh layu. 

Pengorbanan seluruh elemen parpol untuk growth menjadi perlu agar parpol dalam pertumbuhannya tidak dijadikan alat pemuas kepentingannya, namun benar-benar sejalan dengan kepentingan rakyat dan negara dalam mencapai tujuannya. Bisa jadi dalam masa pertumbuhan ini, kebutuhan biaya menjadi sangat besar dan kader berkontribusi untuk parpolnya agar maturity dan tidak sampai decline apalagi death. 

Korupsi yang dilakukan sejumlah elemen parpol bisa mempercepat decline-nya parpol bahkan death. Lupanya elemen parpol pada tujuan menolong rakyat mencapai kesejahteraannya menunjukkan kepikunan parpol tersebut. Bila hal seperti ini menimpa parpol yang baru tumbuh, usia hidupnya semakin pendek. Rakyat yang merasa dikhianati akan mempercepat kepunahan parpol semacam itu. 

Karena itu, korupsi yang dilakukan kader merupakan benalu yang akan memaksa parpol untuk uzur dan mati lebih cepat. Tidak heran jika kondisi parpol sudah menghadapi kader yang auto pilot, parpol semacam itu harus sudah melakukan reformasi agar keuzuran tidak sampai pada kematiannya. Dengan pembenahan struktur dan kultur sesuai dinamika kehidupan parpol, reformasi dapat memperlambat keuzuran bahkan kepunahannya. 

Perbedaan dinamika sejumlah kader serta tantangan yang datang secara beragam menghendaki penyesuaian parpol terhadap perubahan itu sendiri. Namun, tentu berpatokan pada visi misi parpol yang disusun di awal kelahirannya. Robbin (1994) menganggap bahwa struktur digunakan agar tujuan yang didesain dapat tercapai. Dengan desain, tujuan serta cara mencapainya dapat digambarkan dengan jelas untuk kemudian dipetakan dalam struktur. 

Karena itu, dalam struktur tercermin kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi supaya seluruh aktivitas organisasi dapat dijalankan dengan baik. Tatkala tujuan jadi bias, boleh jadi strukturnya tidak lagi memadai untuk digunakan sehingga perlu diubah. Munculnya kasus korupsi bisa menunjukkan kelemahan struktur dalam mengontrol kadernya. Dalam pembenahannya, ketegasan elite parpol menjadi penting sehingga secara all out dapat memikirkan sekaligus memutuskan langkah yang harus ditempuhnya. 

Dalam parpol yang recruitmentnya terbuka, kemungkinan seperti sangat mungkin terjadi. Longgarnya seleksi kader tanpa pembinaan yang tegas menyebabkan parpol gering nangtung ngalanglayung. Untuk itu, konsentrasi penuh menjadi perlu sehingga tidak memungkinkannya rangkap jabatan dengan jabatan di keeksekutifan. 

Pemimpin parpol yang baik akan mengelolanya secara profesional agar parpol dapat direformasi. Moelyono (2004) mensyaratkannya agar pemimpin memiliki visi parpol yang mampu membantu rakyat meningkatkan kesejahteraannya. Untuk itu, values perlu menjadi pengawalnya agar nilai berasal dari agama dan budaya yang ada mampu menjadi pengikat kadernya agar tidak berselingkuh, apalagi mencemarkan nama baik parpol. 

Dengan begitu, tidak ada kader yang sangeunahna, atau menguras wibawa parpol untuk kepentingannya. Semua hal itu tidak akan berarti apa pun tanpa courage. Bisa jadi visi sudah biasa disusun, namun menegakkannya dengan bingkai values sangat diperlukan agar pengingkaran atas nilai agama dan budaya tidak terjadi. 

Untuk itu, diperlukan pemimpin pemberani agar berani menekan ambisi pribadi serta ambisi narsis para kadernya. Demikian halnya, courage agar yang salah ditindak kendati dirinya, saudara, atau lingkungan terdekatnya. Bila pemimpin tidak seperti demikian, mungkin reformasi parpol pun akan berubah menjadi rebutan kepentingan sehingga berujung pada death-nya parpol tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar