Kasihan
bangsa // yang mengenakan pakaian // yang tidak ditenunnya, // memakan
roti dari gandum // yang tidak ia panen, // dan meminum susu // yang ia
tidak memerasnya. Kasihan bangsa // yang menjadikan orang dungu //
sebagai pahlawan // dan menganggap penindasan penjajah // sebagai hadiah.
Kasihan bangsa // yang mengenakan pakaian
// yang tidak ditenunnya, // memakan roti dari gandum // yang tidak ia
panen, // dan meminum susu // yang ia tidak memerasnya. Kasihan bangsa //
yang menjadikan orang dungu // sebagai pahlawan // dan menganggap penindasan
penjajah // sebagai hadiah.
Penggalan syair Kahlil Gibran di atas begitu relevan dalam kehidupan kita
seharihari. Sebagai bangsa agraris kita bersedih dipermainkan oleh harga
cabai, harga bawang, harga apel, dan harga daging sapi. Martabat kebangsaan
rasanya seperti luntur dan begitu sulit dan gelapnya kita membayangkan
bangsa ini pada masa depan.
Puisi Gibran itu menggambarkan realitas kebangsaan yang terjajah dan
kehilangan martabat. Bahan tambang yang ada di perut Bumi Pertiwi ini
sebagian besar sudah bukan milik kita lagi, bukan lagi untuk
menyejahterakan anak-anak Bumi Pertiwi. Setiap hari kita digelontor
kebijakan dan ulah para penguasa yang makin memerosotkan kehormatan diri.
Kemerdekaan itu sekadar simbol.
Hakikatnya keterjajahan dalam berbagai aspek. Dalam situasi yang
mencemaskan seperti ini, berbagai persoalan justru menyerang dari
berbagai sisi. Kekerasan demi kekerasan semakin menghiasi wajah Bumi
Pertiwi. Aparat versus aparat, rakyat versus rakyat, dan aparat versus
rakyat. Semua peristiwa semakin menciutkan nyali kita sebagai bangsa yang
hampir kehilangan aura peradabannya. Betapa kasihan sekali, ungkap
Gibran, sebuah bangsa yang kerap menjadikan orang dungu sebagai pahlawan
dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.
Kasihan sekali diri kita yang menyaksikan para elite tersenyum lebar saat
negara donor memberikan pinjaman uang dan menganggapnya sebagai sebuah
kepercayaan yang perlu dilestarikan. Para elite berebut sumber daya untuk
kepentingan politik partainya. Mereka berlomba untuk menjadi penguasa
karena dengan menjadi penguasa akan memiliki berbagai kesempatan untuk
mengeruk sebesarbesarnya aset bangsa ini untuk kepentingan dirinya.
Korupsi betapapun di mulut diteriakkan akan diberantas sampai
akarakarnya, tapi tidak demikian dalam berbagai tindakan elite.
Mereka tetap mengintai dan mencari modus baru bagaimana bisa menguasai
harta benda rakyat dengan berbagai macam cara. Kita hidup di negeri
kasihan. Negeri yang kehilangan harapan hidup sebagai bangsa besar yang
mandiri dan berani membusungkan dada di hadapan negara lain. Kita
bersedih karena begitu banyaknya para pemimpin negeri ini yang sangat
“brengsek”, dan begitu sedikitnya para pemimpin yang sungguh-sungguh
bekerja untuk mengembalikan jati diri kebangsaan. Pemimpin yang
sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat dari dalam hati nuraninya.
Kita hidup dalam sebuah bangsa yang kehilangan citra rasa diri. Bangsa
yang keropos karena nyaris tidak memiliki kemerdekaan dalam segala hal.
Puisi Gibran menggambarkan semua yang terjadi di negeri ini. Negeri yang
dipenuhi dengan para penguasa yang gagal memberikan jaminan rasa aman.
Negeri yang konon dikendalikan oleh hukum daripada kekuasaan, tapi
praktiknya adalah negeri di mana hukum rimba menjadi pilihan dalam
bertindak, bernalar. negeri yang menghilangkan moralitas dan akal sehat
dalam ragam kebijakannya.
Sistem Penuh Kepalsuan
Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin
sebagian besar elite politik kita hari ini yang tidak berani mengadakan
perubahan secara radikal dengan merombak sistem lama yang penuh
kepalsuan. Alih-alih justru semakin menjerumuskan ke dalam sistem baru
yang penuh kemunafikan. Sungguh ironis karena sudah tahu sistem tersebut
penuh dengan kebobrokan, namun justru tetap dilestarikan karena berdalih
menjaga kesopanan.
Tidak ada kesadaran bahwa selama sistem lama masih bercokol jangan harap
menghasilkan elite yang berkualitas. Cita-cita kemerdekaan yang
digariskan para pendiri republik seolah luntur. Barangkali tak pernah
disangka para pendiri republik jika akhirnya kemerdekaan yang telah
diraih dengan darah dan pengorbanan untuk keluar dari jerat pikir
penjajahan, kembali lagi menuju penjajahan di bawah dalih kemerdekaan.
Ironisnya, penjajahan dalam arti yang lebih luas (politik, ekonomi,
sosial, dan budaya) dilakukan oleh bangsa sendiri bersama dengan bangsa
lain melalui persekongkolan jahat.
Dalihnya kemakmuran, tapi nyatanya ketertindasan. Romantisme perjuangan
dalam bentuk solidaritas kebangsaan yang amat kuat luntur karena para
pengisinya tak pernah sadar bahwa usaha membangun selalu dilakukan
bersama, bukan orang per orang dan kelompok per kelompok. Revolusi 1945
yang sudah menghasilkan landasan bagi kemerdekaan politik sulit
diteruskan menuju kemerdekaan sosial, ekonomi, dan budaya sebagai sebuah
cita-cita kemerdekaan bangsa secara menyeluruh. Masih adakah harapan?
Dalam situasi serbasulit seperti ini kita merindukan para pemimpin yang
mampu mengembalikan jati diri dan martabat kebangsaan ini. Merekalah para
pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat, bukan bekerja untuk
partai atas nama rakyat semesta. Para pemimpin harus menyadari bahwa
sebagian besar rakyat masih sering berada di alam pemerasan dan kekerasan
oleh elite politik, penguasa, dan pemodal. Alam yang seharusnya diolah
demi kemakmuran rakyat nyatanya hanya digunakan untuk kemakmuran sebagian
sangat kecil orang.
Sebagian sangat kecil rakyat mungkin sudah merasa merdeka, tetapi
sebagian sangat besar mereka sama sekali belum merasakan kemerdekaan
dalam arti demikian. Sumber alam bukan untuk kepentingan mereka,
melainkan demi kepentingan para pemilik modal sebab masih banyak
kebijakan yang tidak berorientasi untuk keberdayaan mereka. Kasihan
bangsa // yang orang sucinya dungu // menghitung tahun-tahun berlalu, //
dan orang kuatnya masih dalam gendongan. Kasihan bangsa // yang
terpecah-pecah, // dan masingmasing pecahan // menganggap dirinya sebagai
bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar