Reformasi masih identik dengan birokrasi
agar organisasi publik ini ramping dan kaya fungsi. Dengan perampingan,
fungsi melayani publik dapat dilakukan lebih cepat sesuai dinamika
masyarakat sekaligus mengantisipasi kemungkinan kebutuhan masyarakat di
masa yang akan datang.
Hal demikian
berarti reformasi tidak hanya memperbaiki struktur yang mampu mempercepat
peredaran perintah, tugas, dan laporan, namun juga mengubah kultur yang
lebih agresif serta akomodatif terhadap kondisi masyarakat. Oleh sebab
itu, reformasi sepatutnya berlaku juga dalam ranah partai politik (parpol)
agar mampu mengakomodasi aspirasi rakyat untuk direkam dan diperjuangkan
sehingga perbaikan nasibnya tidak hanya berada dalam area janji dalam
kampanye, namun secara sistematis direalisasikan bersama eksekutif.
Karena itu,
kultur parpol pun perlu dimodernisasikan agar tidak tergantung pada figur
tertentu, namun bergeser kepada sistem yang dibuat agar organisasi
politik semacam itu tidak jadi alat pemuas kekuasaan sejumlah elemen di
dalamnya. Melalui parpol yang sehat, mekanisme pemilihan pucuk pimpinan,
status kader yang sudah berada di legislatif serta pergantian antar waktu
sudah diatur lebih tertib dalam AD/ART.
Hal itu untuk
memudahkan jika terjadi pengunduran diri atau perpindahan kader yang
memegang jabatan dalam parpol tersebut. Dengan mengakomodasi seluruh
elemen parpol yang potensial, struktur parpol bisa dibangun dengan baik
sepanjang kepentingan individu dan kelompok diminimalisasi kehadirannya.
Kadang-kadang elite parpol pun bisa mengeliminir kader potensialnya yang
berseberangan pemikiran dengan dirinya. Perpindahan kader bisa saja
disebabkan hal tersebut.
Dalam hal
ini, pendapat Hirshman (1970) perlu mendapat apresiasi agar elite parpol
tidak tutup mata dan telinga. Konon yang voice perlu dimaknai sebagai loyalty. Jika begitu, voice yang
diapresiasi akan mendorong tanggung jawab yang semakin kuat. Jika
diabaikan, akan mendorongnya exit. Tertutupnya telinga elite bisa
mempercepat keuzuran parpol. Isaac (1970) menganggap bahwa organisasi,
termasuk parpol dimulai dari birth yang membutuhkan pengawalan serta
perhatian agar parpol yang akan dilahirkannya sehat serta tidak lumpuh
layu.
Pengorbanan
seluruh elemen parpol untuk growth
menjadi perlu agar parpol dalam pertumbuhannya tidak dijadikan alat
pemuas kepentingannya, namun benar-benar sejalan dengan kepentingan
rakyat dan negara dalam mencapai tujuannya. Bisa jadi dalam masa
pertumbuhan ini, kebutuhan biaya menjadi sangat besar dan kader
berkontribusi untuk parpolnya agar maturity
dan tidak sampai decline apalagi death.
Korupsi yang
dilakukan sejumlah elemen parpol bisa mempercepat decline-nya parpol bahkan death.
Lupanya elemen parpol pada tujuan menolong rakyat mencapai
kesejahteraannya menunjukkan kepikunan parpol tersebut. Bila hal seperti
ini menimpa parpol yang baru tumbuh, usia hidupnya semakin pendek. Rakyat
yang merasa dikhianati akan mempercepat kepunahan parpol semacam itu.
Karena itu,
korupsi yang dilakukan kader merupakan benalu yang akan memaksa parpol
untuk uzur dan mati lebih cepat. Tidak heran jika kondisi parpol sudah
menghadapi kader yang auto pilot,
parpol semacam itu harus sudah melakukan reformasi agar keuzuran tidak
sampai pada kematiannya. Dengan pembenahan struktur dan kultur sesuai
dinamika kehidupan parpol, reformasi dapat memperlambat keuzuran bahkan
kepunahannya.
Perbedaan
dinamika sejumlah kader serta tantangan yang datang secara beragam
menghendaki penyesuaian parpol terhadap perubahan itu sendiri. Namun,
tentu berpatokan pada visi misi parpol yang disusun di awal kelahirannya.
Robbin (1994) menganggap bahwa struktur digunakan agar tujuan yang
didesain dapat tercapai. Dengan desain, tujuan serta cara mencapainya
dapat digambarkan dengan jelas untuk kemudian dipetakan dalam struktur.
Karena itu,
dalam struktur tercermin kompleksitas, formalisasi, dan sentralisasi
supaya seluruh aktivitas organisasi dapat dijalankan dengan baik. Tatkala
tujuan jadi bias, boleh jadi strukturnya tidak lagi memadai untuk
digunakan sehingga perlu diubah. Munculnya kasus korupsi bisa menunjukkan
kelemahan struktur dalam mengontrol kadernya. Dalam pembenahannya,
ketegasan elite parpol menjadi penting sehingga secara all out dapat memikirkan sekaligus
memutuskan langkah yang harus ditempuhnya.
Dalam parpol
yang recruitmentnya terbuka, kemungkinan seperti sangat mungkin terjadi.
Longgarnya seleksi kader tanpa pembinaan yang tegas menyebabkan parpol gering nangtung ngalanglayung.
Untuk itu, konsentrasi penuh menjadi perlu sehingga tidak memungkinkannya
rangkap jabatan dengan jabatan di keeksekutifan.
Pemimpin
parpol yang baik akan mengelolanya secara profesional agar parpol dapat
direformasi. Moelyono (2004) mensyaratkannya agar pemimpin memiliki visi
parpol yang mampu membantu rakyat meningkatkan kesejahteraannya. Untuk
itu, values perlu menjadi
pengawalnya agar nilai berasal dari agama dan budaya yang ada mampu
menjadi pengikat kadernya agar tidak berselingkuh, apalagi mencemarkan nama
baik parpol.
Dengan
begitu, tidak ada kader yang sangeunahna,
atau menguras wibawa parpol untuk kepentingannya. Semua hal itu tidak
akan berarti apa pun tanpa courage.
Bisa jadi visi sudah biasa disusun, namun menegakkannya dengan bingkai values sangat diperlukan agar
pengingkaran atas nilai agama dan budaya tidak terjadi.
Untuk itu,
diperlukan pemimpin pemberani agar berani menekan ambisi pribadi serta
ambisi narsis para kadernya. Demikian halnya, courage agar yang salah ditindak kendati dirinya, saudara,
atau lingkungan terdekatnya. Bila pemimpin tidak seperti demikian,
mungkin reformasi parpol pun akan berubah menjadi rebutan kepentingan
sehingga berujung pada death-nya
parpol tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar