Rabu, 17 April 2013

Bangsa Kasihan


Bangsa Kasihan
Benny Susetyo   Sekretaris Eksekutif Komisi HAK KWI 
KORAN SINDO, 17 April 2013

  
Kasihan bangsa // yang mengenakan pakaian // yang tidak ditenunnya, // memakan roti dari gandum // yang tidak ia panen, // dan meminum susu // yang ia tidak memerasnya. Kasihan bangsa // yang menjadikan orang dungu // sebagai pahlawan // dan menganggap penindasan penjajah // sebagai hadiah.
Kasihan bangsa // yang mengenakan pakaian // yang tidak ditenunnya, // memakan roti dari gandum // yang tidak ia panen, // dan meminum susu // yang ia tidak memerasnya. Kasihan bangsa // yang menjadikan orang dungu // sebagai pahlawan // dan menganggap penindasan penjajah // sebagai hadiah.

Penggalan syair Kahlil Gibran di atas begitu relevan dalam kehidupan kita seharihari. Sebagai bangsa agraris kita bersedih dipermainkan oleh harga cabai, harga bawang, harga apel, dan harga daging sapi. Martabat kebangsaan rasanya seperti luntur dan begitu sulit dan gelapnya kita membayangkan bangsa ini pada masa depan.

Puisi Gibran itu menggambarkan realitas kebangsaan yang terjajah dan kehilangan martabat. Bahan tambang yang ada di perut Bumi Pertiwi ini sebagian besar sudah bukan milik kita lagi, bukan lagi untuk menyejahterakan anak-anak Bumi Pertiwi. Setiap hari kita digelontor kebijakan dan ulah para penguasa yang makin memerosotkan kehormatan diri. Kemerdekaan itu sekadar simbol.

Hakikatnya keterjajahan dalam berbagai aspek. Dalam situasi yang mencemaskan seperti ini, berbagai persoalan justru menyerang dari berbagai sisi. Kekerasan demi kekerasan semakin menghiasi wajah Bumi Pertiwi. Aparat versus aparat, rakyat versus rakyat, dan aparat versus rakyat. Semua peristiwa semakin menciutkan nyali kita sebagai bangsa yang hampir kehilangan aura peradabannya. Betapa kasihan sekali, ungkap Gibran, sebuah bangsa yang kerap menjadikan orang dungu sebagai pahlawan dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah.

Kasihan sekali diri kita yang menyaksikan para elite tersenyum lebar saat negara donor memberikan pinjaman uang dan menganggapnya sebagai sebuah kepercayaan yang perlu dilestarikan. Para elite berebut sumber daya untuk kepentingan politik partainya. Mereka berlomba untuk menjadi penguasa karena dengan menjadi penguasa akan memiliki berbagai kesempatan untuk mengeruk sebesarbesarnya aset bangsa ini untuk kepentingan dirinya. Korupsi betapapun di mulut diteriakkan akan diberantas sampai akarakarnya, tapi tidak demikian dalam berbagai tindakan elite.

Mereka tetap mengintai dan mencari modus baru bagaimana bisa menguasai harta benda rakyat dengan berbagai macam cara. Kita hidup di negeri kasihan. Negeri yang kehilangan harapan hidup sebagai bangsa besar yang mandiri dan berani membusungkan dada di hadapan negara lain. Kita bersedih karena begitu banyaknya para pemimpin negeri ini yang sangat “brengsek”, dan begitu sedikitnya para pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja untuk mengembalikan jati diri kebangsaan. Pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat dari dalam hati nuraninya.

Kita hidup dalam sebuah bangsa yang kehilangan citra rasa diri. Bangsa yang keropos karena nyaris tidak memiliki kemerdekaan dalam segala hal. Puisi Gibran menggambarkan semua yang terjadi di negeri ini. Negeri yang dipenuhi dengan para penguasa yang gagal memberikan jaminan rasa aman. Negeri yang konon dikendalikan oleh hukum daripada kekuasaan, tapi praktiknya adalah negeri di mana hukum rimba menjadi pilihan dalam bertindak, bernalar. negeri yang menghilangkan moralitas dan akal sehat dalam ragam kebijakannya.

Sistem Penuh Kepalsuan

Suka tidak suka, sadar tidak sadar, harus dikatakan bahwa inilah cermin sebagian besar elite politik kita hari ini yang tidak berani mengadakan perubahan secara radikal dengan merombak sistem lama yang penuh kepalsuan. Alih-alih justru semakin menjerumuskan ke dalam sistem baru yang penuh kemunafikan. Sungguh ironis karena sudah tahu sistem tersebut penuh dengan kebobrokan, namun justru tetap dilestarikan karena berdalih menjaga kesopanan.

Tidak ada kesadaran bahwa selama sistem lama masih bercokol jangan harap menghasilkan elite yang berkualitas. Cita-cita kemerdekaan yang digariskan para pendiri republik seolah luntur. Barangkali tak pernah disangka para pendiri republik jika akhirnya kemerdekaan yang telah diraih dengan darah dan pengorbanan untuk keluar dari jerat pikir penjajahan, kembali lagi menuju penjajahan di bawah dalih kemerdekaan. Ironisnya, penjajahan dalam arti yang lebih luas (politik, ekonomi, sosial, dan budaya) dilakukan oleh bangsa sendiri bersama dengan bangsa lain melalui persekongkolan jahat.

Dalihnya kemakmuran, tapi nyatanya ketertindasan. Romantisme perjuangan dalam bentuk solidaritas kebangsaan yang amat kuat luntur karena para pengisinya tak pernah sadar bahwa usaha membangun selalu dilakukan bersama, bukan orang per orang dan kelompok per kelompok. Revolusi 1945 yang sudah menghasilkan landasan bagi kemerdekaan politik sulit diteruskan menuju kemerdekaan sosial, ekonomi, dan budaya sebagai sebuah cita-cita kemerdekaan bangsa secara menyeluruh. Masih adakah harapan?

Dalam situasi serbasulit seperti ini kita merindukan para pemimpin yang mampu mengembalikan jati diri dan martabat kebangsaan ini. Merekalah para pemimpin yang sungguh-sungguh bekerja untuk rakyat, bukan bekerja untuk partai atas nama rakyat semesta. Para pemimpin harus menyadari bahwa sebagian besar rakyat masih sering berada di alam pemerasan dan kekerasan oleh elite politik, penguasa, dan pemodal. Alam yang seharusnya diolah demi kemakmuran rakyat nyatanya hanya digunakan untuk kemakmuran sebagian sangat kecil orang.

Sebagian sangat kecil rakyat mungkin sudah merasa merdeka, tetapi sebagian sangat besar mereka sama sekali belum merasakan kemerdekaan dalam arti demikian. Sumber alam bukan untuk kepentingan mereka, melainkan demi kepentingan para pemilik modal sebab masih banyak kebijakan yang tidak berorientasi untuk keberdayaan mereka. Kasihan bangsa // yang orang sucinya dungu // menghitung tahun-tahun berlalu, // dan orang kuatnya masih dalam gendongan. Kasihan bangsa // yang terpecah-pecah, // dan masingmasing pecahan // menganggap dirinya sebagai bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar